Yunani dan Pilihan Tolak Kreditor
Ismatillah
A. Nu’ad ; Peneliti
Madya Institute for Social Research and Development
|
JAWA POS, 07 Juli 2015
PILIHAN tepat rakyat Yunani yang baru melakukan referendum
kemarin perlu mendapat perhatian dari pemerintah kita. Kemenangan opsi menolak
pemberian dana talangan (bailout)
dari para kreditor atau kekuatan neolib di Zona Eropa bukan tanpa sebab.
Pasalnya, kreditor telah terbukti tidak mengangkat derajat ekonomi suatu
bangsa, malah menambah beban ekonomi negara.
Lebih dari 60 persen memilih ”tidak” untuk dana talangan.
Sedangkan hampir 40 persen memilih ”ya”. Menanggapi kemenangan kubu penolak
dana talangan dalam referendum, sejumlah pejabat senior di Zona Eropa bertemu
guna membicarakan masa depan yang tepat bagi Yunani.
Para elite di Zona Eropa menilai Yunani wajib segera
dibantu. Pasalnya, ekonomi Yunani memasuki kondisi darurat sehingga bisa
menular ke negara-negara Eropa lainnya. Pada akhirnya itu bisa membahayakan
kepercayaan pasar atas nilai tukar euro. Sebelum Yunani, sudah ada tiga
negara anggota Zona Eropa yang ekonominya sakit, yaitu Spanyol, Irlandia, dan
Portugal.
Sejumlah bank di Yunani menderita utang miliaran euro
setelah terpukul karena terkena dampak resesi global. Para aktivis sosialdemokrat
kerap melakukan kritik dan demonstrasi karena krisis Yunani. Mereka
menganggap ada aroma kapitalisme yang tidak sedap bermain di negaranya.
Mereka pun mengkritik roda pemerintahan di Yunani yang terlalu menjerumuskan
diri pada utang dan bantuan kreditor serta lembaga finansial besar di Eropa.
Padahal, sudah terbukti, lembaga-lembaga itu tak dapat menyelamatkan, malah
semakin membenamkan.
Aroma menentang praktik kapitalisme sangat kental
dilakukan para aktivis sosial-demokrat. Kapitalisme di situ seakan menjadi
subjek isu paling krusial. Sebab, dalam kapitalisme, persaingan tidak sehat,
di mana usaha yang tak diinvestasi secara besar-besaran, lalu akan mengalami
kolaps memang merupakan gambaran yang telanjang di era globalisasi. Di
dalamnya pasar merupakan segala-galanya dan yang mengendalikan adalah mereka
para pemodal yang memiliki investasi dalam jumlah besar, apa yang kemudian
disebut para kapitalis.
Kebijakan para pemilik modal yang hanya menguntungkan
pribadi dan meniadakan apa yang seharusnya menjadi hak publik begitu kontras
tergambar dalam kasus subprime mortgage. Jelaslah, kapitalisme dan korporasi
global sebagai sebuah ” knowledge”, mengutip istilah Michel Foucault (1997),
yang diciptakan itu memiliki kepentingan atau bahkan kerakusan. Itulah sebabnya
globalisasi dan kapitalisme dikritik banyak kalangan, terutama kalangan
sosial-demokrat seperti di Yunani.
Kritik tersebut sesungguhnya tertuju dari akibat yang
ditimbulkannya, yaitu persaingan pasar yang tak sehat atau bahkan kerusakan
alam oleh, misalnya, perusahaan global yang bermain di wilayah pertambangan
seperti kasus Freeport, Newmont, dan Exxon Mobil dalam kasus di Indonesia dan
yang paling mengenaskan adalah soal kemiskinan. Kapitalisme dan korporasi
global ditengarai telah mengakibatkan kemiskinan di dunia. Bahkan, menurut
buku Die Globalisierungsfalle yang ditulis Hans Peter dan Harald Schumann
(2002), telah terjadi suatu fenomena sosial yang diistilahkan dengan
masyarakat 20:80.
Yakni, 20 persen dari penduduk bumi ini sesungguhnya sudah
cukup untuk mengendalikan dan menjaga terus berputarnya roda perekonomian
dunia, sementara 80 persen sisanya adalah mereka yang ”tanpa pekerjaan”,
menjadi ”sampah sosial”, dan tak lebih merupakan ”buih” yang takdir hidupnya
dikendalikan berputarnya ekonomi dunia.
Berjuta-juta penganggur, ketidakpastian pekerjaan secara
besar-besaran, suatu jurang yang makin melebar antara yang dibayar rendah dan
yang berkecukupan. Globalisasi di satu sisi telah menyatukan dunia atau yang
diistilahkan Anthony Giddens dalam Runaway
World (2002) bahwa dunia semula terbatasi dengan letak geografis, namun
kini disatukan menjadi sebuah global
village. Namun, di sisi lain, globalisasi telah menjadikan dunia lepas
kendali, dunia menjadi ambruk, bahkan menurut Giddens ia dapat meretakkan
hubungan harmonis dalam suatu keluarga sekalipun.
Hebatnya, kapitalisme dan fenomena korporasi global
diciptakan para arsitek dan berlangsung secara evolutif. Ia bukanlah fenomena
pragmatis. Karena itu, oleh para pembelanya, ia dianggap sebagai suatu fenomena
yang tak dikehendaki siapa-siapa, tak dikehendaki ”Timur maupun Barat”, namun
dikehendaki kita semua, ia terjadi secara sendirinya. (Shimon Peres, Shaping Globalisation, 1999)
Kapitalisme, misalnya, lewat para arsiteknya telah membuat
aturan mainnya tersendiri, apa yang dikenal sebagai free enterprises, juga ada WTO, IMF, World Bank, demokrasi
liberal, freedom expression, dan
seterusnya. Semua negara dipaksa ikut dalam aturan main itu serta harus
tunduk di dalamnya. Jika menyalahinya akan dikenai sanksi embargo dan
semacamnya. Akan sulit suatu negara jika tak mengikuti aturan-aturan global
itu meskipun di sisi lain, misalnya, negara tersebut tahu bahwa itu tak lebih
sebagai jebakan-jebakan global.
Banyak pihak yang mengungkapkan bahwa ancaman destruktif
kapitalisme bisa diantisipasi dengan cara mengembalikan pilihan pada diri
kita sendiri, memperkuat otoritas negara, mesti berdikari, dan semacamnya (Jeremy Walden, On the Right of Man, 1987).
Namun, di sisi lain, apakah hal itu hanya sebatas utopianisme, suatu
perlawanan yang sesungguhnya hanya eskapisme dari realitas global itu
sendiri?
Karena itu, kapitalisme dan korporasi global menjadi
semacam haunt yang menyelimuti tatanan dunia baru. Ia adalah tirani, rezim,
dan sebuah otoritarianisme yang mengekang masyarakat dunia setelah ambruknya
komunisme pada akhir abad ke-19. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar