Waspadai Pemerintahan oleh Parlemen
W
Riawan Tjandra ;
Pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas
Atma Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
08 Juli 2015
Diskursus dan tarik ulur
penganggaran dana aspirasi oleh DPR dengan kisaran jumlah anggaran Rp 11,2
triliun, akumulasi dari jumlah alokasi anggaran untuk tiap anggotaDPR Rp
15-20 miliar per tahun, memperlihatkan adanya sejumlah paradoks dalam
kebijakan penganggaran. Dana aspirasi telah mengubah konsep pemisahan
kekuasaan (trias politica).
Paradoks pertama terlihat dari
landasan hukum tak memadai dalam usulan dana aspirasi. Kebijakan dana
aspirasi akan menabrak sistem perencanaan pembangunan nasional dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 yang mewajibkan mekanisme penganggaran
harus melewati mekanisme perencanaan secara bottom up melalui musyawarah
perencanaan pembangunan sejak dari desa, daerah (kabupaten/kota dan provinsi)
yang berpuncak pada kebijakan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Teknis/Sektoral.
Alasan sebagian anggota DPR bahwa
dana aspirasi memiliki landasan hukum adalah anggota DPR harus memperjuangkan
kepentingan daerah pemilihan masing-masing sebagaimana diatur dalam UU No
17/2014 tentang MD3, jelas telah menginterpretasikan UU secara salah.
Interpretasi atas perjuangan dapil
dalam UU MD3 harus dikembalikan kepada tiga fungsi DPR di ranah legislasi,
penganggaran, dan pengawasan, yang tentunya salah jika diartikan bahwa untuk
setiap anggota DPRD harus disediakan plafon khusus dalam APBN untuk bisa
menginstruksikan eksekutif agar melaksanakan program tertentu dengan komando
anggota legislatif atas nama perjuangan dapil.
Di titik tersebut interpretasi
secara salah mengenai kewenangan anggota legislatif itu sekaligus bisa
menabrak dua kewenangan organ negara lain, yaitu eksekutif dan DPD. Kewenangan
eksekutif ditabrak karena anggota DPR seolah-olah atas nama perjuangan dapil
bisa mengintervensi program/kegiatan pemerintah/pemda yang sudah ditetapkan
melalui mekanisme musrenbang.
Pergeseran pemerintahan
Di sinilah sejatinya telah terjadi
pergeseran teori trias politica
dengan terjadinya pemerintahan oleh parlemen (governing by parliament) yang mengubah konstelasi ketatanegaraan
pengawas politik menjadi pemain. Hal ini bisa mengacaukan struktur
ketatanegaraan dan sistem pengawasan terhadap pemerintah yang membuka celah
terjadinya kolusi serta banalisasi korupsi berjemaah karena sang pengawas
(baca legislatif) melebur dengan yang diawasi (baca eksekutif).
Kebijakan penganggaran dana
aspirasi dengan mengatasnamakan dapil juga bisa mengacaukan konsep pembagian
kekuasaan di tubuh MPR, antara DPR dan DPD. DPR telah menggerogoti wilayah
kewenangan DPD dengan menembus batas yurisdiksi kekuasaan yang semestinya
menjadi arena perwakilan DPD.
Di sisi lain, juga akan
berbenturan dengan wilayah kewenangan DPRD yang dalam UU MD3 dan UU Pemda
diatur untuk mewakili dan memperjuangkan aspirasi rakyat di daerah dalam
kebijakan di setiap daerah. Dengan demikian, hal tersebut juga berpotensi
mengganggu pelaksanaan otonomi daerah dan menimbulkan kekacauan kebijakan,
administrasi ataupun penganggaran di setiap daerah.
Paradoks kedua dari kebijakan dana
aspirasi adalah adanya modifikasi praktik-praktik buruk Dana Penyesuaian
Infrastruktur Daerah (DPID) ataupun Dana Percepatan Penyesuaian Infrastruktur
Daerah (DPPID) yang sejatinya merupakan legalisasi permainan politik ”gentong
babi” (pork barrel politics). Pada
masa lalu, permainan ini telah menyeret sejumlah oknum di DPR dan eksekutif
akibat penggunaan dana yang membuka celah praktik-praktik kolusi dan korupsi
yang masif.
Jika semula DPID/DPPID itu hanya
disandarkan pada kerangka hukum (legal
framework) Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu), kini justru akan
dilegalisasi dalam UU APBN. Akibatnya, yang terjadi sesungguhnya adalah
legalisasi atas praktik-praktik pork barrel politics yang menjadi ancaman
serius bagi demokrasi dan dilarang di berbagai negara lain.
Di AS, politik gentong babi
akhirnya dengan tegas dilarang setelah digunakan pada 1817 dalam Bill Bonus
yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang
menghubungkan Timur dan Selatan ke Barat Amerika. Dananya akan diambil dari
laba bonus Second Bank of the United
States (Bank Kedua Amerika Serikat). RUU tersebut diveto oleh Presiden
James Madison.
Tahun 1931, di AS juga akan
diterapkan Bill Bonus kedua atas desakan para veteran yang tergabung dalam American Legion dan Veterans of Foreign Wars untuk
membayar kompensasi kepada mereka yang berjuang pada Perang Dunia I. Desakan
itu mendapat dukungan anggota Kongres dari Texas, John Wright Patman. Pada
1932, Patman memperkenalkan Veteran’s Bonus Bill. Tentangan Presiden Herbert
Hoover akhirnya menggagalkan usaha Patman. Hal itulah yang menginspirasi
pelarangan praktik politik gentong babi di negeri Paman Sam tersebut.
Kebijakan mirip dana aspirasi yang
disebut dengan praktik ”gentong babi” juga disebut patronage (patronase). Di
Denmark, Swedia, dan Norwegia disebut election
pork atau “babi pemilihan”, di mana para politisi mengumbar janji-janji
sebelum pemilihan berlangsung.
Di Finlandia disebut ”politik
gorong-gorong” yang digunakan oleh para politisi nasional berkonsentrasi pada
masalah-masalah lokal. Romania menyebutnya ”sedekah pemilihan”. Sementara di
Polandia disebut ”sosis pemilu”. Pada prinsipnya, praktik-praktik politik
gentong babi itu yang di Indonesia akan diperkenalkan sebagai dana aspirasi
itu bisa merusak tata kelola pemerintahan yang baik dan sekaligus mengacaukan
sistem ketatanegaraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar