Waspada
terhadap Poskriminalitas
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum UGM
|
KORAN SINDO, 05 Mei 2015
Berita-berita tentang
kriminalisasi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, terus
menghiasi media sosial, baik koran maupun televisi.
Kita lihat kabar
tentang Ketua nonaktif KPK, Abraham Samad, urung ditahan oleh Polda Sulawesi
Selatan dan Barat (Sulselbar), setelah menjalani pemeriksaan pada Selasa
(28/04). Ada juga penyidik KPK Novel Baswedan yang sempat ditahan polisi.
Kita paham, pada hari yang sama, eksekusi hukuman mati kasus narkoba
dilaksanakan di Nusakambangan.
Kedua kasus tersebut
potensial memunculkan kegaduhan sosial, tingkat nasional sampai
internasional. Beberapa waktu berselang, pelantikan Wakapolri Komjen Pol Budi
Gunawan, vonis nenek Asyani, dan pelimpahan kasus komisioner KPK nonaktif
Bambang Widjoyanto ke Kejagung berlangsung dalam waktu berdekatan. Semula ada
kabar, BW mau ditahan, walaupun akhirnya diurungkan.
Demi waktu,
dipertanyakan apakah benar penanganan kasus-kasus tersebut secara kebetulan
saja berlangsung pada saat berdekatan, ataukah ada rekayasa demikian? Sulit menemukan
dasar pembenaran ataupun penyangkalannya. Demi waktu, ada pengalaman di era
Orde Baru, para aktivis paham benar ketika jadwal ujian semester tiba, justru
pada saat demikian ada kebijakan nonpopulis, misal kenaikan harga BBM.
Layak diyakini bahwa
hal demikian dengan perhitungan, para aktivis tidak punya waktu, tenaga,
apalagi pikiran untuk mengkritisi kebijakan tersebut melalui demo-demo di
tempat umum, jalan-jalan utama dan kantor-kantor pemerintah. Berdasarkan
pengalaman, kasus-kasus yang diduga berdampak sosial tinggi bagi stabilitas
politik dan keamanan, umumnya ada rekayasa waktu. Bagi rezim penguasa,
rekayasa waktu itu penting, agar ”biaya sosial” (kegaduhan, demo-demo,
protes) dapat ditekan serendah mungkin.
Demi waktu, ada
informasi bahwa beberapa media sosial, telah ”dibeli” atau ”ditekan” oleh
rezim penguasa sehingga hanya memberitakan hal-hal yang sesuai dengan
kepentingan penguasa. Informasi dan opini yang mendiskreditkan penguasa wajib
ditolak, setidaknya perlu ”dipelintir”. Penguasa dimaksud, dapat pemerintah,
bos-bos pengusaha, ataupun institusi keamanan.
Sungguh amat
disayangkan apabila kabar ini benar adanya. Sangat disadari bahwa peran dan
kekuatan media sosial dalam membangun bangsa sangat besar dan strategis. Akan
tetapi, sama besar dan strategisnya pula, media sosial dapat menjadi
predator, mesin perusak bangsa, bila telah kehilangan komitmen kebangsaan,
dan hanya berkiblat demi keuntungan finansial. Demi waktu, berbagai rangkaian
peristiwa bergayut satu dengan lainnya, masing-masing memiliki keunikan.
Mestinya, semua itu
menjadi pelajaran berharga, agar perjalanan hidup dan kehidupan suatu bangsa
tidak jatuh untuk kedua kali, sebaliknya justru menjadikan kita semakin arif
dan bijak. Disadari atau tidak, kita telah masuk dan terjebak ke dalam era
postmodern. Pada era ini, marak bermunculan poskriminalitas. Apa itu?
Maraknya kejahatan
dalam bentuk simulasi, pura-pura, imitasi, yang sengaja direkayasa oleh oknum
penguasa, dengan mendayagunakan media, uang, teknologi, kekuatan, dan
kekuasaan, sehingga publik terkecoh, dikiranya kriminalitas yang ditayangkan
secara masif dan sistemis itu sebagai kejahatan yang otentik dan utuh,
padahal hanya manipulasi dan reduksi belaka.
Begitu masif dan
intensnya manipulasi dan reduksi pemberitaan, maka kejahatan lain yang justru
lebih parah dan lebih besar, menjadi tersingkirkan dari ingatan publik. Dalam
bahasa awam, ada rekayasa pengalihan perhatian dan sekaligus pembodohan
publik.
Sebagaimana terjadi di
banyak negara, Indonesia pun mempunyai periode kelam perihal poskriminalitas.
Jika Amerika punya American Civil War
(1861-1865), Jerman punya holocaust,
maka Indonesia punya peristiwa Mei 1998, Petrus, Malari, Tanjung Priok, kasus
Cicak versus buaya, dan lain-lain. Entah kebetulan ataukah merupakan penanda
utama bahwa oknum-oknum penguasa pada negara-negara tersebut berusaha
mengelola waktu dalam rangka menghapus rekam jejak kejahatannya di era
masing-masing.
Upaya-upaya dilakukan,
mulai dari menyewa public relations
profesional, mengubah isi buku sejarah, hingga membungkam para aktivis hak
asasi manusia (HAM), memberangus media sosial. Semua dilakukan demi
menyembunyikan kejahatan dan melanggengkan kekuasaan. Bila dicermati seksama,
di era Orde Reformasi ini, dengan dalih demokrasi dan penegakan HAM, ada
kecenderungan poskriminalitas semakin subur, berkembang, merebak, menarinari,
dan mendapatkan pembenaran melalui pencitraan penguasa.
Pencermatan terhadap
poskriminalitas tersebut sulit dilakukan manakala mindset bangsa masih
linier, polos, positivistis, bahwa penguasa itu pasti pemimpin, pasti
pengayom, pasti adil, pasti berbuat untuk rakyat. Kalau mindset bangsa demikian, maka ujungnya dipastikan kecele,
berlanjut kecewa, dan akhirnya depresi. Maka, jangan terkecoh pernyataan
politis, maupun pidato-pidato penguasa ”palsu”.
Jauh panggang dari
api, antara ucapan, tingkah laku dan kebenaran. Ingat, dalam perspektif
teologis, waktu berasal dari kata waqt
(bahasa Arab), artinya batas akhir dari masa yang seharusnya digunakan untuk
beraktivitas. Waktu, adalah modal utama, kesempatan pertama, anugerah Tuhan
untuk mengisi hidup dan kehidupan.
Dengan demikian,
waktu, mestinya digunakan untuk beraktivitas, bekerja, beramal, secara
sungguhsungguh, dengan mendayagunakan kalbu, akal, dan keterampilannya,
sehingga berbuah kebajikan. Itulah amal saleh. Pada orang-orang yang mampu
menggunakan waktu dengan efektif akan terhindar dari kerugian, kesesatan, dan
kesalahan. Benar bahwa poskriminalitas tidak sepenuhnya fiksi.
Dalam banyak kasus, di
dalamnya ada pula fakta-fakta hukum atau bukti kejahatan, misal: kesalahan
administrasi, potensi kerugian keuangan negara, pemalsuan dokumen, dan
sebagainya, akan tetapi fakta-fakta hukum itu dikemas sedemikian rupa
sehingga tidak merepresentasikan secara otentik dan utuh kesalahan atau
kebenarannya. Fakta-fakta diolah, dipilah- pilah, dan dipilih yang cocok
untuk mengamini kehendak penguasa.
Silakan dicermati
fakta-fakta hukum kasus ketua KPK nonaktif AS, kasus komisioner nonaktif BW,
kasus nenek Asyani, dan kasus-kasus penggiat anti korupsi. Benarkah,
otentikkah, dan utuhkah? Ataukah merupakan bagian dari ”bungkus” kejahatan
untuk menangkal reaksi publik atas kejahatan oknum penguasa? Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar