Jumat, 08 Mei 2015

Waspada terhadap Poskriminalitas

Waspada terhadap Poskriminalitas

Sudjito  ;  Guru Besar Ilmu Hukum UGM
KORAN SINDO, 05 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Berita-berita tentang kriminalisasi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, terus menghiasi media sosial, baik koran maupun televisi.
Kita lihat kabar tentang Ketua nonaktif KPK, Abraham Samad, urung ditahan oleh Polda Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar), setelah menjalani pemeriksaan pada Selasa (28/04). Ada juga penyidik KPK Novel Baswedan yang sempat ditahan polisi. Kita paham, pada hari yang sama, eksekusi hukuman mati kasus narkoba dilaksanakan di Nusakambangan.

Kedua kasus tersebut potensial memunculkan kegaduhan sosial, tingkat nasional sampai internasional. Beberapa waktu berselang, pelantikan Wakapolri Komjen Pol Budi Gunawan, vonis nenek Asyani, dan pelimpahan kasus komisioner KPK nonaktif Bambang Widjoyanto ke Kejagung berlangsung dalam waktu berdekatan. Semula ada kabar, BW mau ditahan, walaupun akhirnya diurungkan.

Demi waktu, dipertanyakan apakah benar penanganan kasus-kasus tersebut secara kebetulan saja berlangsung pada saat berdekatan, ataukah ada rekayasa demikian? Sulit menemukan dasar pembenaran ataupun penyangkalannya. Demi waktu, ada pengalaman di era Orde Baru, para aktivis paham benar ketika jadwal ujian semester tiba, justru pada saat demikian ada kebijakan nonpopulis, misal kenaikan harga BBM.

Layak diyakini bahwa hal demikian dengan perhitungan, para aktivis tidak punya waktu, tenaga, apalagi pikiran untuk mengkritisi kebijakan tersebut melalui demo-demo di tempat umum, jalan-jalan utama dan kantor-kantor pemerintah. Berdasarkan pengalaman, kasus-kasus yang diduga berdampak sosial tinggi bagi stabilitas politik dan keamanan, umumnya ada rekayasa waktu. Bagi rezim penguasa, rekayasa waktu itu penting, agar ”biaya sosial” (kegaduhan, demo-demo, protes) dapat ditekan serendah mungkin.

Demi waktu, ada informasi bahwa beberapa media sosial, telah ”dibeli” atau ”ditekan” oleh rezim penguasa sehingga hanya memberitakan hal-hal yang sesuai dengan kepentingan penguasa. Informasi dan opini yang mendiskreditkan penguasa wajib ditolak, setidaknya perlu ”dipelintir”. Penguasa dimaksud, dapat pemerintah, bos-bos pengusaha, ataupun institusi keamanan.

Sungguh amat disayangkan apabila kabar ini benar adanya. Sangat disadari bahwa peran dan kekuatan media sosial dalam membangun bangsa sangat besar dan strategis. Akan tetapi, sama besar dan strategisnya pula, media sosial dapat menjadi predator, mesin perusak bangsa, bila telah kehilangan komitmen kebangsaan, dan hanya berkiblat demi keuntungan finansial. Demi waktu, berbagai rangkaian peristiwa bergayut satu dengan lainnya, masing-masing memiliki keunikan.

Mestinya, semua itu menjadi pelajaran berharga, agar perjalanan hidup dan kehidupan suatu bangsa tidak jatuh untuk kedua kali, sebaliknya justru menjadikan kita semakin arif dan bijak. Disadari atau tidak, kita telah masuk dan terjebak ke dalam era postmodern. Pada era ini, marak bermunculan poskriminalitas. Apa itu?

Maraknya kejahatan dalam bentuk simulasi, pura-pura, imitasi, yang sengaja direkayasa oleh oknum penguasa, dengan mendayagunakan media, uang, teknologi, kekuatan, dan kekuasaan, sehingga publik terkecoh, dikiranya kriminalitas yang ditayangkan secara masif dan sistemis itu sebagai kejahatan yang otentik dan utuh, padahal hanya manipulasi dan reduksi belaka.

Begitu masif dan intensnya manipulasi dan reduksi pemberitaan, maka kejahatan lain yang justru lebih parah dan lebih besar, menjadi tersingkirkan dari ingatan publik. Dalam bahasa awam, ada rekayasa pengalihan perhatian dan sekaligus pembodohan publik.

Sebagaimana terjadi di banyak negara, Indonesia pun mempunyai periode kelam perihal poskriminalitas. Jika Amerika punya American Civil War (1861-1865), Jerman punya holocaust, maka Indonesia punya peristiwa Mei 1998, Petrus, Malari, Tanjung Priok, kasus Cicak versus buaya, dan lain-lain. Entah kebetulan ataukah merupakan penanda utama bahwa oknum-oknum penguasa pada negara-negara tersebut berusaha mengelola waktu dalam rangka menghapus rekam jejak kejahatannya di era masing-masing.

Upaya-upaya dilakukan, mulai dari menyewa public relations profesional, mengubah isi buku sejarah, hingga membungkam para aktivis hak asasi manusia (HAM), memberangus media sosial. Semua dilakukan demi menyembunyikan kejahatan dan melanggengkan kekuasaan. Bila dicermati seksama, di era Orde Reformasi ini, dengan dalih demokrasi dan penegakan HAM, ada kecenderungan poskriminalitas semakin subur, berkembang, merebak, menarinari, dan mendapatkan pembenaran melalui pencitraan penguasa.

Pencermatan terhadap poskriminalitas tersebut sulit dilakukan manakala mindset bangsa masih linier, polos, positivistis, bahwa penguasa itu pasti pemimpin, pasti pengayom, pasti adil, pasti berbuat untuk rakyat. Kalau mindset bangsa demikian, maka ujungnya dipastikan kecele, berlanjut kecewa, dan akhirnya depresi. Maka, jangan terkecoh pernyataan politis, maupun pidato-pidato penguasa ”palsu”.

Jauh panggang dari api, antara ucapan, tingkah laku dan kebenaran. Ingat, dalam perspektif teologis, waktu berasal dari kata waqt (bahasa Arab), artinya batas akhir dari masa yang seharusnya digunakan untuk beraktivitas. Waktu, adalah modal utama, kesempatan pertama, anugerah Tuhan untuk mengisi hidup dan kehidupan.

Dengan demikian, waktu, mestinya digunakan untuk beraktivitas, bekerja, beramal, secara sungguhsungguh, dengan mendayagunakan kalbu, akal, dan keterampilannya, sehingga berbuah kebajikan. Itulah amal saleh. Pada orang-orang yang mampu menggunakan waktu dengan efektif akan terhindar dari kerugian, kesesatan, dan kesalahan. Benar bahwa poskriminalitas tidak sepenuhnya fiksi.

Dalam banyak kasus, di dalamnya ada pula fakta-fakta hukum atau bukti kejahatan, misal: kesalahan administrasi, potensi kerugian keuangan negara, pemalsuan dokumen, dan sebagainya, akan tetapi fakta-fakta hukum itu dikemas sedemikian rupa sehingga tidak merepresentasikan secara otentik dan utuh kesalahan atau kebenarannya. Fakta-fakta diolah, dipilah- pilah, dan dipilih yang cocok untuk mengamini kehendak penguasa.

Silakan dicermati fakta-fakta hukum kasus ketua KPK nonaktif AS, kasus komisioner nonaktif BW, kasus nenek Asyani, dan kasus-kasus penggiat anti korupsi. Benarkah, otentikkah, dan utuhkah? Ataukah merupakan bagian dari ”bungkus” kejahatan untuk menangkal reaksi publik atas kejahatan oknum penguasa? Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar