Jumat, 29 Mei 2015

Pencari Suaka dan Martabat Bangsa

Pencari Suaka dan Martabat Bangsa

Ahyudin  ;  Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT)
REPUBLIKA, 21 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Apa yang menjadikan bangsa besar? Sama sekali bukan kedigdayaan ekonomi apalagi militernya. Bukan bersebab kehebatannya menaklukkan bangsa lain. Kenangan kebesaran atas sebuah bangsa, melalui leadership bangsa, ada pada kapasitasnya mengelola kemanusiaan.

Kemanusiaan, sebuah platform lintas bangsa, mondial, universal. Siapa atau bangsa apa hebat mengelola kemanusiaan, membantu bangsa lain, dialah bangsa besar. Peluang itu sedang terhidang di halaman Tanah Air kita.

Aceh pascatsunami adalah 'pesta kemanusiaan' yang menempatkan Indonesia ajang kerja penyelamatan jiwa manusia. Filantropi dunia unjuk kebaikan di tengah krisis kemanusiaan ini. Yakinlah, itu bukan kebetulan. Bangsa ini sedang ditatar menjadi bangsa besar: latihan mengelola elemen-elemen lintas bangsa dalam urusan kemanusiaan. Bangsa lain berbondong-bondong menolong pemulihan Aceh (dan Nias) pascatsunami.

Ini 'buah' kebaikan Indonesia berkali-kali mengirim pasukan perdamaian (Kontingen Garuda) bertahun silam. Misi memulihkan kedamaian tak boleh hilang dari bangsa ini, kalau keberkahan ingin terus mengalir bagi negeri ini. Lalu, pekan ini medio Mei, setelah berlalu 'Hari Pendidikan Nasional' dan 'Hari Kebangkitan Nasional', beratus pencari suaka muncul di pantai Aceh Utara.

Mereka mencoba peruntungan hidup, sebagian sempat bekerja di Malaysia, lalu berbekal tabungannya, kembali ke Myanmar menjemput keluarganya. Malang tak dapat ditolak, mereka terdampar setelah kehabisan bahan bakar dan pangan ke perairan Indonesia. Bukan kebetulan. Ini 'utusan langit' menguji bangsa kita: akankah bangsa ini ditinggikan martabatnya sebagaimana martabat bangsa-bangsa lain yang dengan ikhlas dan sadar bersemangat menyelamatkan kehidupan, menolong manusia-manusia lain yang teraniaya; ataukah menjatuhkan derajat kebangsaan kita dengan membiarkan kematian melenyapkan umat manusia lainnya?

Saya bersyukur, Kementerian Luar Negeri RI segera membantah kabar bahwa Indonesia menghalau pencari suaka kembali ke laut lepas. Pasti, Indonesia tidak sezalim itu. Kita bangsa yang pernah sengsara dan ditolong bangsa lain, baik sebelum merdeka maupun ketika sudah menjadi NKRI.

Balas budi kita tidak cukup hanya untuk negara-negara terkait, negara-negara penolong, tapi harus lebih dari itu: kepada kehidupan. Kita tak ingin model pertolongan yang transaksional, equal, pas banderol. Karena kita bangsa besar, kita layak melakukan lebih; lakukan lebih dari yang biasa. Menolong, dengan sesungguh-sungguh pertolongan. Kita tidak menolong sebatas fatsun bangsa di kawasan yang sama. Kita tidak menolong sebatas etik dan kepatutan.

Pada diri pencari suaka, kaum yang teraniaya, lemah tanpa daya, ada kekuatan perubahan. Dalam perspektif Muslim, perubahan (kebaikan) terjadi bersama mereka yang paling lemah. Membantu yang teraniaya sama dengan menghadirkan kekuatan Yang Mahabesar. Modal hebat mendongkrak martabat bangsa, menolong bangsa/etnis lain yang terlemah.

Mengapa kalau PBB menyebut Rohingya etnis paling sengsara di dunia, tak banyak pemerintah atau bangsa-bangsa di dunia mengajukan diri menjadi penolongnya? Apakah karena faktor Myanmar "saudara se-ASEAN" kita?

Kalau benar makna persaudaraan itu dihayati, saudara yang keliru harus diselamatkan dengan diingatkan. Kalau tidak, kita membiarkan saudara kita selamanya dalam kesalahan. Kesalahan yang ini, Myanmar gagal menunjukkan iktikadnya memelihara kehidupan. Mengusir Rohingya entah ke mana, membiarkan Rohingya menemui ajal perlahan, lebih kejam dari perang cepat yang segera mematikan. Beratus bahkan beribu Rohingya, mati di laut perlahan karena lapar, sakit atau terempas badai.

Martabat Indonesia cemerlang ketika banyak jiwa bangsa lain yang hadir di halaman rumah kita dalam kondisi tak berdaya, kita selamatkan. Tampilan fisiknya, sudah mirip, agamanya pun sama dengan mayoritas Indonesia, kalaupun tidak, mereka pun sama: manusia seperti kita.

Kita juga punya Tanah Air yang luas, yang memungkinkan untuk menjadi lahan penghidupan manusia di atasnya. Rohingya (pun sebagian pencari suaka Bangladesh), orang-orang yang bersedia bekerja demi hidup. Mereka pejuang kehidupan, yang kalau kita beri kesempatan, bukan mustahil, bangsa Indonesia memiliki alasan hebat untuk memohon keamanan dan kemakmuran bagi negerinya, ketimbang kalau kita mengabaikan pencari suaka itu.

Menutup tulisan ini, sepenggal catatan saat menengok pencari suaka Rohingya dan Bangladesh ini di Aceh Utara. Hanya ada sedikit yang bisa bicara Melayu, lebih sedikit lagi bahasa Inggris. Satu di antaranya, Thanbe Ahmed (20 tahun).

Ia mengaku pencari suaka dari Bangladesh. Semula ia berpikir mau ke Malaysia. Itu karena ia punya cerita, banyak yang selamat dan membangun kehidupan baru di sana. Ia belum kenal Indonesia. Ia dengar, pencari suaka di Indonesia tak bisa menetap. "Tapi, pikiran saya berubah. Indonesia is good country. Kami disambut orang Indonesia, orang Aceh. Kami merasa aman," ungkapnya.

Baru beberapa saat di Aceh, ia sudah merasakan kehangatan bangsa Indonesia. Kebaikan Aceh adalah kebaikan Indonesia. Aceh mewakili Indonesia menjadi etalase kemanusiaan dunia. Penyambut pencari suaka itu, orang-orang biasa, nelayan, petambak, pedagang kecil, atau petani. Bahkan, siswa-siswi dan mahasiswa menunjukkan kehangatannya.

Kata Rozy, relawan lokal warga Lhoksukon, biasanya pukul 21.00 jalanan di Desa Kuala Cangkui—menuju area tempat pelelangan ikan, di mana pencari suaka dipusatkan—sudah sunyi. "Tapi hari ini, pukul sepuluh malam saja masih banyak yang datang. Semua bukan cuma mau melihat-lihat. Tak ada yang datang tangan kosong. Minimal mereka berbagi uang," ungkap Rozy yang menyaksikan fenomena serupa sejak pencari suaka itu ditampung di GOR Lhoksukon.

Selain badan-badan dunia, seperti UNHCR dan IOM, media nasional maupun internasional, badan lokal, seperti Dinas Sosial Aceh dengan Tagana, PMI Aceh, beberapa pejabat lokal dengan pakaian tak resmi, dan entah apalagi yang serbaremang-remang karena penerangan masih terbatas malam itu, menunjukkan kemanusiaannya. Sesaat saya merasa, kita terus menanjak menuju bangsa bermartabat karena memuliakan manusia dengan menyelamatkan kehidupan.

Saya makin yakin, pencari suaka itu akan kita persaudarakan dengan bangsa kita. Kita takkan pernah sengsara dengan menolong sesama manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar