Pemimpin
Nasional untuk Bangsa,
Bukan
Partai, apalagi Keluarga
Hendrik Kawilarang Luntungan ; Wakil Sekjen DPP Partai Perindo;
Alumnus The Australian National University
|
KORAN SINDO, 05 Mei 2015
Pemimpin dan teladan,
dua hal yang makin langka di negeri ini. Pemimpin berdiri di atas semua
golongan, mengutamakan kepentingan semua lapis warganya.
Tak lagi memikirkan
kepentingan partai, jabatan, kelompok, apalagi keluarganya. Tindakan seorang
pemimpin semestinya menunjukkan prinsip-prinsip tersebut. Pemimpin dibebankan
sejarah untuk memberi kemaslahatan bagi sebanyak-banyaknya rakyat yang
dipimpinnya. Kemaslahatan ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Bukan
kemaslahatan partainya, bukan pula keluarganya.
Karena itu, tindakan
seorang pemimpin– yang genuine leader–otomatis
akan menjadi teladan di masyarakat. Pemimpin lahir dan hadir dari kebutuhan
bangsanya yang selalu mendengar dan merasakan hati nurani bangsa. UUD 1945
dan Pancasila menjadi landasan pikir dan tindakannya. Sejarah Indonesia
banyak memberi contoh. Soekarno, M Hatta, Sutan Sjahrir, Sam Ratulangi
(Gerungan Saul Samuel Jozias Ratulangi) dan masih banyak lagi tokoh Indonesia
tempo ”doeloe” yang menunjukkan kualitas sebagai pemimpin.
Impian para pemimpin
pendiri bangsa itu sederhana, Indonesia berdaulat dan mandiri. Tanah Air yang
amat kaya dan indah ini harus menjadi sarana serta dimanfaatkan semaksimal
mungkin secara bijaksana bagi sepenuhnya kemakmuran bangsa. Soal ini,
jelas-jelas tertuang dalam landasan negara kita. Kini 15 tahun setelah
Reformasi Mei 1998, Indonesia malah makin jauh dari kemandirian dan
kedaulatan. Apa sebab? Banyak faktor.
Salah satunya karena
sedikitnya pemimpin yang muncul. Kebebasan politik malah menyebabkan sendi-sendi
kedaulatan bangsa rapuh. Selain itu, intervensi asing bertopeng globalisasi
sedikit demi sedikit namun pasti, menggerogoti banyak aset sumber daya alam
negeri ini. Pada 2010 Badan Intelijen Negara (BIN) menemukan sedikitnya 76
rancangan undangundang yang diintervensi asing. Inti dari intervensi ini
adalah upaya meliberalisasi sektorsektor vital di Indonesia.
Contohnya,
Undang-Undang (UU) Migas, Kelistrikan, Perbankan dan Keuangan, Pertanian,
serta Sumber Daya Air. Semua usulan UU itu berasal dari pemerintah. Sangat
disesalkan mengapa pemerintah lebih mengakomodasi kepentingan asing dalam UU
tersebut. Padahal, pemerintah telah berpengalaman selama 67 tahun
kemerdekaan. Intervensi kepentingan asing ini dilakukan dengan cara yang
cukup lembut, bukan dengan kekuatan militer atau embargo ekonomi.
Wakil-wakil asing itu
cukup menjadi konsultan pengambil kebijakan. Mereka kemudian memberikan
pinjaman kepada pemerintah untuk sejumlah program di bidang politik, ekonomi,
pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat. Maka itu, mereka bisa
menyusupkan kepentingan asing dalam penyusunan UU di bidang-bidang tersebut.
Bank Dunia antara lain
terlibat sebagai konsultan dalam sejumlah program pemerintah di sektor
pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam, dan
pembangunan berbasis masyarakat. Akibat keterlibatan itu, pemerintah mengubah
sejumlah UU antara lain UU Pendidikan Nasional, UU Kesehatan, UU Kelistrikan,
dan UU Sumber Daya Air.
Dalam UU Sumber Daya
Air, penyusupan kepentingan asing adalah dalam bentuk pemberian izin kepada
pihak asing untuk menjadi operator atau pengelola. Pemberian izin tersebut
secara otomatis telah mematikan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Di bidang
kelistrikan juga hampir sama. Pada UU Kelistrikan, Bank Dunia mengarahkan
pengelolaan listrik oleh pihak swasta atau dikelola masing-masing daerah.
Asing juga menyusupkan kepentingannya dalam
UU BUMN dan UU Penanaman Modal Asing. Dengan menerima bantuan IMF, secara
otomatis pemerintah pasti harus mengikuti ketentuan IMF. Misalnya,
privatisasi BUMN dan membuka kesempatan penanaman modal asing di usaha
strategis yang seharusnya dikuasai negara. Intinya, menyusupnya kepentingan
asing pada sejumlah UU telah merusak tatanan politik, ekonomi, dan
sosial-budaya. Meski berbeda lembaga, syarat- syarat yang diajukan lembaga
internasional itu secara substansi sama.
Syaratnya, membuka
pasar bebas, tidak boleh ada proteksi, pemain lokal dirugikan, free
competitions, dan membuat standardisasi yang membebani petani dan rakyat
kecil. Akibat intervensi itu, telah dirasakan masyarakat saat ini. Contohnya,
dalam industri perbankan dan pertanian. Di industri perbankan, aset bank
nasional masih miskin. Pada bidang pertanian, nasib petani makin rentan. Kini
kita menjadi sangat tergantung pada impor akibat liberalisasi yang dilakukan.
Dari berbagai
literatur seperti karya Anthony Sampson, Joseph E Stiglitz, Noam Chomsky,
Sritua Arief, Sri Edi Swasono, dan lainnya, suatu perekonomian disebut
terjajah ditunjukkan dalam lima indikator. Pertama, kepemilikan sumber daya,
produksi, dan distribusi. Kedua, bagaimana suatu bangsa memenuhi kebutuhan
sektor pangan, energi, keuangan, dan infrastruktur.
Ketiga, pasar domestik
untuk kebutuhan primer dan sekunder dipasok siapa dan siapa yang mendominasi.
Keempat, apakah suatu pemerintahan mempunyai kemerdekaan dan kebebasan
mengambil kebijakan ekonomi dan terlepas dari pengaruh penguasa ekonomi
dunia. Kelima, bagaimanasumbersumber pendanaan APBN, dan apakah APBN
memberikan hakhak ekonomi sosial-budaya.
Akibat liberalisasi
ini, kedaulatan energi kita pun tergadai. Hampir 95% sektor minyak dan gas
bumi (migas) Indonesia dikuasai korporasi asing. Chevron menjadi salah satu
penguasa terbesar migas di Indonesia yang mengambil porsi 44%. Berikutnya
Total E&P (10%), Conoco Phillips (8%), Medco Energy (6%), China National
Offshore Oil Corporation (5%), China National Petroleum Corporations (2%),
British Petroleum, Vico Indonesia, dan Kodeco Energy masing-masingnya 1%.
Sedangkan Pertamina
yang notabene asli Indonesia hanya mendapatkan porsi 16%. Kenyataan ini
sangat bertentangan denganamanat UUD1945. Energi bukan lagi komoditas
strategis bangsa, melainkantelahmenjadi komoditas komersial semata.
Jikasektorenergi menjadikomoditaskomersial, ituberartisemua orang boleh
menguasainya. Undang-Undang Penanaman Modal dan anak peraturannya mengatakan,
sektor migas dapat dikuasai asing 95%. Sedangkan sektor tambang 90%.
Padahal, jika porsi
energi yang begitu besar dititipkan ke perusahaan BUMN yang jelasjelas milik
negara, BUMN dipastikan mampu mengambil perannya menjadi pilar utama sektor
perekonomian. Kehancuran kedaulatan energi bersumber dari Undang-Undang Migas
yang merugikan negara secara finansial. Hasil survei teknologi global
menunjukkan, dari 143 negara di Asia, pengelolaan migas di Indonesia ada di
posisi 113 di Asia.
Di Oceania,
pengelolaan migas Indonesia bahkan lebih buruk di bawah Timor Leste. Para
pengamat ekonomi dan energi meminta pemerintah untuk segera mengevaluasi dan
mengganti UU Migas yang masih berlaku saat ini. Jika pada era Orde Baru
liberalisasi perekonomian masih malu-malu, setelah reformasi Konsensus
Washington malah menjadi sumber utama inspirasi kebijakan. Kini kita tak
patut meratap jika ternyata kita memang belum berdaulat secara ekonomi.
Yang dibutuhkan justru
kerja sama masyarakat guna mengembalikan modal sosial yang telah
diluluhlantakkan. Itu berarti kita membutuhkan pemimpin yang menjalankan
komitmennya menegakkan UUD 1945, baik pemimpin-pemimpin di legislatif maupun
eksekutif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar