Sabtu, 30 Mei 2015

Putusan Haswandi dalam Praperadilan Hadi Poernomo

Putusan Haswandi dalam Praperadilan Hadi Poernomo

Romli Atmasasmita  ;  Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas
KORAN SINDO, 29 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Hiruk-pikuk kedua soal putusan praperadilan melawan KPK terjadi lagi satu hari setelah Hakim Haswandi, ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, memutuskan KPK tidak sah menetapkan Hadi Poernomo (HP) sebagai tersangka. Ada pertimbangan Hakim Haswandi yang membuat gelisah pimpinan KPK dengan menyatakan bahwa putusan tersebut akan membuyarkan pemberantasan korupsi dengan merujuk kepada 371 perkara korupsi yang telah in-kracht.

Sejatinya dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia tidak dianut yurisprudensi sebagai sumber hukum selain undang-undang. Selain itu, kekhawatiran pimpinan KPK berlebihan karena putusan Haswandi tidak dapat “diberlakukan” surut. Putusan Haswandi tidak retroaktif tetapi prospektif, itu pun jika hakim lain mengikutinya.

Tidak ada perlu ada reaksi yang berlebihan, apalagi dengan mengatakan putusan Hakim Haswandi mendelegitimasi status PPNS yang terdapat di kementerian/lembaga (K/L). Jika pengamat dan pimpinan KPK cermat membaca permohonan pemohon praperadilan (HP), di dalamnya ada permohonan terkait status penyelidik dan penyidik pada KPK. Seingat penulis, permohonan aquo yang pertama dimasukkan ke PN Jaksel tidak tercantum soal status penyelidik dan penyidik, tetapi dicantumkan dalam permohonan praperadilan yang kedua. Jadi tidak ada putusan Hakim Haswandi yang bersifat ultra petita.

Dalam kaitan status penyelidik dan penyidik pada KPK, juga terdapat pemahaman keliru dari pimpinan KPK. Lex specialis yang dimaksud dalam UU KPK merujuk pada aspek historis dan teleologis mengenai latar belakang pembentukan KPK. Dalam hal ini hanya terkait kewenangan komisioner KPK yang luas dan menyimpang dari ketentuan KUHAP, bukan terkait pada status pegawai penyelidik, penyidik dan penuntut pada KPK.

Alas hukum mengenai hal tersebut tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) jo Pasal 6 dan khususnya Pasal 12 UU KPK. Sementara status penyelidik, penyidik, dan penuntut (P3) tetap merujuk pada KUHAP yang merupakan “payung hukum” (umbrella act) proses beracara dalam perkara pidana termasuk perkara tipikor. Jika di dalam UU KPK tidak ditegaskan status siapa P3, yang berlaku adalah ketentuan aquo yang telah diatur dalam payung hukum tersebut. Tidak boleh ditafsirkan oleh pimpinan KPK karena tidak diatur secara khusus, pimpinan KPK dapat menafsirkan dan mengangkat sendiri karena proses peradilan harus mengikuti secara hierarkis dan secara prosedural berpegang teguh pada sistem kodifikasi.

Dalam kaitan pengangkatan penyelidik, penyidik, dan penuntut pada KPK (Pasal 43, 44 dan Pasal 51 UU KPK) khususnya penyidik dan penuntut seharusnya dibaca terhubung pada Pasal 39 ayat (3) UU KPK. Karena penyelidik, penyidik dan penuntut diberhentikan sementara dari institusi asalnya sehingga harus ada yang mengangkat agar dapat menjalankan fungsinya, yaitu pimpinan KPK.

Bunyi Pasal 39 ayat (3) UU KPK jelas merujuk pada ketentuan KUHAP mengenai siapa P3 sehingga institusi asalnya dimaksud adalah Kepolisian bagi penyelidik dan penyidik dan kejaksaan bagi penuntut. Bahkan dalam UU KPK, fungsi jaksa penuntut hanya sebatas penuntutan bukan penyidikan; posisi yang berbeda ketika jaksa berada dalam lingkungan kerja kejaksaan di mana sesuai dengan bunyi UU Nomor 6 Tahun 2004, penuntut dapat melaksanakan fungsi penyidikan dalam tindak pidana tertentu termasuk tipikor.

Dalam UU KPK tidak ada ketentuan eksplisit menyebutkan bahwa penuntut dapat melakukan fungsi penyidikan juga. Berdasarkan uraian aspek hukum dari pertimbangan Hakim Haswandi, ketidakpuasan atau keberatan pimpinan KPK seharusnya dijadikan bahan introspeksi internal KPK untuk berbenah diri secara total. Pembenahan itu baik dari aspek manajemen perkara, proses pengambilan keputusan melalui gelar perkara berdasarkan sistem kolektif-kolegial dan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan berpedoman pada prinsip hukum “due process of law“.

Diharapkan ke depan KPK menjalankan penegakan hukum secara bermartabat dalam pemberantasan korupsi jika merujuk pada penetapan tiga tersangka yang tidak sah yang oleh KPK selalu diikuti dengan proses pencekalan, pemblokiran, penyitaan yang mutati mutandis tidak sah. Akibat hukum putusan Haswandi, tindakan KPK terhadap tiga tersangka adalah merupakan bentuk perampasan kemerdekaan yang diancam pidana berdasarkan Pasal 333 KUHP.

Putusan Hakim Haswandi hanya berdampak terhadap status penyelidik dan penyidik pada KPK dan tidak ada kaitannya dengan status PPNS yang telah diatur di dalam beberapa UU Sektoral yang secara eksplisit telah dicantumkan dalam Pasal 6 KUHAP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar