Jumat, 29 Mei 2015

Retak Parpol, Demokrasi untuk Siapa?

Retak Parpol, Demokrasi untuk Siapa?

Mardiansyah  ;  Pengurus DPP Partai Perindo dan Ketua Umum DDMI
(Dewan Dakwah Muslimin Indonesia) DKI Jakarta
KORAN SINDO, 27 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Kisruh politik kerap melanda partai politik. Yang kita mafhum biasanya datang dari internal partai itu sendiri, namun kini yang terpampang di hadapan kita justru tekanan politik dominan dari luar partai yang kental akan kuasa pemerintah (abuse of power) mewarnai kisruh Partai Golkar dan PPP.

Sejarah berulang, nafsu kuasa Orde Baru yang merasuki PDI waktu itu berakhir dengan tragedi berdarah ”kudatuli” dan chaos partai politik. Situasi serupa menjelma pada konflik Golkar dan PPP saat ini di mana politik kekuasaan menjadi panglima atas nama demokrasi. Seyogianya, belum lama setelah pileg dan pilpres tahun lalu, rakyat rindu akan kehidupan lebih baik melalui ”suara” yang telah dimandatkan kepada partai politik.

Rakyat tidak pernah membayangkan apalagi menginginkan wajah partai politik terbelah, konflik, pecah, gaduh berebut kekuasaan seperti sekarang ini. Tidak berlebihan kalau satusatunya harapan publik dari pemilu yang digelar tahun lalu adalah langkah maju bangsa ini mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketertinggalan lainnya melalui parameter sederhana: rakyat menjadi lebih sejahtera.

Jangan sampai pemilu lima tahunan yang kita rasakan makin berkualitas ini hanya tercatat sebagai laluan sejarah dan ritual politik semata namun kering akan nilai dan esensi demokrasi yang harusnya bermakna ”demos ” dan ”cratos ”.

Parpol Pilar Demokrasi

Pilihan menjadi partai modern hampir menjadi role model semua partai politik peserta Pemilu 2014 dengan terjemahan platform dan keunikan perjuangan masing-masing. Di samping kebutuhan zaman, partai politik modern merupakan pilihan sejarah sebagai bentuk adaptasi dengan demokrasi kita yang terus berkembang.

Senada pula dengan Partai Perindo yang menasbihkan dirinya sebagai partai modern sejak dideklarasikan 7 Februari lalu, tengah berupaya membangun partai dengan basis massa dan kader. Partai modern yang menjiwai Partai Perindo bukanlah tanpa alasan, sedikitnya ada dua latar belakang: (1) demokrasi membutuhkan harmoni antara agregasi suara rakyat dan perjuangan politik yang substantif sehingga mampu melahirkan partai politik berkualitas; (2) sejarah kelahiran bangsa Indonesia dimotori oleh para pemikir dan tokoh bangsa yang progresif dan visioner, namun tetap realistik mencapai tujuan.

Oleh karena itu, kombinasi kuantitas dan kualitas dalam kemasan modernitas merupakan otentifikasi sekaligus refleksi terbaik dari perjuangan partai politik. Kondisi parpol kekinian (baca: dua parpol yang pecah/ konflik) adalah situasi kritikal yang berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi itu sendiri meskipun riuh rendah politik tersebut bisa kita letakkan dalam perspektif dinamika demokrasi partai politik modern.

Apa pun pijakan legitimasinya, demokrasi melalui instrumen partai politik tidak boleh melenceng bahkan out of the track dari intisari kedaulatan di tangan rakyat. Pesan demokrasi jelas menitikberatkan pada kuasa rakyat yang disalurkan melalui partai politik atau lebih mudah kita kenal dengan nama keterwakilan politik. Walhasil, partai politik modern seperti Partai Perindo berpandangan bahwa parlemen sebagai wujud perwakilan politik harus dikelola secara amanah, akuntabel dan transparan.

Hanya dengan prinsipprinsip tersebut maka jalan menuju parlemen yang konstruktif bisa ditegakkan. Dengan demikian, sangatlah tidak produktif jikalau wajah partai politik kita ada retak dan rusak akibat pertarungan elite internal partai politik maupun intervensi politik penguasa yang sudah pasti pada akhirnya merugikan sang mandatori mutlak yang bernama rakyat. Parpol yang kuat cikal bakal bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat dengan pijakan utama pada kepentingan rakyat.

Dan suatu panggilan sejarah bagi Partai Perindo untuk membuktikan modernitas kepartaiannya dalam menciptakan demokrasi yang sehat. Analogi singkatnya, tatkala Partai Perindo mampu memainkan peran strategis melalui kader-kader yang berkualitas dalam menyerap, menyalurkan dan juga memperjuangkan suara rakyat maka inklusif penguatan parpol terwujud sejalan dengan terbentuknya ikatan ideologis maupun pragmatis rakyat yang ”menghidupi” demokrasi.

Partai Perindo bersama partai politik lainnya turut andil mendorong jalan baru demokrasi yang sehat diawali dengan potret diri partai politik yang solid, satu, utuh serta menjadikan rakyat sebagai satu-satunya tujuan politik atau dalam ijtihad politik Partai Perindo dikenal dengan istilah politik kesejahteraan.

Parlemen Konstruktif

Parlemen konstruktif sebagai jalan panjang menuju demokrasi yang sehat, setidaknya mengandung arti: (1) menjalankan checks and balances kepada pemerintah dalam semangat kebersamaan. Bersama bisa diartikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi.

Pertama, pada posisi mendukung sejalan dengan program dan kebijakan pemerintah sepanjang berpihak pada kepentingan rakyat dan kedua, berbeda sikap dengan cara memberikan pandangan berbeda tidak sekadar kritik semata beroposisi, tapi konsisten secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik sejak awal agar suatu kebijakan pemerintah selalu bisa diperdebatkan secara konstruktif meski pada akhirnya tidak melulu sejalan dengan sikap pemerintah, (2) menerjemahkan sepenuhnya fungsi partai politik sebagai sarana komunikasi politik sekaligus pengatur konflik.

Peran (berbeda) sebagai oposisi rupanya dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan. Partai politik oposan diperlukan karena baik dan benarnya politik harus diperjuangkan dalam kontestasi politik serta diuji dalam wacana politik yang terbuka dengan melibatkan publik.

Sejatinya, praktik kekuasaan yang dijalankan pemerintah haruslah teruji bernas untuk kepentingan rakyat karena pengawasan melalui parlemen adalah satu bangunan (built in ) yang niscaya dalam era demokrasi. Maka pesan terpenting bagi para penguasa (baca: pemerintahan Jokowi-JK) tidak perlu terlalu reaktif ketika wajah parlemen kita berdinamisir dalam dua arus utama KMP dan KIH.

Dinamika itu merupakan berkah bawaan bahkan menjadi jamu yang mungkin terasa pahit, namun menyehatkan di kemudian hari. Sikap kritis yang disuarakan parpol KMP harus diletakkan dalam porsi oposisi loyal di mana kekritisan tersebut terjamin tidak akan keluar dari substansi nilai dan esensi demokrasi. Loyalitas pada agenda besar kebangsaan, program- program kerakyatan menjadi pijakan berpikir dan kerja-kerja politik baik oleh KMP maupun KIH.

Lantas, mengapa penguasa mesti gencar kerja keras mengondisikan mayoritas parpol di parlemen sebagai pendukung pemerintah? Bukankah itu akan melemahkan demokrasi sekaligus mendegradasi fungsifungsi parpol di mana semua aspirasi rakyat seolah dikanalisasi dalam keseragaman garis politik penguasa. Pelemahan demokrasi ini tidak boleh dibiarkan terjadi apalagi nuansa intervensi politik lebih menyeruak dalam kisruh partai Golkar dan PPP.

Kalau sudah demikian boleh jadi kemunduran sejarah bangsa di depan mata setelah hampir 17 tahun reformasi bergulir, alih-alih demokrasi belum mampu dinikmati rakyat secara langsung menyentuh kehidupan sehari-hari.

Saatnya kita jaga dan tumbuhkan cita-cita demokrasi yang bersumber pada makna kedaulatan rakyat melalui representasi partai-partai politik karena pada hakikatnya di dalam tubuh parpol yang sehat akan tumbuh demokrasi yang kuat. ?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar