Selasa, 26 Mei 2015

Ideologi Birokrasi di Indonesia

Ideologi Birokrasi di Indonesia

Indra J Piliang ; Ketua Tim Ahli Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi
KORAN SINDO, 25 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Pemikiran politik di Indonesia bisa juga digunakan terhadap birokrasi. Birokrasi, bagaimanapun, pernah begitu kuat mempengaruhi masa kolonial dan pasca kolonial, termasuk sebagai kekuatan politik utama.

Walau dijadikan sebagai entitas yang independen dan imparsial, birokrasi kenyataannya masih menjadi kekuatan utama yang bersinggungan dengan politik. Dalam era demokrasi, birokrasi ”dijauhkan” dari politik, dengan hanya memberikan hak memilih, bukan dipilih. Penting diingat bahwa Belanda menguasai Indonesia bukan lewat penguasaan teritorial berupa pengerahan tentara, melainkan melalui birokrasi.

Birokrasi Belanda bekerja dalam masa perang dan damai. Dibandingkan dengan keluasan wilayah Indonesia, jumlah tentara pendudukan sama sekali tidak sebanding. Tentara hadir ketika perang, itu pun dibatasi di daerah-daerah tertentu secara bergiliran. Birokrasi Belanda sama sekali tak mau berperang di seluruh area di Indonesia.

Sebagai kekuatan penting dalam menguasai Indonesia, baik penduduk maupun wilayahnya, birokrasi menggunakan administrasi pemerintahan. Administrasi adalah ruh birokrasi. Penguasaan penduduk dan wilayah itu dilakukan melalui perjanjian, baik perjanjian dagang maupun perjanjian lain. Maka bisa dikatakan, Belanda menguasai Indonesia dengan lembaran-lembaran kertas, bukan dengan peluru dan mesiu.

Dalam proses yang panjang, perjalanan birokrasi di Indonesia mengalami fase-fase yang bergejolak. Baik akibat perubahan politik dan pemerintahan, maupun sentuhan perkembangan lain, terutama teknologi informasi. Birokrasi mengalami perubahan, terutama akibat pergantian elite politik, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Birokrasi mengalami tekanan apabila digunakan sebagai kekuatan politik. Padahal, hakikatnya, birokrasi bekerja secara tenang tanpa ada tekanan politik. Tugas publik birokrasi jauh lebih penting, ketimbang tugas politik yang lebih bersifat jangka pendek.

Bergerak ke Mana?

Dari sisi ideologi, belum begitu jelas, birokrasi Indonesia bergerak ke mana. Di negara-negara lain yang ideologinya komunis, misalnya, birokrasi adalah perpanjangan tangan dari partai politik. Di negara-negara sosialis, birokrasi menjalankan fungsi pemberdayaan publik, lewat aksi-aksi sosial. Birokrasi adalah negara dan negara adalah birokrasi itu sendiri, dengan keterlibatan secara bersamaan dengan partai politik dan militer.

Birokrasi begitu melekat dengan partai politik yang menguasai negara. Birokrasi di negara-negara komunis—juga sosialis—adalah birokrasi yang bersifat tertutup. Keputusan yang diambil hampir tidak diketahui dari mana sumbernya. Begitu pun rekrutmennya tertutup, sama sekali tak dibuka kepada kalangan lain di luar birokrasi sendiri. Bahkan, publik sulit mengetahui siapa saja yang menjadi pejabat di dalam struktur pemerintahan.

Yang diketahui hanyalah keputusan-keputusan yang diambil. Dalam perkembangan sekarang, birokrasi di Indonesia terlihat tanpa memiliki ideologi yang jelas. Birokrasi bisa saja dimasuki oleh kalangan lain atas nama rekrutmen terbuka. Proses ”bukabuka”- an dalam tubuh birokrasi ini menunjukkan bahwa birokrasi Indonesia mulai terlihat liberal, dibandingkan dengan era sebelumnya.

Argumen yang digunakan adalah kemampuan para profesional di tempat lain, lebih baik daripada birokrat. Padahal, swasta yang dijadikan sebagai sektor profesional itu punya target yang berbeda dengan pemerintahan. Kalangan profesional (swasta) lebih ditujukan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Pertanyaan paling penting untuk dijawab adalah sampai seberapa jauh birokrasi ini direformasi?

Sampai titik mana reformasiitudilakukan? Apakah reformasi birokrasi itu berarti membuka diri bagi masuknya kalangan nonbirokratkedalamtubuhbirokrasi, sekalipun tidak dididik sebagai birokrat dalam sistem nilai yang baku? Birokrasi sebagai pelayan publik tentu berbeda dengan pekerja profesional yang bekerja guna meraih keuntungan semaksimal mungkin.

Juga, bagaimana dengan kewajiban birokrat-birokrat yang sudah pensiun dan menerima dana pensiun? Apakah mereka juga masih memiliki sejumlah tanggung jawab terhadap pemerintah? Dalam bentuk apa? Belum lagi pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki, tentunya bisa digunakan sebaik-baiknya guna kepentingan yang lebih luas.

Kajian Birokrasi

Sejumlah pertanyaan itu tentu penting untuk dikaji, mengingat reformasi birokrasi adalah tema sentral yang penting, termasuk dengan pembentukan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Birokrasi menjadi satu-satunya unsur yang dibuat kementeriannya, dalam rangka reformasi.

Tidak ada unsur lain yang dibuatkan kementeriannya, katakanlah polisi, militer, maupun penyelenggara negara lainnya. Reformasi birokrasi idealnya hanyalah program yang bisa bersifat jangka pendek, jangka menengah, ataupun jangka panjang, namun bukanlah proses yang berlangsung selamanya tanpa batas akhir. Kalaupun ada perbaikan, sehingga berlangsung terus-menerus, tentu juga memerlukan batas waktu, paling tidak dari sisi batas ideologi.

Di sinilah muncul masalah, apakah birokrasi Indonesia menganut sistem yang tertutup, ataukah terbuka, atau setengah tertutup dan setengah terbuka? Salah satu contoh, kalangan nonbirokrat bisa masuk memimpin satu lembaga birokrasi, dengan cara rekrutmen secara terbuka. Apakah sudah dipikirkan dampakdampak jangka pendek, menengah, dan panjangnya?

Padahal, sebagaimana kita ketahui, kehadiran politisi (partai-partai politik) dalam tubuh birokrasi, juga berlangsung selama lima tahun. Mereka pun menempati posisi sebagai kepala negara, kepala pemerintahan ataupun anggota parlemen. Politisi hanya memberikan warna ”ideologis” secara terbatas, baik dari sisi waktu atau pengaruh, bahkan hanya semata sebagai warna ”program”, atau bahkan bisa saja hanya warna ”kebijakan”.

Politisi tidak bisa memberikan warna keseluruhan, mengingat birokrasilah yang berada di dalam tubuh penyelenggara negara dan pemerintahan secara berketerusan. Apalagi, jumlah jabatan politik terbatas dibandingkan dengan jumlah birokrasi itu sendiri. Birokrasi selayaknya dilepaskan dari kepentingan partai-partai politik.

Namun, birokrasi tidak bisa mengabaikan sama sekali kehadiran partai-partai politik di alam demokrasi, sehingga birokrasi perlu mempelajari partai-partai politik, baik dari sisi platform, program, hingga kebijakan, sebagaimana juga politisi mempelajari seluruh nomenklatur sebagai penyelenggara negara apabila memenangkan kontestasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar