Minggu, 31 Mei 2015

Paradoks Golkar

Paradoks Golkar

Umbu TW Pariangu  ;  Dosen FISIPOL Undana, Kupang
KORAN TEMPO, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Ketua majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, Teguh Satya Bakti, mengabulkan gugatan Aburizal Bakrie untuk membatalkan surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono (Tempo.co, 18/5). Jika pengajuan banding dilakukan Menkumham, konsekuensinya selama proses banding berjalan, kubu Aburizal tak bisa memobilisasi pendaftaran pilkada ataupun revisi UU Pilkada. Sebab, berdasarkan Pasal 36 Peraturan KPU, partai yang bersengketa bisa mengikuti pilkada jika ada keputusan hukum tetap. Karena belum ada inkracht, KPU masih mengakui SK Menkumham mengenai kepengurusan Partai Golkar kubu Agung.

Jika aksi saling gugat tak berujung, kader-kader terbaik Golkar di daerah sudah pasti akan masuk kotak di pilkada serentak 9 Desember nanti. Secara kelembagaan, Golkar pun akan mengalami stagnasi karena gagal menjadikan pilkada serentak sebagai amunisi memperkuat sumber daya, terutama dalam menyongsong Pemilu 2019. Revivalitas partai untuk mengembalikan kejayaannya akan termakan sia-sia oleh spirit faksionalisasi politik liar.

Sebagaimana tradisi demokrasi kita, setiap keputusan politik yang menghasilkan kekalahan akan memunculkan kelompok baru, lalu membidani lahirnya partai baru untuk menjustifikasi dan melanjutkan identifikasi kepentingan politik pihak kalah. Apakah model ini yang terus membingkai politik kita? Padahal arah politik kekinian sedang memantapkan proses reifikasi dan kejernihan ideologi berpartai. Kita tak ingin eksistensi parpol hanya menjadi mesin pertarungan berbasis kalah-menang, dendam-kekecewaan, karena hal itu hanya akan merusak ideologi suci partai.

Sayang, semangat islah dua kubu Golkar tak kunjung terbit. Kader/elite yang terbilang berpengalaman dan memiliki kematangan politik mumpuni justru sibuk larut dalam hukum besi saling meniadakan. Insting berburu jabatan tampaknya telanjur berakar dan berpotensi mendestruksi fondasi dan kohesivitas partai.

Meminjam pendapat Max Weber, kondisi ini mencerminkan para politikus sesungguhnya bukan hidup untuk politik, yang memandang politik sebagai panggilan atau medan pengabdian (vocation/beruf), namun mereka hidup dari politik, di mana dunia politik dijadikan sumber nafkah dan ajang politik transaksi. Model politik seperti ini adalah racun yang tentu saja menggerogoti bangunan demokrasi.

Tak ada jalan lain, sikap legawa elite Golkar harus terbit mendahului terbitnya "matahari kembar" partai. Tidak sulit untuk duduk semeja dengan hati jernih merundingkan masa depan partai, karena mereka pernah dibesarkan oleh orientasi sejarah yang sama. Terlebih ketika komunikasi diletakkan pada nilai kebajikan (virtue), nurani, dan ketekunan mewujudkan bonum commune, upaya untuk menepis menipisnya lapisan ozon kepercayaan dan saling pengertian di antara elite Golkar bukan hal yang mustahil.

Paradoks jadinya ketika masing-masing kubu berkukuh memenangi kepentingannya atas nama kebenaran dan demokrasi, sementara menurut Lary Diamond (dalam Agustino, 2009: 58), mengenai konflik di tubuh partai, jika demokrasi disepakati sebagai aturan main, dialog/islah adalah syarat mutlak membangun konsensus. Sebab, hanya dengan konsensuslah pintu rekonsiliasi terbuka dan metamorfosis kultur politik yang dewasa dan terlembaga dapat terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar