Jumat, 29 Mei 2015

Keraton (Belum) Hamil Tua

Keraton (Belum) Hamil Tua

Anas Urbaningrum  ;  Pengamat Politik
KORAN SINDO, 28 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Salah satu isu pokok penyebab perselisihan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah dinobatkannya GKR Pembayun sebagai putri mahkota bergelar GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Nama Mangkubumi adalah nama Sultan Hamengku Buwono X sebelum diwisuda sebagai putra mahkota dan identik dengan nama pendiri Kesultanan Yogyakarta.

Keseriusan Hamengku Buwono X menyiapkan putrinya disimbolkan dengan duduknya GKR Mangkubumi di Watu Gilang, bekas singgasana pendiri Mataram Panembahan Senopati. Meskipun Sultan tidak menyebut secara eksplisit dan GKR Mangkubumi menyatakan ”ojo nggege mongso” (jangan mendahului sesuatu sebelum waktunya), persiapan suksesi sudah terlihat nyata.

Soalnya, sejarah Kesultanan Yogyakarta adalah sejarah kekuasaan laki-laki. Belum pernah ada Raja Mataram perempuan, sejak didirikan oleh Panembahan Senopati di Kotagede hingga sekarang. Seluruh rangkaian sejarah Mataram adalah tentang kekuasaan raja, bukan ratu. KGPH Yudhaningrat, salah satu adik Hamengku Buwono X, menyatakan, ”Memaksakan GKR Mangkubumi menjadi putri mahkota akan menghilangkan dinasti Hamengku Buwono yang selama ini memimpin Keraton Yogyakarta. Pasalnya, Keraton Yogyakarta melanjutkan khalifah Mataram yang berdasar pada nasab patriarki.” Bahkan Sultan yang lain, KGPH Hadiwinoto, berani menyatakan bahwa Sabda Raja dan Dawuh Raja batal demi hukum.

Ratu dalam Sejarah

Sejarah mencatat Ratu Shima memerintah Kerajaan Kalingga di sekitar Jepara, Jawa Tengah, pada abad ke-7. Ratu Shima dikenal tegas dan adil dalam menegakkan hukum dan menjalankan pemerintahan. Pada masa pemerintahannya Kalingga mengalami kemajuan dan kemakmuran.

Dalam sejarah Majapahit yang berpusat di Mojokerto, Jawa Timur, tersebutlah nama Ratu Tribhuwana Tunggadewi. Menyusul kematian Raja Jaya negara yang tidak mempunyai keturunan, tahta diserahkan kepada istriRaden Wijaya, Gayatri. Tetapi, karena Gayatri sudah menjadi biksuni, tahta kemudian diserahkan kepada putrinya, Dyah Gitarja, yang setelah naik tahta bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi pada 1329.

Meski selama kekuasaannya ada beberapa pemberontakan, Tribhuwana dibantu Patih Gadjah Mada–berhasil memajukan dan bahkan memperluas wilayah kekuasaan Majapahit. Setelah Tribhuwana lengser (1351), anaknya, Hayam Wuruk, melanjutkan kekuasaan dan sukses mencapai zaman keemasan. Hayam Wuruk wafat pada 1389, tongkat kekuasaan diberikan kepada putrinya, Kusumawardhani, meskipun pemerintahan dijalankan oleh suaminya, (”Bapak Negara”) Wikramawardhana. Jadi, pemerintahan Kerajaan Majapahit pada abad ke- 14 sudah mengenal kepemimpinan perempuan, sekitar tujuh abad setelah Ratu Shima berkuasa di Kerajaan Kalingga.

Dalam kebudayaan berbeda, sejarah ratu dapat ditemukan di Aceh pada abad ke-17. Pascakematian Sultan Iskandar Tsani terjadilah perdebatan tentang siapa penggantinya. Secara adat dan agama, ada tantangan berat terhadap kehadiran pemimpin perempuan, tetapi atas pengaruh ulama besar Syiah Kuala diangkatlah Safiatuddin (istri Iskandar Tsani) sebagai sultanah. Syiah Kuala berperan sebagai penasihat kerajaan, Kadi Malikul Adil. Setelah Safiatuddin, adatiga perempuan menjadi sultanah yakniNaqiatuddin, Zakiatuddin, dan Kamalat Syah. Sejarah empat sultanah ini terjadi pada periode 1641-1699. Ini sejarah terobosan kepemimpinan perempuan di tengah dominasi tradisi laki-laki yang kuat secara budaya dan agama.

Pemerintahan ratu juga ditemukan di Kesultanan Bima. Pengganti Sultan Abdul Qadim Ma Waa Taho yang memerintah 1742-1773 adalah Sultanah Kumalasyah (Kumala Bumi Partiga) yang memegang tahta pada 1773-1795. Ratu Bima ini akhirnya dibuang oleh Inggris ke Sri Lanka hingga mangkat.

Di Kerajaan Bone jumlah ratu lebih banyak lagi. Beberapa nama ratu yang bisa disebut adalah We Banri Gau Arung Majang, We Tenri Pattuppu, We Batari Toja Daeng Talaga, We Tenri Waru Pancai Tana, We Fatimah Banrigau, Sultanah Salima Rajiatuddin, dan Sultanah Zainab Zakiatuddin. Nama-nama ratu tersebut memerintah di Bone, di antara raja dan sultan, pada abad ke-15 sampai abad ke-19.

Di Kesultanan Yogyakarta Kerajaan Mataram Islam yang bersistem patriarki sudah pernah ada preseden perempuan sebagai wali Sultan. Ketika Hamengku Buwono V naik tahta dalam usia balita, ada empat orang wali Sultan yang ditunjuk yakni Ratu Ageng (nenek Sultan), Ratu Kencono (ibu Sultan), Mangkubumi, dan Diponegoro. Ratu Ageng dan Ratu Kencono bertugas mendidik dan membesarkan Sultan hingga dewasa, sedangkan Mangkubumi dan Diponegoro menjalankan pemerintahan. Namun, tugas manajemen pemerintahan sering diintervensi Patih Danurejo IV atas sokongan Ratu Kencono. Inilah yang menjadi salah satu pemicu perlawanan Diponegoro.

Lahirkah Ratu Baru?

Jika tidak ada halangan, putri mahkota sekarang adalah raja–tepatnya ratu–berikutnya. Praktis satu kaki Pembayun sudah bergerak menuju tahta Keraton Yogyakarta. Meski demikian, kaki satu lagi masih ”terikat” sejumlah tantangan.

Tantangan pertama dari internal Keraton sendiri. Apakah para adik Sultan Hamengku Buwono X akan berhasil dirangkul untuk menerima Dawuh Raja? Jika persuasi Sultan sukses, jelas ini akan melempangkan jalan bagi lahirnya Ratu Mataram. Jika tidak berhasil, implikasi politik dari reaksi dan penolakan keluarga bisa menjadi masalah yang tidak sepele.

Atas nama mempertahankan tradisi, preseden suksesi masa silam bisa diangkat kembali oleh para adik laki-laki Hameng Kubuwono X. Dalam sejarah Keraton pernah terjadi suksesi dari Hamengku Buwono V kepada adiknya, GRM Mustojo, untuk diangkat menjadi Hamengku Buwono VI. Sementara di Kasunanan Surakarta juga pernah terjadi suksesi dari Pakubuwono VI kepada pamannya sebagai Pakubuwono VII dan kemudian dari Pakubuwono VII kepada kakaknya untuk bertahta sebagai Pakubuwono VIII. Jauh sebelumnya, Sultan Agung Hanyakrakusuma menjadi raja setelah menggantikan adiknya, Adipati Martapura.

Tantangan kedua datang dari UU Keistimewaan Yogyakarta. Diatur secara jelas di dalam Pasal 18 ayat 1, UU No 13 Tahun 2012 bahwa gubernur dan wakil gubernur yang diamanahkan kepada Hamengku Buwono dan Paku Alam adalah laki-laki. UU tidak memberi ruang opsi perempuan. Perda yang disahkan DPRD DIY akhir Maret juga menegaskan perintah UU. Kompleksitas politik akan lahir jika Keraton Yogyakarta dipimpin perempuan ketika dihadapkan dengan aturan di dalam UU tersebut. Masalah ini hanya akan bisa diselesaikan jika UU Keistimewaan Yogyakarta direvisi. Apakah revisi akan mendapatkan dukungan keluarga Keraton, publik, dan DPR?

Tantangan ketiga berasal dari publik. Pemimpin Keraton juga pemimpin bagi masyarakat Yogyakarta modern dan majemuk. Meskipun secara tradisi-kultural tidak mudah rakyat Yogyakarta menerima kehadiran seorang ratu, tetapi zaman sudah bergerak dan membawa banyak perubahan pengertian. Tafsir budaya Jawa tentang perempuan sebagai ”konco wingking” (teman di belakang–rumah) tidak lagi ketat dan keras.  GKR Mangkubumi juga diuntungkan oleh perkembangan konstruksi teologis Islam tentang kepemimpinan yang makin cair dari bias gender. Penolakan terhadap pemimpin perempuan tidak akan menjadi arus utama. Dalam konteks perubahan konstruksi berpikir Islam-Jawa itu, dikotomi antara kehadiran raja atau ratu cenderung tidak lagi menonjol. Yang lebih dianggap penting adalah apakah pemimpin itu diterima oleh publik dan cakap bekerja.

Tentu saja kompleksitas adat, tradisi, politik, dan bahkan mitos akan tetap menyertai proses suksesi di Keraton Yogyakarta. Apakah akan lahir Ratu baru dan bagaimana proses kelahirannya, jelas akan menjadi perhatian publik. Yang jelas Keraton Yogyakarta memang sedang ”hamil”. Apakah tanda-tanda ini akan mengonfirmasi garis tangan GKR Mangkubumi? Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar