Selasa, 26 Mei 2015

Islam dan Akulturasi Budaya

Islam dan Akulturasi Budaya

Lukman Hakim Saifuddin  ;  Menteri Agama RI
KORAN TEMPO, 26 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Salah satu jalur penyebaran Islam di Indonesia adalah melalui perangkat budaya. Ajaran Islam yang ditanamkan melalui perangkat budaya ini, mau-tak mau, menyisakan warisan agama lama dan kepercayaan yang ada, yang tumbuh subur di masyarakat pada waktu itu, untuk dilestarikan kemudian dibersihkan dari anasir syirik. Pembersihan anasir syirik ini merupakan satu upaya untuk meneguhkan konsep monoteisme (tauhid) dalam ajaran Islam.

Salah contoh, budaya wayang. Wayang adalah bagian dari ritual agama politeisme, namun kemudian diubah menjadi sarana dakwah dan pengenalan ajaran monoteisme. Ini suatu kreativitas yang luar biasa, sehingga masyarakat diislamkan melalui jalur ini. Mereka merasa aman dengan Islam, karena hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.

Salah satu mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab yang saat mengambil konklusi fikihnya disesuaikan dengan konteks lokal. Salah satu contohnya, perihal pelaksanaan perintah zakat fitrah. Secara tekstual, zakat fitrah haruslah diberikan dalam bentuk gandum-sesuai dengan bahan makanan pokok di Arab Saudi. Namun ulama kita berijtihad untuk mengganti gandum dengan beras dalam pelaksanaan zakat fitrah, karena disesuaikan dengan bahan makanan pokok di Indonesia.

Bisa dikatakan bahwa proses pengislaman budaya Nusantara oleh para ulama terdahulu dibarengi dengan proses penusantaraan nilai-nilai Islam, sehingga keduanya melebur menjadi entitas baru yang kemudian kita kenal sebagai Islam Nusantara.

Dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa, Wali Songo memiliki peran yang cukup besar dalam proses akulturasi Islam dengan budaya Jawa. Mereka menghasilkan karya-karya kebudayaan sebagai media penyebaran Islam. Untuk memperkenalkan unsur-unsur budaya baru hasil akulturasi Islam dengan budaya Jawa itu, para wali melakukan pengenalan nilai-nilai baru secara persuasif. Dan, terkait dengan persoalan-persoalan yang sensitif, seperti bidang kepercayaan, para wali membiarkan penghormatan terhadap leluhur sebagaimana yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa.

Untuk itulah tuntutan menghadirkan kembali Islam yang damai, moderat, adil, dan toleran, bukan karena kerinduan semata akan Islam Nusantara yang sejuk dan mendamaikan. Tapi sudah merupakan kebutuhan, terutama semenjak nilai-nilai kenusantaraan kita mulai terkikis oleh paham-paham baru yang meresahkan masyarakat.

Jalur perangkat budaya inilah yang harus ditumbuhkembangkan dalam proses Islamisasi dewasa ini. Seperti yang pernah dipaparkan cendekiawan muslim Nurcholish Madjid, Islam semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif, konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua umat manusia, tanpa eksklusivisme komunal. Inilah sebuah penegasan betapa pentingnya eksistensi Islam kultural.

Lebih jauh, Nurcholish memaparkan bahwa beragam budaya dan agama berkembang dalam masyarakat, di mana keduanya tak jarang lebur dan terjadilah akulturasi. Akulturasi tersebut sering kali menyebabkan berbagai hal yang dapat membingungkan orang untuk membedakan mana yang produk agama, dan mana yang merupakan produk budaya. Walaupun antara agama dan budaya tidaklah dapat dipisahkan, tapi yang jelas tidak dibenarkan mencampuradukkan di antara keduanya.

Perangkat budaya adalah bentuk investasi masa depan bagi umat Islam Indonesia dalam menghadapi dinamika keberagamaan yang penuh warna. Perangkat budaya ini merupakan sumber etik moral dan pijakan kultural bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut pengamatan cendekiawan Abdurrahman Wahid (almarhum), dalam buku Membangun Demokrasi (1999), ketika Islam datang ke tanah Jawa, Islam dengan cepat beradaptasi dengan apa yang ada. Akulturasi antara Islam dan budaya setempat berlangsung secara damai. Proses akulturasi dan adaptasi antara budaya yang satu dan budaya yang lain-atau dalam antropologi kultural disebut konsep integrasi kultural-ini tidak dapat dihindari karena pluralitas agama, budaya, dan adat-istiadat yang ada tidak-bisa-tidak saling bergesekan.

Abdurrahman Wahid melihat dalam proses akulturasi timbal-balik antara Islam dan budaya lokal ini terakomodasi suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu ushul fikih. Kaidah itu berbunyi: "al-'adah muhakkamah", yang berarti, "adat itu dihukumkan", atau lebih lengkapnya, "adat adalah syariat yang dihukumkan" (al-'adat syari'ah muhakkamah). Artinya, adat dan kebiasaan suatu masyarakat adalah sumber hukum dalam Islam.

Dalam ilmu ushul fikih, budaya lokal dalam bentuk kebudayaan itu disebut 'urf . Karena 'urf suatu masyarakat-sesuai dengan uraian di atas-mengandung unsur yang salah dan yang benar sekaligus, maka dengan sendirinya orang-orang muslim harus melihatnya secara kritis. Hal ini sesuai dengan berbagai prinsip Islam yang menentang tradisionalisme.

Kemampuan mengawinkan kearifan lokal dan nilai-nilai Islam ini mempertegas bahwa antara agama dan budaya lokal tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tapi tentu bisa dibedakan antara keduanya. Untuk itu, sejak kedatangan Islam di Indonesia pada abad VII Masehi hingga sampai detik ini, Islam mampu bertahan dan berakulturasi dengan kearifan lokal.

Hal ini memperlihatkan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin mampu beradaptasi dan berdialog dengan budaya lokal, kebiasaan, dan cara berpikir penduduk setempat yang saat itu masih dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Buddha.

Pada titik singgung inilah perangkat budaya menemukan bentuknya sebagai investasi besar bagi tumbuh dan berkembangnya Islam di Indonesia. Sebuah investasi, yang mau-tak mau, harus dirayakan, dipelihara, dan disemai agar kehadiran Islam di tengah perangkat-perangkat budaya lokal, selalu teduh dan meneduhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar