Tukar
Goenawan Mohamad ; Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO, 18 Mei 2015
Uang bisa mempertemukan pelbagai
hal yang jauh dan tak jauh. Saya ingat film The Cup.
Di sebuah biara pengungsian di
kaki Himalaya yang sunyi, Orgyen, seorang rahib remaja, mengidap ketagihan
satu hal duniawi: ia keranjingan sepak bola. Ketika di Eropa Piala Dunia
diperebutkan dan kesebelasan Prancis dan Brasil berlaga di babak final, Orgyen
dan temannya, Lodo, mengerahkan teman-temannya seasrama untuk iuran. Mereka
ingin menyewa pesawat TV dan antena parabola dari seorang pedagang India di
kampung sebelah.
Iuran terkumpul, tapi uang tak
cukup. Orgyen yang keras hati itu akhirnya membujuk Nyima, bocah yang baru
mengungsi dari Tibet, agar ikhlas menggadaikan arloji pemberian orang tuanya.
Target dana yang dikumpulkan pun
tercapai. Bocah-bocah itu berhasil. Mereka bisa mengikuti final Piala Dunia
lewat televisi.
Tapi di tengah riuh rendah penghuni
biara, ketika mereka mengikuti pertandingan di layar TV, Orgyen tak tenteram.
Ia merasa bersalah kepada Nyima. Ia pun kembali ke kamarnya. Anak berumur 14
tahun itu mengambil pisau kuno pemberian ibunya: ia ingin menebus arloji yang
digadaikan dengan benda yang berharga bagi dirinya dengan miliknya sendiri.
Di biara di kaki Himalaya itu, arloji,
pisau, antena parabola -- benda-benda yang berbeda sejarah dan perannya -- bertemu.
Mereka saling menggantikan.
Kita bisa melihatnya sebagai
isyarat tiadanya keterikatan manusia kepada miliknya - sebuah dasar ethis
Buddhisme. Tapi kita juga bisa melihat bahwa yang terjadi adalah pertukaran
-- tak berbeda dengan yang terjadi di Mall Pondok Indah atau di sisi remang
tempat pelacuran. Dalam kegiatan yang disebut "pasar", seks, gaun,
buku filsafat, kitab doa, dan potongan rambut dengan cekatan berpindah dari
satu tempat ke tempat lain. Semua berada di satu dataran: arena jual-beli.
Pelbagai hal itu dilepaskan dari
sifat unik masing-masing; mereka diterjemahkan jadi sesuatu yang ada karena
bisa dipertukarkan. Mereka dipasangi pengukur yang berlaku umum di sebuah
masyarakat. Semuanya dihadirkan dalam rupiah, dolar, atau dinar. Dengan
itulah mereka saling ketemu. Marx benar: uang membentuk
"persaudaraan" hal-hal yang pada dasarnya mustahil berkaitan -- die Verbrüderung der Unmöglichkeiten.
Tapi sebenarnya ada yang lain
yang terjadi di luar "persaudaraan" itu. Uang memutus pertalian.
Dalam film The Cup, ia memisahkan Nyima dari arloji yang merupakan bagian
hidupnya sebagai pengungsi, memisahkan Orgyen dari pisau yang diberikan
ibunya ketika ia pergi memasuki kehidupan biara.
Uang membuat benda-benda tak
istimewa, bisa jadi bagian hidup siapa saja sebagaimana halnya uang itu
sendiri. Lembar rupiah itu benda yang banal, kertas sehari-hari yang
ditemukan di mana-mana, yang sebenarnya kosong; bobotnya ditentukan dari
waktu ke waktu oleh orang ramai.
Dilihat secara demikian, uang
memisahkan, tapi sekaligus jadi perantara antara obyek-obyek.
Syahdan, ada seseorang bernama
Li Changgeng. Ia hidup beberapa dasawarsa yang lalu di wilayah Jiangyou,
Provinsi Sichuan, Tiongkok. Saya menemukannya dalam buku yang disusun
sastrawan Liao Yiwu dari wawancaranya dengan orang-orang lapisan bawah yang
diterjemahkan dalam The Corpse Walker.
Li Changgeng seorang juru tangis
dalam upacara berkabung. Sejak berumur 12 tahun, ia bekerja dengan keahlian
itu bersama grupnya. "Kebanyakan
orang yang kehilangan anggota keluarganya meledak tangisnya dan mulai
meraung-raung ketika melihat tubuh si mendiang," cerita Li. "Tapi raungan mereka tak bertahan
lama. Rasa sedih segera akan merasuk ke jantung, mereka terguncang atau
pingsan. Tapi bagi kami, begitu kami bisa mendapat suasana hati yang pas,
kami kendalikan emosi dan dengan mudah kami membuat improvisasi. Kami bisa
meraung lama, selama yang dipesan."
Lalu tambahnya: "Dalam
upacara pemakaman besar, jika bayarannya bagus, kami bikin banyak improvisasi
untuk menyenangkan hati tuan rumah."
Tangis, dalam profesi Li, adalah
dukacita yang dipisahkan dari orang yang menangis. Tangis itu telah jadi
obyek; ia hanya sebuah komoditas, ekspresi berkabung yang dipertukarkan
dengan upah. "Dukacita" itu bukan datang dari dalam, bukan
kepunyaan Li. Bertahun-tahun jadi juru tangis profesional, ia mengakui: "Lama-kelamaan, kami tak punya
perasaan lagi."
Kalimat yang sama agaknya bisa
diucapkan bintang jelita YY atau ZZ, di belakang punggung kliennya, setelah
layanan seksual mereka diterjemahkan ke dalam angka-angka dolar.
Dengan uang, semua jasa dan
benda seakan-akan berkembang mandiri, bukan bagian pribadi YY atau ZZ, Orgyen
atau Li. Tapi pada saat yang sama, benda dan jasa itu juga jadi datar dan
dangkal. Mereka tak punya sejarah lagi; mereka tak membutuhkannya.
Mungkin itu sebabnya masyarakat
yang hidup dari uang ke uang adalah masyarakat yang tak perlu
kenang-kenangan. Kalau tak salah, itulah yang dimaksudkan Georg Simmel
sebagai "kini yang tak punya dimensi", ketika ia membahas
panjang-lebar hubungan uang, waktu, dan kehidupan.
"Kini yang tak punya
dimensi" adalah waktu hidup yang tak punya apa pun yang dalam dan
mempesona. Untunglah manusia masih punya saat dan tempat di mana ia mengalami
kedalaman "kini dengan pelbagai dimensi -- misalnya dalam momen religius
dan estetik yang hening.
Sayangnya, momen-momen itu
sering berubah jadi ekspresi -- baik yang bersifat keagamaan maupun berbentuk
seni yang dipamerkan untuk diperjualbelikan. Ramai, meriah, tapi sebenarnya
resah.
Saya ingat The Cup. Di akhir
film, Orgyen mendengarkan ceramah biarawan sepuh seraya melipat kertas ke
dalam bentuk teratai. Lambang pencerahan yang tenteram. Saat yang tak
ternilai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar