Biennale
Venesia, Hegemoni Budaya
Jean Couteau ; Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 17 Mei 2015
Seni
rupa masa kini tidak lagi sibuk dengan representasi dunia, dan tidak begitu
hirau dengan ekspresi subyektivitas sang seniman. Yang kian dikemukakannya
bukan lagi ”statement” biasa (pernyataan), seperti di dalam seni bernada
politik masa lalu, tetapi ”pertanyaan” atau bahkan ”pemertanyaan”
(meta-questioning) perihal topik-topik, seperti jender, sejarah, komunikasi,
hubungan dengan lingkungan, dan hibridisme budaya, yang semuanya semakin
kompleks akibat benturan ruang, waktu, dan citra yang mencirikan globalitas
kita. Jadi, seni kontemporer berfungsi sebagai sarana penyadaran bagi masalah
kekinian global.
Di
antara ajang seni kontemporer itu, yang paling terkenal ialah Biennale
Venesia, yang pajangan dari negara-negara peserta tidak pernah sepi isu yang
menghebohkan. Misalnya yang tahun ini ramai dibicarakan ialah instalasi
berupa masjid buatan—lengkap dengan mimbar, mihrab, sajadah, dan Al
Quran—yang mewakili Islandia. Karya Christoph Buche ini meneguhkan secara
simbolis ”hak” Islam untuk hadir di negeri Barat sebagai keyakinan biasa di
antara keyakinan-keyakinan lainnya.
Tampilan
Indonesia di Venesia juga menarik: Yang dipertanyakan tidak kurang dari
tatanan kultural dunia. Tampilan itu berupa sebuah Trokomod, sebuah kapal
imajiner, berbentuk setengah komodo setengah kuda troya, yang seolah datang
merapat di Pelabuhan Venesia—pelabuhan yang merupakan pintu masuk terpenting
rempah-rempah Nusantara ke Eropa dari abad XII sampai abad XVI. Namun,
Trokomod ini tidak lagi membawa rempah seperti kapal zaman dahulu kala.
Senada dengan mitos kuda troya raksasa yang di dalamnya penuh tentara,
Trokomod ini menyusupkan Indonesia di tengah dunia Barat. Tentaranya di sini
ialah aneka artefak yang melambangkan bagaimana Indonesia melihat dirinya
serta melihat dunia Barat.
Untuk
memahami arti yang sesungguhnya dari pajangan ini, harus kita ingat bahwa
sampai abad XVI, para saudagar Eropa mendapatkan rempah melalui suatu rantai
pelabuhan dagang (Venesia, Alexandria, Hormuz, Surat, dan Malaka) berikut
rantai pusat kekuasaan (di Arab, Persia, India Utara, Dekkan, dan Malaya)
yang pada galibnya bermartabat politik-kultural yang setara. Dunia kala itu bersifat
multi-polar secara ekonomi, politik, dan kultural.
Pelayaran
Portugis-Spanyol pada abad XV-XVI dan kolonisasi Amerika merombak perimbangan
ini. Teknik perkapalan baru memungkinkan para pedagang dari Eropa membeli
rempah langsung dari para produsen Nusantara dan kemudian memaksakan
monopolinya. Maka, mata rantai dagang di atas terputus. Dan kesetaraan
digantikan dengan keunggulan Eropa/Barat dalam segala bidang: pertama
ekonomi, lalu politik, dan akhirnya kultural. Hingga lahirlah kuasa total
dari Barat, selain atas teknik dan ekonomi, juga atas historiografi,
konseptualisasi, dan, ujung-ujungnya, seluruh seni-budaya dunia.
Karya
Trokomod dari Heri Dono meneguhkan kehadiran Indonesia. Tadinya seolah ”tidak
eksis”, kata Heri. Tetapi, pesannya tidak sekadar nasionalis. Memang! Dia
secara simbolis menganjurkan agar Indonesia menolak persepsi ”Orientalis”
yang dicamkan oleh penjajahan dan kini masih menggenangi pemikiran kita.
Persepsi itu, harap dia, hendaknya digantikan dengan citra diri lebih Indonesia-sentris
(misalnya video kekinian yang menyertai Trokomod), dan dilengkapi dengan
pandangan terhadap dunia Barat yang juga Indonesia-sentris, semacam
”Occidentalisme” untuk menandingi ”Orientalisme”. Tetapi, pesan Heri Dono
lebih jauh lagi. Melampaui keindonesiaan, dia menegaskan bahwa hegemoni Barat
hampir-hampir lewat, dan bakal ditumbangkan oleh aneka kuda troya dari
belahan dunia lainnya.
Oleh
karena itu, sirat dia, kini telah tiba waktunya untuk memperjuangkan kembali
suatu ragam multilateralisme sebagaimana berlaku pada masa pra-kolonial,
yaitu pada masa kejayaan bersama, baik di Venesia di Barat—tempat
bienial—maupun di Surat, Majapahit, Kwantung, dan lain-lain di Timur.
Multilateralisme gaya baru itu pada gilirannya bakal menjadi landasan
pembentukan historiografi, konseptualisasi, dan seni-budaya yang betul-betul
”merdeka”, di mana ruang budaya dunia akan bersanding dan bertanding
”sama-rata” satu terhadap lainnya.
Tawaran
Heri Dono ini penting, oleh karena kini hegemoni Barat memang sudah surut drastis
di dalam bidang ekonomi, dan dengan sendirinya di dalam jangka menengah akan
surut pula di dalam bidang politik dan kemudian kultural. Dengan sendirinya,
Tiongkok, India, Indonesia, dan negara-negara lain akan semakin menuntut agar
”hadir” di gelanggang dunia. Perubahan itu menggandung risiko
radikalisme-radikalisme baru. Maka, harus dihadapi secara sadar-terbuka dan
tanpa dengki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar