Senin, 18 Mei 2015

Penetapan

Penetapan

Putu Setia   ;  Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 17 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MENCARI pemimpin dengan cara penetapan mulai populer. Tak perlu susah-susah melakukan pemungutan suara, yang biasanya agak menegangkan bagi kandidat. Dengan penetapan, semua proses menjadi cepat. Partai Demokrat, dalam kongresnya di Surabaya, sudah melaksanakan penetapan itu dengan sempurna.

Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dengan cara ditetapkan oleh pimpinan sidang, yang di antaranya ada Eddy Baskoro Yudhoyono. Penetapan dilakukan setelah dua ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) yang mewakili seluruh DPD mengusulkan SBY sebagai ketua umum. Kongres pun berlangsung adem tenteram.

Demokrat bukanlah pelopor sistem penetapan. PDI Perjuangan sudah lebih dulu melakukannya, bahkan sebelum musyarawah nasional partai itu. Megawati Soekarnoputri ditetapkan sebagai ketua umum partai dalam Rapat Kerja Nasional, forum yang setingkat di bawah Munas. Jadi, pada saat Munas, kader partai moncong putih tak ubahnya piknik. Mega memang terus terang mengakui sistem voting (pemungutan suara) adalah "demokrasi ala Barat". Akan halnya SBY tak menyebutkan apa-apa soal anti atau setuju pemungutan suara, namun jauh sebelum kongres sudah beredar formulir surat pernyataan mendukung SBY.

Partai politik sah saja melakukan penetapan. Hal itu bisa diatur dengan cara mendadak, jika perlu dengan disertai tipu muslihat lewat tata tertib. Umumnya tak akan ada masalah, paling gerundel sebentar. Tapi bagaimana kalau penetapan itu berdasarkan undang-undang yang resmi di negeri ini? Misalnya, soal penetapan Sultan Hamengku Buwono dari Keraton Yogya menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Polemik soal penetapan Sultan sebagai Gubernur DIY sempat muncul dan membuat UU Keistimewaan DIY molor. Dukungan penetapan begitu kuat di masyarakat Yogya. Akhirnya, atas nama keistimewaan, disahkanlah UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Masalahnya justru dirasakan saat ini. Di satu pihak, pemerintah lewat undang-undang telah menetapkan Sultan sebagai Gubernur DIY. Di pihak lain, undang-undang memberi syarat untuk jabatan Gubernur DIY.

Dalam undang-undang tersebut secara eksplisit disebutkan Gubernur Yogyakarta diperuntukkan bagi Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta. Bukan nama lain. Nah, Sultan Hamengku Buwono X sudah mengeluarkan "sabda" yang disusul "dhawuh". Lewat wahyu Tuhan itu, Sultan mengganti namanya menjadi Hamengku Bawono. Hanya berbeda satu huruf "u" diganti "a", apakah itu berarti undang-undang harus direvisi?

Sultan HB X juga mengangkat putrinya sebagai GKR Mangkubumi, yang ditafsirkan banyak pihak--tapi Sultan tak sejauh itu menyebutkan--sebagai Putri Mahkota yang akan mewarisi Keraton Yogya. Padahal, dalam sederet syarat Gubenur DIY yang dimasukkan dalam undang-undang, ada tertera harus menyertakan silsilah keluarga, termasuk "istri". Tak ada kata "suami" atau "istri/suami". Pembuat undang-undang yakin sekali bahwa Sultan Yogya itu seorang lelaki. Nah, bagaimana kalau nanti GKR Mangkubumi menjadi sultan? Tentu undang-undang harus diperbaiki karena tak mungkin merevisi--mendebat pun tak bisa--"dhawuh" yang disebut wahyu Tuhan lewat leluhur itu.

Seharusnya, kalau memang pemerintah dan DPR ikhlas menetapkan Sultan Yogya sebagai Gubernur DIY, tak usahlah ada persyaratan macam-macam. Pokoknya, siapa pun yang jadi sultan ditetapkan saja sebagai gubernur. Urusan bagaimana proses pengangkatan sultan itu, biarkan itu menjadi "paugeran" keraton. Dengan begitu, DPR tak perlu sibuk, setiap kali ada "wahyu" langsung merevisi undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar