Penetapan
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 17 Mei 2015
MENCARI pemimpin dengan cara
penetapan mulai populer. Tak perlu susah-susah melakukan pemungutan suara,
yang biasanya agak menegangkan bagi kandidat. Dengan penetapan, semua proses
menjadi cepat. Partai Demokrat, dalam kongresnya di Surabaya, sudah
melaksanakan penetapan itu dengan sempurna.
Susilo Bambang Yudhoyono
terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dengan cara ditetapkan oleh
pimpinan sidang, yang di antaranya ada Eddy Baskoro Yudhoyono. Penetapan
dilakukan setelah dua ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) yang mewakili seluruh
DPD mengusulkan SBY sebagai ketua umum. Kongres pun berlangsung adem
tenteram.
Demokrat bukanlah pelopor sistem
penetapan. PDI Perjuangan sudah lebih dulu melakukannya, bahkan sebelum
musyarawah nasional partai itu. Megawati Soekarnoputri ditetapkan sebagai
ketua umum partai dalam Rapat Kerja Nasional, forum yang setingkat di bawah
Munas. Jadi, pada saat Munas, kader partai moncong putih tak ubahnya piknik.
Mega memang terus terang mengakui sistem voting (pemungutan suara) adalah
"demokrasi ala Barat". Akan halnya SBY tak menyebutkan apa-apa soal
anti atau setuju pemungutan suara, namun jauh sebelum kongres sudah beredar
formulir surat pernyataan mendukung SBY.
Partai politik sah saja
melakukan penetapan. Hal itu bisa diatur dengan cara mendadak, jika perlu
dengan disertai tipu muslihat lewat tata tertib. Umumnya tak akan ada
masalah, paling gerundel sebentar. Tapi bagaimana kalau penetapan itu
berdasarkan undang-undang yang resmi di negeri ini? Misalnya, soal penetapan
Sultan Hamengku Buwono dari Keraton Yogya menjadi Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Polemik soal penetapan Sultan
sebagai Gubernur DIY sempat muncul dan membuat UU Keistimewaan DIY molor.
Dukungan penetapan begitu kuat di masyarakat Yogya. Akhirnya, atas nama
keistimewaan, disahkanlah UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
Masalahnya justru dirasakan saat ini. Di satu pihak, pemerintah lewat
undang-undang telah menetapkan Sultan sebagai Gubernur DIY. Di pihak lain,
undang-undang memberi syarat untuk jabatan Gubernur DIY.
Dalam undang-undang tersebut
secara eksplisit disebutkan Gubernur Yogyakarta diperuntukkan bagi Sultan
Hamengku Buwono yang bertakhta. Bukan nama lain. Nah, Sultan Hamengku Buwono
X sudah mengeluarkan "sabda" yang disusul "dhawuh". Lewat
wahyu Tuhan itu, Sultan mengganti namanya menjadi Hamengku Bawono. Hanya
berbeda satu huruf "u" diganti "a", apakah itu berarti
undang-undang harus direvisi?
Sultan HB X juga mengangkat
putrinya sebagai GKR Mangkubumi, yang ditafsirkan banyak pihak--tapi Sultan
tak sejauh itu menyebutkan--sebagai Putri Mahkota yang akan mewarisi Keraton
Yogya. Padahal, dalam sederet syarat Gubenur DIY yang dimasukkan dalam undang-undang,
ada tertera harus menyertakan silsilah keluarga, termasuk "istri".
Tak ada kata "suami" atau "istri/suami". Pembuat
undang-undang yakin sekali bahwa Sultan Yogya itu seorang lelaki. Nah,
bagaimana kalau nanti GKR Mangkubumi menjadi sultan? Tentu undang-undang
harus diperbaiki karena tak mungkin merevisi--mendebat pun tak
bisa--"dhawuh" yang disebut wahyu Tuhan lewat leluhur itu.
Seharusnya, kalau memang
pemerintah dan DPR ikhlas menetapkan Sultan Yogya sebagai Gubernur DIY, tak
usahlah ada persyaratan macam-macam. Pokoknya, siapa pun yang jadi sultan
ditetapkan saja sebagai gubernur. Urusan bagaimana proses pengangkatan sultan
itu, biarkan itu menjadi "paugeran" keraton. Dengan begitu, DPR tak
perlu sibuk, setiap kali ada "wahyu" langsung merevisi
undang-undang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar