Senin, 18 Mei 2015

Reaksi menyangkal, menghindar

Reaksi menyangkal, menghindar

Agustine Dwiputri   ;  Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS, 17 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menghadapi situasi yang mengagetkan, seperti didiagnosis kanker atau pasangan meninggal dunia tiba-tiba, acap kali menimbulkan berbagai reaksi. Salah satunya, tidak mau menerima, menolak, dan menyangkal bahwa apa yang dialami memang benar terjadi.


Apakah reaksi ini selalu merupakan sesuatu yang negatif, seperti apa tampilan dari reaksi tersebut, dan apa yang dapat dilakukan kemudian?

Barlow dan Durand (2012) menekankan pentingnya seseorang mengonfrontasi dan mengatasi perasaannya, terutama setelah menghadapi peristiwa traumatik yang penuh stres. Para ahli kesehatan mental telah mengakui pentingnya mengenang kembali atau memproses pengalaman emosional yang kuat untuk menempatkannya di "belakang" kita dan mengembangkan respons yang lebih baik dalam mengatasi persoalan.

Sebagai contoh, seseorang yang optimistis dalam menjalani operasi jantung akan pulih lebih cepat, akan mudah kembali ke kegiatan sehari-hari, dan melaporkan kualitas hidup yang lebih baik 6 bulan setelah operasi daripada mereka yang tak optimistis.

Orang yang optimistis cenderung kurang menggunakan "penyangkalan" sebagai sarana untuk mengatasi stresor berat seperti operasi. Individu yang cenderung pesimistis tidak berani secara langsung menerima dan mengonfrontasi perasaannya. Misalnya, remaja dengan nyeri perut berulang yang sering melakukan penyangkalan, penghindaran, dan suka berangan-angan memiliki kadar kecemasan dan keluhan somatik yang lebih tinggi daripada orang lain yang berusaha untuk mengatasi rasa nyerinya secara lebih langsung.

Sebagian besar ahli kesehatan mental bertugas untuk menghilangkan reaksi penyangkalan karena memiliki banyak efek negatif. Seseorang yang menyangkal bahwa kondisi nyerinya yang parah berkaitan dengan suatu penyakit mungkin tidak memperhatikan berbagai detail penting pada gejala yang muncul, yang mungkin dapat membahayakan dan mereka biasanya menghindari pengobatan atau program rehabilitasi.

Menyangkal kadang diperlukan

Apakah penyangkalan selalu membahayakan? Psikolog kesehatan Shelley Taylor (2009) menunjukkan bahwa sebagian besar individu yang berfungsi secara baik menyangkal dampak dari suatu kondisi yang berpotensi serius, paling tidak pada awalnya. Reaksi yang biasa tampil adalah berasumsi bahwa apa yang mereka miliki tidak serius atau akan cepat menghilang. Kebanyakan orang dengan penyakit serius bereaksi dengan cara ini, termasuk mereka yang mengalami kanker.

Beberapa kelompok peneliti telah menemukan bahwa selama periode sangat stres, yaitu ketika seseorang pertama kali didiagnosis, penyangkalan dapat membantu pasien bertahan terhadap rasa syok secara lebih mudah. Mereka kemudian lebih mampu mengembangkan respons untuk mengatasi masalah dengan lebih baik. Jadi, nilai penyangkalan sebagai "mekanisme coping" mungkin lebih bergantung pada "waktu" (timing) daripada hal lain.

Menurut Herbert & Wetmore (2010), mati rasa (emotional numbing) merupakan suatu bentuk perilaku menghindar/menyangkal yang sulit untuk diidentifikasi dan dipahami, suatu rasa kekosongan atau berada di ruang kosong. Orang yang trauma mungkin merasa seolah-olah bagian perasaan mereka telah terhapus atau mati dan mereka mengalami suatu rasa dihentikan, tanpa kemampuan untuk terhubung ke dunia melalui perasaan. Hal ini dapat memengaruhi kemampuan untuk tertawa, merasa bahagia atau bahkan kemampuan untuk menangis walaupun dia mungkin masih merasa sangat sedih. Terkadang dia mungkin merasa bahwa kemampuannya untuk mencintai telah terpengaruh, dan kondisi ini bisa sangat mencemaskan.

Langkah penanganan

Adalah penting bagi Anda untuk mengambil berbagai hal secara perlahan dan tidak berlebihan karena mungkin bisa menyebabkan kemunduran. Berhati-hatilah terhadap situasi emosional yang sangat kuat. Bekerjalah dengan perlahan dan secara pribadi, bisa dilakukan sendiri atau dibantu seorang ahli kesehatan mental. Anda harus mulai mengakui bagian-bagian dari pengalaman Anda yang sedang Anda coba untuk tidak dihadapi:

Apa arti trauma ini untuk Anda? Apakah Anda menarik kesimpulan dari kejadian yang cenderung menimbulkan kepahitan atau sikap sinis dan membuat Anda secara emosional tertutup? Apakah Anda pernah mencoba untuk membenarkan perilaku ini pada diri sendiri?

Berikut latihan untuk menemukan kembali dan membentuk rasa identitas pribadi:

Tanyakan kepada diri Anda beberapa pertanyaan berikut dan tulis jawabannya:

1. Siapakah saya sekarang, setelah peristiwa ini?

2. Bagaimana cara saya mengartikan diri sendiri?

3. Bagaimana saya membandingkan diri dengan orang lain?

4. Apakah saya telah memperlakukan diri seperti "orang yang rusak"?

5. Apa yang saya takuti untuk dilihat orang lain?

6. Apa yang saya takuti untuk saya akui pada diri sendiri?

Kemudian renungkan kembali jawaban-jawaban Anda, dan perlahan terimalah diri Anda apa adanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar