Senin, 18 Mei 2015

Tiongkok Atasi Kendala Ekonomi Global

Tiongkok Atasi Kendala Ekonomi Global

Anonim   ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 17 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kemajuan ekonomi Tiongkok tidak saja membuat negara itu menjadi makmur sendirian. Tiongkok juga membangun dunia dengan skala investasi yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Pada era keemasan ekonomi Barat, hanya sekutu atau negara yang dianggap sahabat yang dibantu. Kini, banyak negara yang ditolong Tiongkok. Bahkan, banyak negara ingin memanfaatkan kekuatan ekonomi Tiongkok, termasuk sekutu-sekutu Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari keikutsertaan sekutu AS, yakni Inggris, Jerman, dan Perancis, dalam pendirian Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB).

Hal paling memukau, walaupun luput dari pemberitaan dunia, adalah pembangunan infrastruktur global yang dilakukan Tiongkok. Pakistan, sekutu tradisional AS yang miskin, menjadi negara terbaru yang menyambut investasi Tiongkok.

Eksekutif tiga korporasi ternama Tiongkok, yaitu Huaneng Group, ICBC Corporation, dan Zonergy Corporation datang ke rumah PM Pakistan Nawaz Sharif, April silam, membahas pembangunan koridor darat Tiongkok-Pakistan.

Tiongkok membangun Gwadar Port di Pakistan yang dekat dengan Selat Hormuz sejak 2002. Hal ini bisa mengatasi dilema Selat Malaka, jalur 80 persen ekspor-impor Tiongkok. Michael Kugelman, peneliti dari South and Southeast Asia at the Woodrow Wilson International Center, mengatakan, Gwadar Port memberi Pakistan manfaat besar dan akses transportasi bagi Tiongkok.

Tiongkok juga membangun Port of Colombo di Sri Lanka, pelabuhan Maday Island di Kyaukphyu, Myanmar, untuk fasilitasi jaringan gas dan minyak ke Provinsi Yunnan. Bersama Perancis, AS, Jerman, dan Jepang, Pemerintah Tiongkok membangun pula basis angkatan laut di negara Djibouti. Pelabuhan di negara Seychelles dibangun sebagai tempat pengisian bahan bakar perkapalan jalur Madagaskar dan Maladewa.

Tiongkok akan membangun terusan yang membelah danau di Nikaragua. Terusan ini akan menyaingi Terusan Panama yang dikuasai AS.

Pelabuhan-pelabuhan itu dinamakan sebagai String of Pearls atau Untaian Mutiara, menyamai Silk Road atau Jalur Sutra di daratan. Jaringan pelabuhan semacam ini pernah menandai kebesaran Inggris serta Belanda pada masa silam.

Dalam satu dekade terakhir, Tiongkok juga gencar membangun infrastruktur di Afrika dan Amerika Latin. Rusia dan Tiongkok tak kalah giat membuka lebar jalur perbatasan mereka.

Pembangunan infrastruktur mendorong kenaikan permintaan bahan-bahan bangunan, jasa konstruksi, keuangan, dan konsultan. Setelah jadi, infrastruktur menaikkan mobilitas dan produktivitas.

Dunia tertolong investasi Tiongkok di sektor infrastruktur. Bank Dunia tak pernah melakukannya dalam skala yang dilakukan Tiongkok. Bank Dunia juga tidak memasuki daerah-daerah pelosok.

Sebaliknya, Tiongkok menerobos sekat-sekat pembangunan, yang tidak dilakukan Jepang dan AS. Tiongkok membuka kantong-kantong kemiskinan di banyak negara.

Tiongkok tidak saja mendorong ekspor dan menjadi basis produksi global. Tiongkok memfasilitasi pula pembangunan global lewat rangkaian pengembangan infrastruktur itu.

Kegelisahan AS

Beberapa pakar menilai semua itu dari sisi geopolitik dengan kecenderungan negatif, di samping mengakui sedikitnya sisi positif. Christopher J Pehrson, analis dari Strategic Studies Institute of the US Army, mengatakan, sejumlah pelabuhan ini penting demi kesinambungan kehidupan Tiongkok.

Kegelisahan AS jauh lebih kompleks. Akademisi pakar kekuatan laut, Seth Cropsey dari Hudson Institute serta Arthur Milikh dari Heritage Foundation mengingatkan, kebangkitan Tiongkok akan menantang pengaruh AS di samudra. Menurut mereka, AS bisa mengalami kerugian ekonomi seperti terjadi pada Belanda saat kehilangan status sebagai kekuatan laut dunia pada akhir abad ke-18.

Philipp Missfelder, anggota parlemen Jerman, menyatakan, pandangan prejudis terhadap Tiongkok sebaiknya dihilangkan. ”Jerman tertolong secara ekonomi berkat kebangkitan Tiongkok”, tulis Missfelder di situs Huffington Post edisi 20 April.

Mantan Menteri Keuangan AS Hank Paulson menyatakan, saatnya AS menjadi mitra, di samping pesaing bagi Tiongkok. Hal serupa dinyatakan mantan PM Australia Kevin Rudd. Menurut dia, Tiongkok bukan ancaman yang menakutkan.

Minxin Pei, profesor pemerintahan di Claremont McKenna College dan peneliti di German Marshall Fund of the United States, mengatakan, sebaiknya Tiongkok jangan berambisi menjadi pesaing yang menantang kekuatan lain, tetapi menjadi katalisator untuk kerja sama.

PM Li Keqiang menyampaikan, Tiongkok ingin bekerja sama mendorong perekonomian global. Hal ini senada dengan ”Visi Kerja Sama internasional Tiongkok” yang dimunculkan pada 28 Maret oleh Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional. Laporan mereka disusun bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, dengan persetujuan Dewan Negara Tiongkok.

Isinya menegaskan Tiongkok tidak mengejar hegemoni, tetapi harmoni. Namun, dalam penjelasannya, tersirat kejengkelan Tiongkok terhadap hegemoni yang menyebabkan bias dalam tatanan dunia dan Tiongkok ingin hal itu dihilangkan.

Lalu kepentingan siapa yang harus didahulukan? Kepentingan lebih dari semiliar orang miskin atau kepentingan AS, India, dan Jepang yang mencurigai Tiongkok?

Negara berkembang yang tergabung dalam kelompok G-20 saat pertemuan Bank Dunia/IMF, April silam, menyatakan tidak menginginkan penguasaan AS secara sepihak dalam berbagai badan dunia, yang selama ini mengatur tatanan secara sepihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar