Praperadilan-praperadilan
Alek Karci Kurniawan ; Peneliti
Muda Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KOMPAS, 21 Mei 2015
Kontroversi
mengenai kewenangan lembaga praperadilan dalam memutus status penetapan
tersangka berujung di palu sidang hakim Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 laksana kejutan yang
menghebohkan lapangan hukum pidana Indonesia. MK memperluas obyek
praperadilan di dalam KUHAP dengan menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan,
dan penyitaan.
Di mata
publik bergulirlah semacam akal sehat yang seakan-akan menguatkan putusan
hakim Sarpin Rizaldi, yang sebelumnya bertindak mengabulkan gugatan
praperadilan Komjen Budi Gunawan dan menjadi pemicu banyaknya pengajuan gugatan
praperadilan terhadap status tersangka yang kemungkinan besar dimanfaatkan
pelaku tindak pidana korupsi.
Ada dua
pertimbangan yang mesti dicermati dari putusan MK ini. Pertama, hak dan
martabat seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka memang berpotensi
dirampas melalui tindakan subyektif penyidik yang melampaui kewenangan.
Kedua, pada kondisi itu tak ada kesempatan menguji tafsir subyektif dari
tindakan penyidik dalam hal menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Jamak
diketahui bahwa status tersangka merupakan status yang disematkan kepada
seseorang yang, karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan,
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP). Dari kaca
mata hukum pidana, penetapan status tersangka sangatlah rentan terhadap
pelanggaran hak asasi manusia sebab dalam penalaran yang wajar, menetapkan
seseorang sebagai tersangka suatu tindak pidana sudah menjadi tindakan yang
merenggut sebagian besar hak asasinya. Tak ada
satu pun literatur ataupun aturan hukum yang menjelaskan legitimasi bukti
permulaan yang cukup untuk bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka
(John Jackson dan Peter Tillers: 2008).
Dalam
perkembangannya bukti permulaan hanya dipakai untuk memberikan kewenangan
bagi penegak hukum melakukan segala bentuk upaya paksa, baik KUHAP, UU No
30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maupun ketentuan
hukum perpajakan pun hanya mengatur bukti permulaan yang cukup untuk
melakukan penyidikan dan segala bentuk upaya paksa. Jadi, mempunyai urgensi
tersendirilah suatu forum yang menjadi ruang klarifikasi dan menguji
keabsahan bukti permulaan yang cukup guna menetapkan seseorang sebagai
tersangka, dengan maksud agar melindungi hak asasi dari orang tersebut. Untuk
itu, diperlukan suatu forum yang menjadi ruang klarifikasi dan menguji
keabsahan bukti permulaan yang cukup guna menetapkan seseorang sebagai
tersangka dengan maksud agar melindungi hak asasi orang tersebut.
Ketentuan dalam KUHAP tak
memberikan penjelasan mengenai batasan jumlah dari frasa ”bukti permulaan”,
”bukti permulaan yang cukup”, dan ”bukti yang cukup”. Satu-satunya pasal yang
menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan, ”Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti ... dst”.
Maka,
pemaknaan ”minimal dua alat bukti” dinilai MK merupakan perwujudan asas due process of law untuk melindungi
hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Sebagai hukum formil
dalam proses peradilan pidana di Indonesia, masih terdapat beberapa frasa
dalam KUHAP yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi asas lex certa serta asas lex stricta agar melindungi seseorang
dari tindakan semena-mena penyelidik ataupun penyidik. Secara garis
besar, ada dua kepentingan yang hendak dilindungi secara seimbang melalui
praperadilan, yaitu kepentingan individu dan kepentingan publik atau
masyarakat. Hal ini juga yang menjadi pendapat berbeda hakim
konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Pengimbang
Dari
perspektif kepentingan individu (tersangka atau terdakwa), diintroduksinya
lembaga praperadilan ini dalam KUHAP adalah sebagai ”pengimbang” terhadap
kewenangan yang diberikan kepada penyidik dan penuntut umum menggunakan upaya
paksa dalam pemeriksaan tindak pidana. Karena itu, sebagai jaminan bahwa
upaya paksa dimaksud benar-benar digunakan demi kepentingan pemeriksaan
tindak pidana yang disangkakan (atau didakwakan) sesuai dengan ketentuan
undang-undang. Untuk memenuhi tuntutan jaminan itulah diintroduksi lembaga
praperadilan.
Selanjutnya,
apabila penuntut umum atau pihak ketiga menganggap penghentian penyidikan
yang dilakukan penyidik tak sah, mereka dapat mengajukan permohonan
praperadilan untuk memeriksa keabsahan tindakan penyidik itu. Begitu pula
sebaliknya, apabila penyidik atau pihak ketiga menganggap penghentian
penuntutan yang dilakukan penuntut umum tidak sah, mereka ini pun dapat
mengajukan permohonan praperadilan memeriksa keabsahan tindakan penuntut umum
itu. Dengan cara demikian, keseimbangan perlindungan yang diberikan terhadap
kepentingan individu (tersangka, terdakwa) dan kepentingan publik
(masyarakat) tetap terjaga.
Memasukkan
penetapan tersangka ke dalam ruang lingkup praperadilan berarti membenarkan
ketakseimbangan perlindungan kepentingan individu dan kepentingan publik
(masyarakat). Sebab, bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka,
tersedia dua jalan hukum mempersoalkan penetapan itu. Pertama, memohon
penghentian penyidikan (dalam hal penyidik tak mengambil inisiatif sendiri
menghentikan penyidikan itu). Kedua, memohon praperadilan (misalnya dalam hal
permohonan penghentian penyidikan tak dikabulkan penyidik). Jika masyarakat
(pihak ketiga) hendak mempersoalkan tindakan penyidik yang menghentikan
penyidikan terhadap seorang tersangka, satu-satunya jalan yang tersedia
hanyalah praperadilan.
Bayangkan,
ke depan, putusan MK ini menjadi angin segar bagi para tersangka dengan
bertambah satu lagi amunisinya mempertentangkan keputusan penetapan tersangka
kepada dirinya. Namun, tak bisa dinafikan sisi positifnya, putusan MK ini
bakal memicu aparat penegak hukum bekerja lebih profesional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar