Demokrasi
Partisipasi
Adnan Pandu Praja ; Komisioner
KPK
|
KOMPAS, 21 Mei 2015
Perselisihan
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan sejumlah
anggota DPRD DKI sangat menarik karena substansi yang dipertahankan Dewan diyakini
tak mewakili kepentingan rakyat, pemegang kedaulatan tertinggi. Fenomena ini
sepertinya umum terjadi pada proses persetujuan RAPBD di Indonesia.
Model
demokrasi yang kita pilih, demokrasi representasi absolut, memberikan mandat
sepenuhnya kepada Dewan untuk membicarakan segala hal dalam menjalankan tiga
fungsi Dewan: legislasi, anggaran, dan pengawasan; termasuk kewenangan
melengserkan. Bahkan, UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3)
membuat Dewan jauh lebih kuat dengan ”hak imunitas” dan kewenangan upaya
paksa, dan lain-lain. Tampaknya Dewan makin kuat sehingga kian memperluas
zona nyaman bagi oknum anggota Dewan.
Mengusik zona nyaman
Zona
nyaman dapat terjadi karena, pertama, partai politik yang diharapkan jadi
lokomotif dalam membangun negara untuk dapat menyejahterakan rakyat tak
konsisten dengan pilihan ideologi politiknya yang tertuang pada akta
pendiriannya. Alhasil, sulit membedakan antara partai agama dan partai yang
tidak menggunakan agama sebagai pedoman partai pada perdebatan politik di
Dewan. Di samping itu, partai politik gagal membangun kaderisasi agar
kadernya di parlemen memiliki kompetensi yang memadai. Akibatnya, tak jarang
argumen yang dilontarkan anggota Dewan di beberapa daerah tidak dapat
mengimbangi argumen eksekutif yang telah berkarier puluhan tahun di
pemerintah.
Selain
itu, kewenangan partai dalam melakukan pergantian antarwaktu terhadap anggota
Dewan menjadi ancaman bagi anggota Dewan untuk lebih berpihak bagi
kepentingan partainya dibandingkan memperjuangkan kepentingan rakyat yang
diwakilinya. Terakhir, partai politik kurang membuka ruang pengaduan
masyarakat bagi kadernya yang bermasalah.
Persoalannya,
rakyat tak punya opsi lain untuk memilih wakil rakyat nonpartisan alias
independen seperti opsi pada proses pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Sudah saatnya dibuka opsi memilih wakil independen di DPR agar partai
politik memiliki pesaing untuk koreksi diri. Keberadaan wakil independen tak
harus dianggap sebagai ancaman, tetapi lebih pada posisi penyeimbang. Di
negara maju seperti Kanada, wakil partai masih dominan. Misalnya di Provinsi
British Columbia, Kanada, hanya ada satu wakil independen dari 85 anggota
Dewan.
Kedua,
tidak cukup akses bagi rakyat untuk mengetahui perdebatan di Dewan: siapa
bicara apa. Rakyat tak dapat menilai mutu aspirasi yang disuarakan dan
argumentasi yang dilontarkan anggota Dewan. Apalagi untuk dapat memantau
aktivitas Dewan sehari-hari. Mekanisme pengaduan terhadap anggota Dewan yang
bermasalah terkesan mandul. Bahkan, kinerja Dewan belum pernah diaudit dengan
menggunakan self assessment review
yang diperkenalkan oleh Inter
Parliamentary Union tahun 2008 (Indeks Parlemen Indonesia, Kompas, 13
Januari 2015)
Ketiga,
posisi tawar eksekutif cenderung tidak berimbang. Misalnya dalam pembahasan
anggaran, DPRD tak jarang melakukan intervensi terhadap detail anggaran untuk
proyek apa, di mana, dan kapan akan dilaksanakan atau yang dikenal dengan
”satuan tiga”, meski kewenangan itu telah dibatalkan berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-XI/2013 di tingkat pusat. Kasus Ahok vs DPRD
seyogianya menginspirasi Kemendagri untuk membatasi intervensi Dewan dalam
rangka implementasi putusan MK itu. Demikian halnya dengan perizinan, tak
jarang diintervensi oknum Dewan seperti kasus korupsi izin penggunaan lahan
di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang melibatkan DPRD hasil operasi tangkap
tangan KPK tahun lalu.
Belajar
dari konflik Ahok vs DPRD DKI dan beberapa kasus korupsi di KPK, sudah
saatnya untuk mereformasi pola demokrasi dengan membuka ruang partisipasi
masyarakat secara lebih luas untuk turut terlibat dalam urun rembuk tata
kelola pemerintahan daerah di tingkat terendah (kabupaten/kota), yang dikenal
dengan demokrasi partisipasi, yaitu proses demokrasi yang lebih menitikberatkan
partisipasi yang seluas-luasnya bagi konstituen dalam proses politik.
Sudah
bukan masanya anggota Dewan mengklaim paling tahu semua urusan rakyat yang
diwakilinya. Politisi secara alami memiliki kepentingan politik yang tidak
jarang berseberangan dengan kebutuhan rakyat yang diwakilinya (Naim, 2013).
Terpilihnya Presiden Joko Widodo karena dianggap mau mendengar kebutuhan
rakyat ketika menjadi Wali Kota Solo maupun Gubernur DKI mengindikasikan
rakyat ingin didengar dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Pertimbangan
diperlukannya demokrasi partisipasi di tingkat kabupaten/kota karena
substansi perdebatannya lebih pada persoalan tata kehidupan sehari-hari dan
bersifat teknis, seperti banjir, kebersihan kota, dan kepadatan lalu lintas
yang jauh dari perdebatan politik bernegara yang merupakan domain partai
politik. Rakyat secara langsung dapat terlibat dalam fungsi pengawasan dan
menyampaikan persoalannya serta dapat mengetahui langsung kendala teknis di
lapangan. Proses dialogis pada gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan
publik. Kepercayaan publik sangat penting dalam membangun semangat gotong
royong, khususnya ketika menghadapi bencana, mengingat keterbatasan fasilitas
pemda.
Forum tripartit
Forum
tripartit—DPRD, pemda, dan masyarakat—menjadi ventilasi bagi gagasan
pemikiran dan ketidakpuasan warga masyarakat terhadap kinerja pemda dan Dewan
yang selama ini tersumbat. Tak ada alasan demonstrasi yang membuang-buang
energi, biaya, dan mengganggu ketertiban masyarakat. Terlebih demo anarkistis
dan brutal yang menjadi kecenderungan negatif di beberapa daerah. Ketertiban
masyarakat sangat diperlukan bagi iklim usaha dan investasi asing untuk
membangun negeri.
Di
bidang anggaran, partisipasi langsung masyarakat dalam forum tripartit akan
menutup peluang kolusi antara kepala daerah dan Dewan dalam memberantas
anggaran siluman. Meski tidak langsung, e-budgeting adalah langkah awal
partisipasi publik. Namun, ia akan mudah diabaikan apabila Dewan dan kepala
daerah berkolusi. Karena itu, diperlukan partisipasi langsung dalam bentuk
forum tripartit.
Manfaat
lain demokrasi partisipasi dapat mengasah kepekaan Dewan dalam memperjuangkan
kebutuhan rakyat yang diwakilinya di bidang legislasi, misalnya. Forum
tripartit akan mengingatkan janji politik Dewan pada masa kampanye. Kegigihan
Dewan dalam memperjuangkan aspirasi rakyat akan dapat menumbuhkan kepercayaan
masyarakat, bahkan dapat menepis pandangan miring oknum Dewan yang dianggap
tidak kompeten dan terpilih semata-mata karena politik uang pada proses
pemilu. Forum tripartit juga dapat menghemat biaya sosialisasi produk
legislasi.
Konsekuensi
pilihan demokrasi partisipasi antara lain memperkecil jumlah anggota Dewan
dan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya tanpa harus dianggap menyaingi
posisi Dewan. Untuk itu, harus dibuat aturan main yang jelas agar dapat
membedakan antara pendapat warga dan pendapat Dewan. Demokrasi partisipasi
tidak akan membawa manfaat apabila jumlah anggota Dewan tidak dikurangi.
Semakin banyak jumlah anggota Dewan berbanding lurus dengan tuntutan
kepentingan Dewan yang harus diakomodasi kepala daerah.
Peranan
teknologi informasi mutlak diperlukan dalam memperluas ruang partisipasi
publik agar tak dibatasi ruang dan waktu. Partisipasi publik bersifat dua arah:
dari dan kepada warga masyarakat. Masyarakat perlu mengetahui perkembangan
partisipasinya. Namun, cukup disadari, mengharapkan masyarakat untuk segera
berpartisipasi dalam proses demokrasi tidak mudah mengingat stigma negatif
sudah terlalu lama melekat pada aparat pemerintahan daerah. Diperlukan
stimulasi program, misalnya program ”kota cerdas” berbasis teknologi
informasi Sombere. Ini yang dilakukan Pemerintah Kota Makassar untuk
memudahkan membantu kebutuhan mendesak warga marjinal—khususnya ketika menghadapi
musibah—melalui program Car and Rescue Center. Program tersebut diharapkan
dapat menstimulasi warga dalam upaya turut membangun partisipasi publik.
Forum
tripartit pernah dilaksanakan Bupati Pinrang, Sulawesi Selatan, tetapi belum
dikelola dengan maksimal dan tidak memiliki payung hukum dari Kemendagri
maupun ketentuan yang lebih tinggi mengingat banyak pihak yang akan terganggu
zona nyamannya.
Konsekuensi
paling berat dari demokrasi partisipatif adalah pergantian antarwaktu (PAW)
anggota Dewan oleh rakyat berdasarkan referendum atau dikenal dengan recall
referendum, yang telah diberlakukan di Amerika sejak abad ke-16. Partai
politik di Indonesia tampaknya belum legowo menyerahkan urusan PAW kepada
konstituen. Dalam beberapa kasus PAW selama ini dianggap kurang adil,
misalnya diganti karena mereka dianggap berseberangan dengan kebijakan
partai. Padahal, mereka merasa menjadi anggota Dewan karena dipilih langsung
oleh rakyat.
Idealnya,
semakin besar ruang partisipasi masyarakat diharapkan dapat mengurangi
dominasi partai politik terhadap anggota Dewan. Selama ini anggota Dewan
terjebak dalam dilema antara tekanan partai dan kewajiban konstitutif
terhadap kepentingan konstituennya. Dibutuhkan kematangan politik anggota
Dewan untuk bisa keluar dari dilema tersebut.
Konflik
Ahok vs Dewan ibarat gunung es proses persetujuan APBD di Indonesia yang
selalu berulang setiap tahun, yang pada gilirannya menguras uang rakyat untuk
kepentingan selain rakyat. Sepertinya tidak ada pilihan lain selain mengubah pilihan
demokrasi representasi jadi demokrasi partisipasi agar rakyat lebih berdaulat
sesuai amanat UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar