Agenda
Bersama Pengusaha-Pekerja
P Agung Pambudhi ; Direktur
Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
|
KOMPAS, 21 Mei 2015
Kita
pantas lega, aksi buruh turun ke jalan pada 1 Mei berlangsung damai.
Demikianlah
semestinya, perayaan Hari Buruh dengan damai di konteks zamannya. Pesan moral
peristiwa 129 tahun lalu di Amerika Serikat yang menjadi acuan penetapan Hari
Buruh, tak lain adalah tuntutan untuk terciptanya suatu kondisi kerja yang
lebih baik.
Apakah
masih relevan tuntutan itu? Tentu, mengingat sejumlah fakta ini: di sektor
ekonomi formal hanya sekitar 12.000 perusahaan yang memiliki perjanjian
kontrak bersama (PKB) antara perusahaan dengan buruh, 36 persen perusahaan
belum mengikuti ketentuan upah minimum, 66 persen buruh yang di-PHK tidak
mendapat hak-hak normatifnya.
Namun,
coba kita lihat fakta lain: kebebasan buruh berserikat telah menghasilkan
berbagai serikat buruh/pekerja (salah satu implementasi dari delapan konvensi
dasar Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang telah diratifikasi
Indonesia); peningkatan basis penetapan upah minimum (UM) dari komponen
berbasis kebutuhan fisik minimum menjadi kebutuhan hidup minimum, dan saat
ini meningkat dengan acuan kebutuhan hidup layak (KHL); kebebasan
menyampaikan pendapat (termasuk turun ke jalan), dan lain-lain. Ada perbaikan
kualitas kondisi kerja sebagaimana tuntutan mendasar para buruh pada 1 Mei
1886 sebagai tonggak perjuangan buruh dunia.
Fakta-fakta
di atas membawa kita untuk mencermati tuntutan buruh 1 Mei 2015, di antaranya,
mendapat perlindungan pensiun 70 persen dari gaji terakhir, kenaikan UM 32
persen, peningkatan komponen KHL dari 60 menjadi 84 item, pelayanan kesehatan
yang baik, penghapusan sistem tenaga alih daya, subsidi bagi rakyat, dan
sebagainya. Tidak ada unsur tripartit (pekerja, pengusaha, dan pemerintah)
yang menolak tuntutan perbaikan upah, pelayanan kesehatan maupun jaminan
sosial.
Namun,
tuntutan kenaikan UM sebesar 32 persen jelas berlebihan. Buruh pun paham
persis mengenai itu! Di tingkat mikro perusahaan, buruh menyaksikan efek dari
melemahnya perekonomian global dengan menurunnya permintaan produksi di
perusahaan manufaktur sebagai contoh (sektor terbesar penyerap tenaga kerja
formal). Cukup banyak kajian yang menunjukkan sudah bagus jika perusahaan
mampu bertahan dengan memberikan kenaikan upah sesuai inflasi untuk
mempertahankan daya beli pekerja. Maka, pemaksaan atas tuntutan kenaikan
komponen KHL menjadi 84 item dan kenaikan 32 persen UM justru akan mengancam
jaminan kelangsungan bekerja karena daya dukung perekonomian Indonesia belum
mampu mewujudkannya.
Ihwal
tuntutan pelayanan kesehatan dan jaminan pensiun amat wajar diperjuangkan.
Kita lihat soal jaminan kesehatan, saat ini sekitar 10 juta buruh yang sudah
menerima jaminan pelayanan kesehatan melalui asuransi kesehatan swasta (3
juta pekerja) dan pelayanan kesehatan mandiri melalui klinik kesehatan
perusahaan dan sistem re-imburse (7
juta pekerja) mengalami penurunan kualitas pelayanan kesehatan. Ini karena
keharusan mengikuti asuransi sosial melalui skema Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan yang masih gagap dalam menerjemahkan mandat
penyediaan pelayanan kesehatan.
Sementara
soal jaminan pensiun yang akan dikelola BPJS Ketenagakerjaan sangat
mengecewakan, mengingat peraturan pemerintah tentang jaminan pensiun yang
berdasarkan undang-undang harus sudah diterbitkan akhir 2013 lalu, sampai
menjelang dua bulan keharusan implementasi nantinya pada 1 Juli 2015 belum
juga diterbitkan. Bagaimana mungkin dapat melakukan sosialisasi ke pengusaha
dan pekerja dengan baik? Bagaimana pula kesiapan institusionalisasinya di
BPJS Ketenagakerjaan dan instansi-instansi pendukung lainnya? Bagaimana
ceritanya perusahaan harus akrobat dalam perencanaan penganggaran
operasionalnya? Dalam kondisi demikian, pemerintah hendak memaksakan
pengusaha membayar 5 persen dan pekerja membayar 3 persen dari gaji pekerja,
di saat pemerintah tak berani menentukan alokasi anggaran dari APBN sebagai
dana cadangan untuk menjamin berlangsungnya sistem manfaat pasti jaminan
pensiun sebagaimana perintah UU.
Pemerintah-pengusaha
Pembenahan
kondisi kerja dalam hubungan industrial di atas jelas harus terus dibenahi
atas hal-hal rasional, yang mensyaratkan kerja keras dan bijak dari ketiga
unsur tripartit, utamanya pemerintah sebagai pemegang otoritas publik dalam
mengambil keputusan. Harus sejauh mungkin dihindari pengambilan kebijakan
hanya demi popularitas sesaat yang menjerumuskan semua pihak. Ketegasan
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mencabut subsidi BBM untuk kepentingan
rakyat di awal kekuasaannya, elok kiranya jika dapat diterapkan dalam
dinamika ketenagakerjaan mengingat tantangan maha besar penciptaan lapangan
kerja.
Tantangan
tersebut adalah penciptaan lapangan kerja dan nilai tambah perekonomian Indonesia.
Peta jalan perekonomian Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) singkatnya
menjelaskan: untuk memberikan pekerjaan kepada sekitar 15,5 juta pencari
kerja dalam periode kepemimpinan Jokowi-JK diperlukan penciptaan setidaknya 3
juta lapangan kerja per tahun. Sementara itu, dalam penciptaan nilai tambah
melalui peningkatan produktivitas, terdapat sejumlah tantangan besar
perekonomian dan ketenagakerjaan untuk menggeser sektor ekonomi dengan
produktivitas rendah ke sektor dengan produktivitas tinggi (informal ke
formal, dan sektor pertanian ke manufaktur), serta peningkatan produktivitas
di setiap sektor melalui inovasi dan pemanfaatan teknologi.
Industri
padat karya masih sangat layak untuk penciptaan lapangan kerja mengingat
fenomena jobless growth Indonesia
pada beberapa tahun terakhir, di mana setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi
hanya mampu menyerap kurang dari 180.000 tenaga kerja baru. Lebih lanjut,
tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia yang masih kalah dibanding
negara-negara kompetitornya, seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina
memberikan justifikasi bahwa investasi industri padat karya, seperti pakaian
jadi, alas kaki, dan perakitan elektronik masih sangat diperlukan Indonesia.
Tentu
peningkatan produktivitas di sektor-sektor lainnya, seperti pertanian sebagai
sektor penyerap tenaga kerja terbesar dengan produktivitas masih rendah,
perlu terus juga diupayakan. Juga investasi di sektor dengan nilai tambah
tinggi di industri padat modal, industri kreatif dan industri jasa di saat
yang bersamaan harus ditingkatkan agar Indonesia tidak terjebak sebagai
negara berpenghasilan menengah yang tak beranjak naik.
Pekerja-pengusaha
Apa
kontribusi hubungan bipartit (pekerja-pengusaha) dalam menghadapi tantangan
besar tersebut? Mungkinkah perspektif kesadaran bersama untuk menghindari
loose-loose situation akibat tegangan hubungan industrial yang mengakibatkan
turunnya daya saing dapat diwujudkan demi agenda besar perekonomian
Indonesia?
Dalam
lingkup hubungan ketenagakerjaan, agenda bersama bipartit dapat dimulai untuk
hal yang relatif tak banyak perbedaan kepentingannya. Misalnya, jaminan
kesehatan untuk memastikan pelayanan kesehatan bagi pekerja tak berkurang
kualitasnya setelah mengikuti skema pelayanan BPJS Kesehatan di satu sisi,
dan meminimalisir tambahan beban biaya bagi pengusaha dan pekerja untuk iuran
kesehatan semesta tersebut. Juga layak diperjuangkan bersama soal jaminan
pensiun bagi pekerja agar menjamin ketenangan bekerja. Kedua belah pihak
harus memiliki kesediaan untuk mengerjakan banyak hal teknis dalam
memperjuangkannya. Untuk persoalan yang lebih kompleks, seperti upah, PHK,
dan pekerja alih daya, tantangannya lebih substansial untuk mencapai
kesepemahaman bersama sebelum ke perjuangan bersama.
Di luar
lingkup hubungan industrial, mestinya ada persoalan yang bisa diperjuangkan
bersama tanpa ada hambatan sekat kepentingan bipartit. Meski selintas bukan
persoalan ketenagakerjaan, tetapi jika biparit mampu memberikan solusi
persoalannya, mestinya berdampak positif bagi hubungan ketenagakerjaan. Jika
pengusaha dan pekerja dapat bekerja sama mendesak pemerintah menurunkan biaya
logistik, biaya akses lahan, dan biaya perizinan usaha, sudah pasti akan
meningkatkan daya saing perusahaan di Indonesia. Dengan begitu perusahaan dan
perekonomian Indonesia secara luas akan memiliki kemampuan untuk meningkatkan
kesejahteraan buruh/pekerja secara cukup signifikan.
Apakah
agenda bersama ini dapat terwujud ataukah sekadar utopia? Diperlukan
perubahan paradigma kedua belah pihak untuk mampu bersama berjuang mengatasi
persoalan struktural perekonomian Indonesia tersebut, yang potensial
berimplikasi positif bagi peningkatan kualitas hubungan industrial.
Barangkali dengan cara demikian bipartit mampu mencari terobosan penting
dalam mendesak—jika perlu menekan—pemerintah untuk tidak menjalankan
pemerintahan secara business as usual.
Barangkali
juga dengan demikian hubungan bipartit tidak terjebak dalam lingkaran setan
debat mana yang lebih dulu: kesejahteraan atau produktivitas. Yang kita
khawatirkan adalah kemenangan invisible hand yang selalu mempertentangkan
pengusaha-buruh. Jika demikian terus terjadi, perayaan Hari Buruh akan
menjadi may day may day …, alarm
bagi kondisi darurat perekonomian Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar