Merumuskan
Kebahagiaan Rakyat
Indra Tranggono ; Pemerhati
Kebudayaan
|
KOMPAS, 23 Mei 2015
Tanyalah
kepada Tjokroaminoto, Bung Karno,
Sjahrir atau pemimpin nasionalis-humanis lainnya. Jawabannya pasti sama:
salah satu tujuan penting mendirikan negara adalah menciptakan kehidupan
rakyat bahagia.
Ukuran
kebahagiaan tak hanya pemenuhan hidup secara material, juga secara emosional,
intelektual, eksistensial, kultural, dan spiritual.
Tanpa
melupakan jasa besar gerakan Boedi Oetomo, Tjokroaminoto merasa wajib menanam
dan menumbuhkan nasionalisme ke dalam
jiwa murid-muridnya, antara lain Koesno (Soekarno). Kemudian Soekarno mengembangkan
nasionalisme menjadi ideologi pergerakan untuk mencapai kemerdekaan.
Cita-cita
yang terbayang di benak Soekarno pasti
bukan berkaitan dengan ambisi personal
melainkan impian sosial: negara
berdaulat, pemerintahan kuat, dan rakyat bermartabat. Ada ideologi negara
(Pancasila) yang dijabarkan melalui
konstitusi (UUD 1945) di mana rakyat dilindungi, dicerdaskan, dibangun
martabatnya, dan disejahterakan.
Membahagiakan
kehidupan rakyat menjadi horizon harapan yang selalu diperjuangkan. Rakyat
hadir sebagai subyek yang ikut memproses harapan-harapan kebahagiaan.
Begitulah Soekarno menggunakan ideologi dan sistem kekuasaan yang populis,
antimodal asing dan pro sipil, untuk mendistribusikan kesejahteraan dan
membahagikan rakyat.
Soeharto
mempunyai cara berbeda. Ia menggeser paradigma Soekarno dengan menghadirkan
"kapitalisme negara", sebuah sistem pro modal asing yang disangga
kekuatan militer dan kelompok elite teknokrat untuk memacu pembangunan
ekonomi. Negara mengontrol mekanisme pasar agar rakyat dapat ruang untuk
bernapas. Sistem kekuasaan ototarian berhasil menciptakan stabilitas ekonomi.
Harga-harga kebutuhan pokok relatif terjangkau. Biaya hidup tidak tinggi.
Rakyat mengenangkan era Orde Baru sebagai era "sandang pangan murah dan
mencari uang relatif gampang".
Namun,
tebusannya amat besar: demokrasi mati. Perbedaan pikiran, keragaman pendapat
dan kebebasan ekspresi tak boleh dirayakan. Kritisisme ditentang. Rakyat
ditundukkan secara kolektif. Negara menjelma menjadi "monster".
Suasana hidup penuh horor menjadi kenyataan yang harus dihadapi.
Langgam kapitalisme
Adapun
rezim-rezim demokratis-liberal pasca
Orde Baru merumuskan kebahagiaan hidup rakyat berdasarkan logika dan langgam
kapitalisme serta daulat pasar, di mana semua kebutuhan harus dibeli dengan
harga tinggi oleh rakyat jelata. Lihatlah, misalnya, pada penentuan harga BBM
yang lebih ditentukan mekanisme pasar dunia sehingga sangat labil. Akibatnya,
kehidupan ekonomi rakyat jungkir balik, harus mengejar harga-harga kebutuhan
pokok yang terus melambung tanpa kendali. Tampaknya, penyelenggara negara dan
pemerintahan justru bangga dengan memamerkan "ketidakberdayaannya"
atas tekanan politik ekonomi pasar bebas.
Di dalam
rezim demokratis-liberal seperti saat ini, rakyat kecil justru tak
mendapatkan manfaat dan makna apa pun.
Secara ekonomi, rakyat tersingkir dan menjadi korban brutalitas pasar bebas. Secara politik,
rakyat hanya menjadi komoditas para juragan politik ambisius. Secara sosial,
rakyat menjadi "gelandangan", tak terpenuhi hak-hak konstitusional.
Secara budaya, rakyat dimiskinkan, direndahkan martabatnya, dilucuti identitas dan jatidirinya, serta
dijebol dari akar kulturalnya yang otentik. Rakyat kecil pun akhirnya dalam
posisi mengenaskan: sudah miskin, tak memiliki kebudayaan lagi.
"Hadiah"
dari sistem demokrasi berupa kebebasan hanya menjadi kebutuhan kelas menengah
atas. Mereka bisa survive karena dekat atau berada dalam pusat-pusat
kekuasaan politik dan ekonomi, baik sebagai "tukang", kolaborator,
atau mediator/makelar politik. Apa
artinya kebebasan jika rakyat kelaparan? Apa artinya demokrasi tanpa
kesejahteraan? Begitulah gugatan rakyat dalam kemarahan yang sunyi, kemarahan
yang purba.
Rakyat
hanya diberi keleluasaan dalam menikmati penderitaan, menikmati limbah penuh racun yang dihasilkan pabrik
kekuasaan yang korup dan jauh dari nilai-nilai konstitusi.
Rakyat
merumuskan kebahagiaan dengan
sederhana: terpenuhinya kebutuhan dasar berupa pangan, papan, sandang,
kesehatan, pekerjaan, dan pendidikan. Ditambah tidak susah mencari uang atau
memiliki daya beli di mana harga-harga kebutuhan pokok terjangkau, hidup
aman/ nyaman dan mampu berekspresi secara kultural. Namun, tampaknya negara
dan rezim berkuasa masih "owel" alias berat hati mewujudkan impian
kebahagiaan rakyat itu. Mungkin karena tak mau repot atau memang tidak
mempunyai kepekaan atas derita rakyat? Sementara itu, jargon "pemimpin adalah
pelayan" terus berkumandang.
Penderitaan
rakyat kecil tak bisa ditolong dengan senyum presiden yang ramah, tetapi
hampa, wajah kelimis para menteri atau
gaya sok serius para politikus. Teater-teater palsu dan basa-basi pencitraan
itu terbukti gagal menyejahterakan apalagi membahagiakan rakyat. Harus berapa
abad lagi rakyat bisa hidup bahagia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar