Menyikapi
Pengungsi Rohingya
Hikmahanto Juwana ; Guru
Besar Hukum Internasional UI
|
KOMPAS, 23 Mei 2015
Menteri
Luar Negeri Indonesia, Malaysia, dan Thailand melakukan pertemuan pada Rabu
(20/5), untuk membahas penanganan pengungsi Rohingya. Dalam komunike bersama
Indonesia dan Malaysia mengedepankan masalah kemanusiaan (humanitarian) dalam menangani
pengungsi Rohingya dengan menyediakan penampungan sementara kepada mereka.
Sebelumnya,
Malaysia menolak untuk mendaratkan para pengungsi Rohingya di wilayahnya.
Sementara Indonesia, terdapat dua kebijakan, yaitu yang menolak untuk
didaratkan dan yang setuju untuk didaratkan.
Kemanusiaan
Dalam
melihat permasalahan pengungsi Rohingya pemerintah dan masyarakat harus
memilah dua hal penting. Pertama adalah isu kemanusiaan, dan kedua isu
menerima para pengungsi untuk bermukim di Indonesia (resettlement).
Para
pengungsi yang terombang-ambing di tengah laut lepas itu wajar untuk diberi
bantuan, bahkan didaratkan dengan alasan kemanusiaan. Sejumlah instrumen
internasional, termasuk Konvensi Hukum Laut 1982, mewajibkan agar negara mana
pun bila menemukan orang-orang dalam keadaan darurat untuk diberi bantuan.
Dalam
hal ini sisi kemanusiaan sangat penting. Para pengungsi Rohingya adalah
manusia-manusia yang setiap nyawa mereka harus dihargai.
Namun,
sikap itu tidak berarti bahwa para pengungsi tersebut dapat difasilitasi
untuk bermukim di Indonesia. Ini merupakan isu kedua. Bermukim berarti para
pengungsi akan mendapatkan pekerjaan, penghidupan yang lebih baik, bahkan
mereka dapat mengundang kerabat dan teman-temannya ke Indonesia.
Memukimkan
mereka bukanlah masalah kemanusiaan. Secara hukum internasional memang tidak
ada kewajiban bagi negara untuk menerima pengungsi atau pencari suaka kecuali
negara yang telah menjadi peserta dari Konvensi Internasional Tahun 1951
tentang Pengungsi.
Bersyukur
Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi konvensi tersebut, meski
berulang kali didesak oleh elemen-eleman dalam negeri dan luar negeri.
Meratifikasi konvensi pengungsi berarti mewajibkan negara peserta untuk
memperlakukan orang-orang dalam kondisi tertentu sebagai pengungsi atau
pencari suaka.
Australia
sebagai negara yang ikut dalam konvensi pengungsi, di bawah pemerintahan
Perdana Menteri Tony Abbott sangat menentang orang-orang dalam kondisi
tertentu ini masuk ke negaranya untuk diberi status pengungsi atau pencari
suaka.
Agar
tidak tersandung dengan kewajiban konvensi pengungsi, maka orang- orang
tersebut oleh Pemerintah Australia dilabel bukan sebagai pengungsi atau
pencari suaka, tetapi sebagai imigran gelap. Sebagai imigran gelap, otoritas
Australia punya dasar yang sah untuk mengusir dan menolak mereka.
Beruntung
bagi Indonesia yang belum meratifikasi konvensi pengungsi sehingga tidak
memiliki kewajiban yang seharusnya diemban Australia. Bahkan Indonesia menuai
pujian dari masyarakat internasional, termasuk PBB, karena mengedepankan
kepentingan kemanusian.
Seandainya
Indonesia menjadi peserta konvensi pengungsi, maka apa yang dilakukan
Indonesia saat ini masih jauh di bawah apa yang diwajibkan konvensi sehingga
yang dituai, sebagaimana terjadi pada Australia, adalah kecaman.
Beban internasional
Bagi
Indonesia masalah pengungsi Rohingya bukanlah beban sendiri. Pemerintah harus
menyikapi masalah ini sebagai masalah internasional. Dengan demikian, berarti
pendekatan yang ditempuh harus dilakukan secara internasional.
Masalah
pengungsi Rohingya dapat menjadi beban bagi Indonesia karena para pengungsi
berharap dapat bermukim dan menjadi warga Indonesia. Jika ini yang terjadi,
tentu tidak mudah, mengingat pemerintah masih berkewajiban untuk mengentaskan
berjuta rakyat miskin.
Belum
lagi pendatang luar negeri terkadang akan memicu masalah sosial di lingkungan
mereka tinggal. Dari perspektif keamanan dan kesehatan pun akan menjadi beban
bila jumlah pengungsi sangat besar.
Menurut
data UNHCR (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi), hingga 2014 terdapat
11.000 pengungsi Rohingya yang berada di Indonesia.
Untuk
mencegah Indonesia terbebani dengan masalah pengungsi Rohingya ada baiknya
penampungan untuk para pengungsi tidak berbaur dengan masyarakat. Para
pengungsi harus disediakan pulau tersendiri sehingga mencegah mereka
berinteraksi dengan masyarakat setempat, bahkan melarikan diri dan
mendapatkan kartu tanda penduduk Indonesia dengan cara ilegal.
Ide
seperti dulu, Pemerintah Indonesia menampung "manusia perahu" asal
Vietnam, dengan menempatkan mereka di Pulau Galang, dapat menjadi solusi.
Indonesia dapat menyediakan pulau tidak berpenghuni bagi pengungsi Rohingya,
sementara masyarakat dan organisasi internasional menyediakan dana
pembangunan infrastruktur dan dana untuk kehidupan sehari-hari para pengungsi
hingga mereka dikembalikan (repatriation) atau dimukimkan ke negara penerima.
Agar
Indonesia tidak terbebani, pemerintah harus terus mengangkat masalah
pengungsi Rohingya sebagai masalah internasional. Salah satunya adalah mengajak masyarakat
internasional, PBB, dan ASEAN, untuk meminta Myanmar bertanggung jawab
terhadap kaum Rohingya. Pemerintah Myanmar sudah sepatutnya diminta untuk
tidak menjalankan kebijakan diskriminatif kepada kaum Rohingya yang
mengakibatkan mereka ingin keluar dari Myanmar.
Pemerintah
perlu juga mengimbau agar publik di Indonesia tidak menaruh iba atau
solidaritas yang berlebihan terhadap kaum Rohingya. Mereka harus memercayakan
penanganan pengungsi Rohingya kepada pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar