Sabtu, 23 Mei 2015

Ancaman Serius Pemalsuan Pangan

Ancaman Serius Pemalsuan Pangan

Purwiyatno Hariyadi  ;   Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
KOMPAS, 23 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Media baru-baru ini mengangkat berita yang memprihatinkan: beredar beras yang diduga dicampur bahan sintetis (Kompas, 20/5/2015). Bahan sintetis tersebut dibuat antara lain dari plastik dan atau resin sintetis.

Intinya, beras tersebut diduga beras palsu, yang tentunya sangat meresahkan masyarakat. Identifikasi beras ”sintetis” saat ini sedang dilakukan oleh laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Sucofindo (Kompas, 21/5/2015).

Kasus pemalsuan pangan perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah mengingat perkembangan globalisasi serta semakin meningkatnya permintaan terhadap produk pangan yang telah memicu peningkatan kasus pemalsuan pangan secara global.

Pustaka pangan internasional menyebut pemalsuan pangan ini food fraud, food adulteration, dan food counterfeiting. Pemalsuan pangan mencakup upaya sengaja mengganti, menambah, mengubah atau merepresentasikan secara keliru suatu bahan dan/atau produk pangan, kemasan pangan, serta memberikan informasi tidak benar pada label demi keuntungan ekonomi.

The US Pharmacopeial Convention (USP, lembaga ilmiah nonprofit yang fokus pada standar, identitas, mutu dan kemurnian obat, pangan dan suplemen) membatasi pemalsuan sebagai ”the fraudulent addition of nonauthentic substances or removal or replacement of authentic substances without the purchaser's knowledge for economic gain to the seller”.

Basis data USP mencatat 1.300 kasus pemalsuan pangan terjadi 1980-2010 (Moore et al. April 5, 2012, Journal of Food Science). Susu, minyak sayur, madu, dan rempah-rempah adalah produk pangan yang paling sering dipalsukan. Menurut data USP 2011-2012, ada tambahan 800 kasus baru pemalsuan pangan, sehingga terkumpul lebih dari 2.000 kasus. Jenis produk pangan yang rentan pemalsuan masih sama, plus produk seafood (ikan dan udang) dan jus lemon.

Ancaman serius

Kasus pemalsuan pangan pernah menghebohkan dunia. Tahun 2004 di Tiongkok terjadi pemalsuan susu dengan cara diencerkan (ditambahkan air dan pewarna). Kasus ini terbongkar karena menyebabkan kematian 13 bayi akibat kekurangan gizi.

Masih terjadi di Tiongkok, pemalsuan susu formula dilakukan dengan menambahkan melamin agar seolah-olah susu mengandung protein lebih tinggi. Skandal melamin ini juga menghebohkan Tiongkok karena menyebabkan kematian 6 bayi dengan kerusakan ginjal dan 54.000 bayi harus dirawat di rumah sakit. Pemalsuan ini juga berdampak luas karena produk susu formula tersebut dipasarkan global.

Di Eropa, skandal pemalsuan juga terjadi. Tahun 2013 ditemukan pencampuran daging sapi dengan daging kuda (yang harganya lebih murah dibandingkan daging sapi) di Irlandia dan Inggris. Dampaknya merugikan ekonomi cukup besar bagi industri daging di Inggris.

Walaupun daging kuda juga merupakan daging yang biasa dikonsumsi dan tidak menyebabkan masalah kesehatan, daging kuda dianggap tidak layak dan tabu untuk dikonsumsi oleh sebagian masyarakat, termasuk di Irlandia dan Inggris.

Di Indonesia, kasus pemalsuan pangan antara lain daging gelonggongan, yaitu daging dari sapi yang sebelum disembelih dipaksa minum berlebihan untuk meningkatkan massa daging, madu palsu, biskuit dan cokelat yang mengandung ganja, serta bakso daging sapi yang diganti dengan daging celeng.

Walaupun awalnya bermotif ekonomi, dampaknya buruk terhadap kesehatan publik. Pemalsuan susu formula di Tiongkok adalah contohnya.

Beras sintetis dinyatakan bisa menyebabkan sakit perut, dan belum lagi dampak jangka panjangnya jika ternyata beras tersebut memang mengandung bahan yang tidak sesuai standar keamanan pangan (non-food grade) bahkan berbahaya.

Perlu antisipasi

Pemalsuan pangan jelas merupakan kegiatan curang pada perdagangan yang tidak saja bermuara pada masalah ekonomi, tetapi juga kesehatan publik. Pemalsuan pangan yang sering menggunakan bahan-bahan yang tidak umum untuk pangan membuat upaya merancang metode deteksi untuk mengetahui pemalsuan sulit dilakukan.

Kenyataannya, kasus pemalsuan ini terus meningkat. Hal ini tentu berkaitan dengan meningkatnya permintaan terhadap produk pangan sehingga memicu pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan celah-celah regulasi dan pengawasan.

Sejumlah negara di dunia menyadari bahwa pemalsuan pangan merupakan ancaman serius bagi keamanan pangan. Amerika Serikat adalah salah satu contoh negara yang telah mengantisipasi ancaman pemalsuan pangan dengan merombak total system pengawasan pangannya. AS meluncurkan The FDA Food Safety Modernization Act (FSMA) yang ditandatangani Presiden Barack Obama pada 4 Januari 2011. Intinya, terjadi pergeseran fokus dari penanganan kontaminan (senyawa dengan potensi bahaya yang tanpa sengaja mencemari produk pangan) dan adulteran (senyawa dengan potensi bahaya yang secara sengaja ditambahkan pada produk oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab) ke upaya pencegahan terjadinya kontaminasi dan adulterasi.

Upaya pencegahan perlu dituangkan dalam program yang jelas dan teruji efektivitasnya. Melengkapi fokus pada upaya pencegahan ini, FSMA juga lebih memberikan perhatian pada proses monitoring dan inspeksi pada proses produksi pangan, di samping pada pangan beredar.

Di Indonesia, sistem pengawasan pangan jelas perlu diperbaiki dan disesuaikan. Sampai saat ini, penekanan pengawasan pangan masih terlalu fokus pada pre-market evaluation; melalui proses pendaftaran contoh produk pangan yang akan diedarkan sebelum mendapat izin edar. Sayang—dengan alasan klasik keterbatasan sumber daya—upaya monitoring dan inspeksi pada fasilitas dan proses produksi pangan serta evaluasi terhadap pangan beredar (post-market evaluation) masih sangat terbatas dilakukan. Itu pun biasanya hanya fokus pada pangan olahan. Kebijakan dan upaya yang bersifat preventif belum banyak.

Oleh karena itu, pemerintah perlu segera mengupayakan penanggulangan pemalsuan pangan masuk agenda pembahasan mengenai pembentukan kelembagaan pangan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Bab XII, Pasal 126) menyatakan, ”Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden”.

Antisipasi ini menjadi semakin penting mengingat motif curang secara ekonomi bukanlah satu-satunya motif pemalsuan pangan. Pemalsuan pangan dengan motif non-ekonomi bisa datang dari mana saja dan tidak hanya berkaitan dengan kewajiban negara mewujudkan ketersediaan pangan yang bermutu bagi penduduknya, tetapi juga bisa memengaruhi keamanan dan ketahanan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar