Kamis, 21 Mei 2015

Kebangkitan Orang Muda

Kebangkitan Orang Muda

Ferdinand Hindiarto  ;   Direktur Pusat Psikologi Terapan;
Dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang
SUARA MERDEKA, 20 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TIAP kali memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), selalu muncul harapan. Kebangkitan adalah perubahan ke arah yang lebih baik. Suatu momentum untuk meninggalkan situasi lama, dan menatap situasi baru. Situasi yang dipenuhi dengan spirit dan semangat tinggi, serta keinginan kuat untuk mewujudkan cita-cita. Orang-orang muda yang penuh energi dan imaginasi kuat.

Mungkin juga terjadi perdebatan dan pertentangan sengit, namun hal itu akan kalah dari spirit dan cita-cita yang sama. Tantangan dan kesulitan pasti selalu ada, namun tak mampu mengadang semangat yang menggelora. Kira-kira demikianlah hal yang dapat diimajinasikan saat para para pendiri Boedi Oetomo menyatakan tekadnya tahun 1908.

Masih relevankah jika saat ini kita melihat kembali pengalaman 1908 yang menjadi momentum emas kemerdekaan bangsa ini? Masih sangat relevan dan semestinya menjadi permenungan segenap anak bangsa ini, dan tidak terjebak hanya pada seremonial belaka. Setidaktidaknya ada dua alasan yang mendasari. Pertama; kebangkitan memang seharusnya menjadi milik orang muda.

Sejarah bangsa ini telah membuktikan, mulai dari gerakan Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, kelahiran Orde Baru 1966 dan gerakan reformasi 1998, dengan pelaku orang-orang muda. Kedua, karena kebangkitan sejatinya adalah mencipta sebuah perubahan maka diperlukan energi sangat besar untuk memulai dan menggerakkannya.

Energi yang besar itulah yang selalu dimiliki oleh orang-orang muda. Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, orang-orang mudalah yang selalu menginisiasi perubahan. Tentu tanpa mengesampingkan tokoh-tokoh yang lebih tua.

Dalam konteks zaman saat ini, tentu pergerakan-pergerakan orang muda semestinya tetap menjadi lokomotif perubahan. Namun kita harus mengakui bahwa begitu banyak perbedaan situasional dan kontekstual pada diri orang muda saat ini dibanding pada masa-masa perjuangan.

Banyak fakta tentang karakter dan perilaku orang muda zaman ini yang begitu berbeda dari karakter orang muda pada zaman perjuangan. Orang muda zaman ini seringkali mendapat stempel sebagai generasi digital yang dicirikan dengan keberlimpahan informasi sebagai akibat kemajuan teknologi informasi.

Namun seringkali keberlimpahan informasi itu tidak dapat dimanfaatkan oleh sebagian besar orang muda untuk mengembangkan diri dan membangun karakter yang kuat. Energi yang besar jika disinergikan dengan keberlimpahan informasi tentu akan menghasilkan kekuatan yang sangat besar untuk mengubah bangsa ini menjadi lebih baik.

Namun acap yang terjadi justru sebaliknya. Fenomena penyalahgunaan narkoba, gaya hidup hedonis, seks pranikah, pola pikir dan mental instan adalah beberapa contoh yang menggambarkan hal itu. Dimensi karakter yang lebih berkembang pada orang muda saat ini lebih pada dimensi personal individual.

Kemajuan teknologi informasi kadang malah menciptakan orang-orang autis, yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Sebaliknya dimensi-dimensi sosialnya cenderung meredup.

Alih-alih membangun nasionalisme atau cinta bangsa, kepedulian terhadap apa yang terjadi di masyarakat saja kadang jarang dimiliki oleh orang muda zaman ini. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Yang utama ìudara moralî yang tidak sehat. Orang-orang muda zaman ini tiap hari menghirup udara moral yang kurang menyehatkan perkembangan karakternya.

Udara yang mereka hirup dipenuhiunsur kekerasan, parade korupsi, dagelan penegakan hukum, sikap hidup konsumtif, gaya hidup hedonis, dan tipuan kenikmatan hidup yang dibeberkan oleh media dan para selebritis. Ada dua hal yang paling masuk akal dilakukan saat ini.

Pertama; meredefinisi pendidikan supaya kembali pada hakikatnya. Tidak perlu atmosfer perjuangan seperti dalam perjalanan sejarah. Namun sekolah dan kampus seharusnya menjadi sebuah setting hidup yang dipenuhi udara moral yang sehat. Karakter kuat dari orang muda harus dibangun sejak anak-anak masuk dan selama mereka berdinamika di sekolah dan kampus.

Kurikulum harus dirombak agar mereka belajar untuk hidup bukan belajar kognitif untuk mengejar kelulusan dan ijazah. Pendidik harus menjadi sosok model sekaligus teman dalam mengembangkan diri. Pendidik jangan sekadar mentransfer ilmu pengetahuan, namun harus bisa menjadi mitra siswa dalam membangun karakternya. Pendidik bukanlah karyawan pabrik manufaktur yang memproduksi lulusan.

Kedua; keluarga dikembalikan pada hakikatnya sebagai basis utama pengembangan karakter anak. Orang tua harus menjadi sosok model yang utama bagi anaknya dalam pengembangan karakter dirinya. Orang tua seharusnya juga menjadi sahabat bagi anaknya, dan tempat yang paling nyaman bagi anak untuk berbagi segala pengalaman yang ditemuinya.

Bila tiap hari mereka menghirup udara moral yang segar dan sehat maka kita tidak perlu khawatir ketika mereka berada dalam lingkungan masyarakat yang seringkali memproduksi udara tidak sehat. Dengan demikian, mereka bisa tumbuh dan berkembang menjadi sosok-sosok orang muda yang berkarakter kuat sebagai lokomotif perubahan supaya kita menjadi bangsa yang besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar