Rekayasa
Konflik pada Pilkada Serentak
Bambang Soesatyo ; Sekretaris
Fraksi Partai Golkar; Anggota Komisi III DPR
|
SUARA MERDEKA, 20 Mei 2015
KETIDAKPASTIAN
sudah membayangi rencana pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015. Pesta
demokrasi tingkat daerah ini belum tentu berjalan mulus karena sudah dihantui
konflik akar rumput.
Kemunculan
potensi konflik itu karena ada peraturan yang mendiskreditkan partai politik
(parpol) yang sedang dilanda konflik. Pelaksanaan pilkada serentak
dijadwalkan 9 Desember 2015. Hingga pertengahan Mei 2015, masih terbentang
sejumlah kerumitan persoalan.
Padahal
mulai 26 Juli 2015 proses pendaftaran calon peserta pilkada sudah dimulai.
KPU sudah merancang peraturan KPU (PKPU) tentang syarat dan tata cara
pendaftaran calon peserta. Draf PKPU tentang pencalonan inilah yang belum
bisa disepakati.
Sebelumnya,
KPU mengumumkan draf PKPU yang mensyaratkan parpol yang bersengketa di
pengadilan harus sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau sudah islah sebelum
pendaftaran pilkada. Namun, DPR meminta KPU menyertakan putusan sementara
pengadilan sebagai syarat mengikuti pilkada.
Permintaan
DPR ini dikemukakan dalam rapim DPR, Komisi II DPR dengan KPU dan Kemendagri
Senin (4/5). Permintaan ini sejalan dengan rekomendasi Panitia Kerja (Panja)
Komisi II DPR. Panja mengeluarkan tiga rekomendasi kepada KPU dalam membuat
PKPU tentang pencalonan kepala daerah (KDH) bagi parpol yang bersengketa.
Pertama;
KPU berkoordinasi dengan Kemenkumham untuk memberikan salinan SK DPP partai
yang mendapatkan pengesahan. Jika SK itu bermasalah karena ada gugatan di
pengadilan maka KPU menunggu putusan inkrach pengadilan. Kedua; mendorong
partai yang bersengketa untuk islah.
Ketiga;
bila sampai batas waktu pendaftaran belum juga islah, yang digunakan sebagai
pijakan adalah putusan terakhir dari pengadilan. Namun, KPU sudah menunjukkan
kecenderungan hanya menerima kepengurusan yang mempunyai keputusan hukum
inkrach dari pengadilan. Jika tidak tercapai sampai pendaftaran, KPU menolak
dua kubu kepengurusan di parpol tersebut.
Mengabaikan Rekomendasi
PKPU
tentang pencalonan itu tentu sangat mengecewakan mengingat KPU berarti
melakukan pelecehan atau contempt of
parliament. Pasalnya, KPU telah mengabaikan rekomendasi Panja yang
disetujui dalam sidang paripurna. Dari rekomendasi Panja itu, sangat jelas
bahwa DPR telah memberikan jalan keluar kepada KPU dalam menghadapi konflik
parpol.
DPR pada
prinsipnya menghendaki seluruh parpol peserta Pemilu 2014 harus ikut pilkada.
Karena itulah DPR merekomendasikan tiga poin tersebut. Andai KPU menolak, DPR
akan bertindak sesuai mekanisme yang diatur dalam UU MD3.
KPU
tidak boleh berpolitik dan melakukan tindakan pesanan kelompok tertentu namun
harus berpijak pada UU. Tidak mengherankan jika mayoritas fraksi di DPR tidak
akan tinggal diam menyikapi kecerobohan KPU itu. Salah satu agenda yang akan
disiapkan adalah meminta BPK mengaudit investigasi atas penggunaan anggaran
pemilu 2014 dan persiapan pilkada serentak 2015 dan 2016.
Mayoritas
fraksi DPR pun mewacanakan revisi terbatas terhadap UU Pilkada dan UU Parpol.
Rencananya, pembahasan revisi akan dimulai setelah masa sidang IV DPR, 18 Mei
2015. Adapun Fraksi PPP dan Fraksi PDIP menolak wacana revisi. Fraksi-fraksi
DPR menilai KPU telah memaksakan kehendak, dan juga mendiskreditkan parpol
yang tengah dilanda konflik.
Bila
massa parpol merasa didiskreditkan karena tidak boleh mengikuti Pilkada 2015,
beresiko menimbulkan gejolak. Kemarahan basis massa parpol di setiap daerah
dikhawatirkan menimbulkan ekses dalam bentuk tindakan anarkis.
Kearifan
dan kehati-hatian KPU mempersiapkan pilkada serentak 2015 menjadi faktor
signifikan yang menentukan kondusif tidaknya jagat perpolitikan nasional
mulai akhir Juli hingga akhir 2015. Indikatornya akan terlihat pada paruh kedua
Mei 2015, ketika pemerintah harus menyikapi wacana revisi terbatas terhadap
UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta UU
Nomor 2/2011 tentang Partai Politik.
Sikap
awal pemerintah sudah diperlihatkan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo yang tidak
setuju dengan wacana revisi terbatas itu, dan justru menyarankan KPU
berkonsultasi ke MA, jika masalahnya hanya terkait syarat parpol yang tengah
bersengketa internal dalam mengajukan pasangan calon.
Opsi
yang ditawarkan Mendagri adalah KPU bisa merevisi tahapan dengan memundurkan
pencalonan, dan memangkas jadwal kampanye dari 3 bulan menjadi 2 bulan. Bagi
Mendagri, revisi tahapan Pilkada cukup efisien dan efektif, serta bisa
meminimalisasi problem hukum serta risiko konflik horizontal.
Faktanya,
draf PKPU tentang pencalonan KDH itu sudah mengeskalasi sengketa internal
Golkar. Menjadikan SK Menkumham sebagai pijakan, kubu Munas Ancol pimpinan
Agung Laksono mengklaim paling berhak mengikuti pilkada. Padahal SK itu belum
berlaku (ditunda) karena ada putusan sela PTUN. Klaim Agung Laksono cs itu
pun sudah menimbulkan ekses.
Ada
laporan dari sejumlah daerah mengenai aktivitas tercela beberapa elite Partai
Golkar. Kepada bakal calon peserta pemilihan KDH, elite itu menawarkan
rekomendasi partai dengan meminta imbalan. Padahal, kebijakan Partai Golkar
sejak kepemimpinan Jusuf Kalla hingga Aburizal Bakrie (ARB) saat ini melarang
pungutan atau mahar bagi calon peserta pemilihan KDH. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar