Jurus
Pamungkas agar tidak Impor Beras
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan
Globalisasi
|
MEDIA INDONESIA, 19 Mei 2015
PENYERAPAN gabah/beras petani
domestik oleh Bulog tidak menunjukkan tanda tanda perbaikan. Sampai 13 Mei,
pengadaan beras oleh Bulog baru mencapai 750 ribu ton. Tambahan pengadaan
beras amat lambat. Jika kondisi itu terus berlanjut, target pengadaan beras 2,7
juta ton tahun ini tidak akan tercapai. Akibatnya, cadangan beras pemerintah
sebesar 1,5 juta ton tidak akan terpenuhi, sehingga pasar mudah sekali
memanas. Jika tak ada perbaikan penyerapan, ujung-ujungnya akan kembali impor
beras.
Jika itu terjadi, bukan saja
ironis, melainkan juga absurd. Impor beras dilakukan bukan karena produksi
beras domestik gagal, melainkan karena pengadaan beras Bulog tidak mencapai
target. Produksi padi 2014 mencapai 70,83 juta ton gabah kering giling (GKG),
setara 41,789 beras (rendemen 59%). Dengan angka konsumsi beras per kapita
tertinggi, 139 kg per tahun, konsumsi 250 juta warga Indonesia hanya 34,75
juta ton. Jika data ini benar, tentu masih ada surplus yang besar. Surplus
semakin besar bila perkiraan produksi padi 2015 oleh Kementerian Pertanian
tercapai 73 juta ton padi.
Penyerapan Bulog rendah karena
sampai saat ini, harga gabah/beras masih di atas harga pembelian pemerintah
(HPP), seperti tertuang di Inpres Perberasan No 5/2015, yakni gabah kering
panen Rp3.700/kg, gabah kering giling Rp4.650/kg, dan beras (kualitas medium)
Rp7.300/ kg. Padahal, sesuai inpres itu, Bulog harus membeli gabah/beras
sesuai HPP. Di sisi lain, harga beras kualitas serupa di pasaran masih tinggi
Rp9.908/kg. Bahkan, di Jakarta, harganya mencapai Rp10.720/kg (http://www.kemendag.go.id, diakses 17 Mei).
Tanpa exit policy, penyerapan
gabah/ beras Bulog tidak akan membaik.
Menjadi solusi?
Tidak ingin kejadian ini
terulang, Kementerian Pertanian mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No
21/PP 200/4/2015 tentang Pedoman Harga Pembelian Gabah dan Beras di Luar
Kualitas Pemerintah. Permentan yang terbit 8 April itu membuka peluang Bulog
membeli gabah/beras baik di atas maupun di bawah HPP di Inpres No 5/2015.GKP
bisa dibeli dalam rentang harga Rp3.300 hingga Rp4.600/ kg, sedangkan beras
bisa dibeli dengan empat kualitas, yakni Premium I Rp7.700/kg, Premium II
Rp7.500/kg, Medium Rp7.300/kg, dan kualitas rendah Rp7.150/kg.Apakah
Permentan ini bisa menjadi solusi? Akankah cadangan beras aman? Permentan seperti
ini pernah diterbitkan pada 2011.
Ternyata, pengadaan beras Bulog saat itu
tetap rendah, yaitu 1,73 juta ton.
Sejatinya, Permentan itu tak
ubahnya jalur komersial yang biasa dipakai Bulog untuk membeli beras di atas HPP.
Saat dipimpin Mustafa Abubakar, pada 2009, Bulog merugi Rp200 miliar karena
membeli beras besar-besaran melalui jalur komersial (Bisnis Indonesia, 28/3/2010). Sebetulnya, jalur komersial dan
Permentan itu tidak jauh berbeda dengan berjudi, yakni ada peluang untung,
tapi bisa pula merugi. Masalahnya, sebagai Perum, tugas utama direksi Bulog
ialah mencari laba, sehingga bisa menyetorkan keuntungan pada negara. Jika
merugi, direksi bisa dipecat setiap saat karena dianggap tidak perform.
Dengan menggabungkan dua fungsi
Bulog, antara tujuan memupuk laba dan fungsi sosial, akan menimbulkan
komplikasi dan konflik kepentingan. Kedua tujuan itu sulit bersatu, karena fungsi
sosial kebijakan sering kali bersifat sekunder. Karena sifatnya sekunder,
misi kebijakan yang bersifat sosial, seperti menstabilkan harga gabah/beras,
menyalurkan raskin, menyerap beras/gabah petani dan menjaga stok pangan
nasional, sering kali jadi kambing hitam. `Memanen beras di pasar' alias
impor dan bukan panen di lahan, selalu jadi jurus pamungkas. Kita tidak
pernah memperhitungkan efek berantai impor beras.
Mengimpor beras dari luar
negeri, walaupun dengan harga yang lebih murah ke timbang harga beras petani
domestik, akan menimbulkan dampak sosial berbeda. Bedanya, kalau mengimpor
beras dari luar negeri akan menimbul kan efek berantai di luar negeri, yaitu
apa yang dalam konsep ekonomi disebut efek pengganda (multiplier effect). Sebaliknya, jika membeli beras petani
domestik meskipun lebih mahal, akan menciptakan efek berantai di dalam
negeri. Efek berantai itu dalam bentuk konsumsi, pendapatan, dan penyerapan
tenaga kerja (Arief, 2001).
Inilah bedanya efisiensi
komersial dan efisiensi sosial. Mengapa Jepang begitu protektif pada beras
produksi petaninya? Itu karena efisiensi sosial. Jika tidak ingin hal itu
terus berulang, setidaknya ada dua jalan keluar.
Pertama, mendesain ulang kelamin
Bulog. Bulog dipilah dua, yaitu BUMN yang bergerak di jasa logistik dan
lembaga yang berfungsi sebagai Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK)
murni yang dibiayai APBN. Lembaga pertama murni mencari laba, sedangkan yang
kedua bertugas mengelola cadangan pangan pemerintah dan mengoordinasikan
pengelolaan cadangan pangan masyarakat, di samping tugas pokok merumuskan
kebijakan, memonitor, dan mengawasi cadangan pangan masyarakat. Solusi itu
perlu waktu. Masalahnya, kita perlu solusi segera guna mencegah `panen di
pasar'.
Cadangan pemerintah Ini bisa ditempuh melalui cara kedua, yaitu
memerintahkan Bulog melakukan pembelian gabah/beras petani, berapa pun
harganya. Jika harga gabah/beras di atas HPP dan di kemudian hari Bulog
merugi, ini konsekuensi yang given
sebagai pelaksanaan tugas sosial dari pemerintah. Bulog, terutama direksi,
tidak bisa serta-merta dinilai tidak perform karena tugas-tugas public service obligation itu.
Kerugian terjadi karena Bulog melakukan tugas-tugas sosial, yaitu tugas
negara (pemerintah) yang dialihkan ke Bulog.
Ada sejumlah alasan untuk menguat
kan argumen ini. Pertama, dengan membeli gabah/beras petani akan menutup
peluang impor. Itu penting karena impor sama saja menyubsidi petani negara
lain. Kedua, ketika cadangan beras pemerintah aman (1,5 juta ton), pasar
terisolasi dari gejolak/spekulasi. Kalaupun ada yang mencoba main-main guna
mengail air keruh, misalnya, pemerintah memiliki cadangan yang lebih dari
cukup untuk intervensi harga melalui operasi pasar.
Ketiga, ketika stabilitas
harga terjaga, potensi ledakan inflasi akibat instabilitas harga beras
tereduksi. Keempat, stabilisasi harga beras tak hanya menguntungkan produsen
dan konsumen, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi, mendongkrak
investasi di sektor beras/padi dan sektor lain yang terkait. Bahkan,
stabilisasi akan menjungkit pasar tenaga kerja dan meredam keresahan sosial.
Rezim yang ingin langgeng tentu tidak akan menyia-nyiakan peran penting
seperti itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar