Urgensi
Pembiayaan Infrastruktur Indonesia
Toto Pranoto ; Direktur Lembaga Manajemen FEUI
|
MEDIA INDONESIA, 19 Mei 2015
PEMBICARAAN pembangunan
infrastruktur akan lebih mengena bila kita memahami pentingnya peran
infrastruktur bagi pembangunan nasional. Pembangunan infrastruktur tidak
hanya sekadar membangun atau menyediakannya, tetapi juga harus ada
kontribusinya pada peningkatan pembangunan nasional. Sejumlah kajian
menunjukkan bahwa penyediaan infrastruktur berdampak positif pada pembangunan
nasional--Calderon dan Servén (2004), Donaldson (2010)-menunjukkan penyediaan
infrastruktur dapat mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi, produktivitas,
dan perdagangan.
Menurut laporan IMF (2014),
setiap US$1 investasi pada infrastruktur akan meningkatkan output US$3.Dengan
kata lain, kajian ini menunjukkan bahwa investasi infrastruktur dapat
menimbulkan multiplier effect
sebesar tiga kali lipat. Sebaliknya, buruknya kondisi infrastruktur juga akan
berpengaruh negatif terhadap pembangunan secara keseluruhan.
Bagaimana dengan infrastruktur
di Indonesia? World Economic Forum, dalam the
Global Competitiveness Report 2013 mengeluarkan peringkat kualitas
infrastruktur dari 144 negara yang disurvei. Beberapa variabel yang dilihat,
antara lain, kualitas jalan, pelabuhan, maupun kualitas penyediaan listrik.
Hasil survei tersebut menempatkan Indonesia pada posisi 92 dengan angka 3,7
(skala 1-7). Dalam hal ini, kualitas infrastruktur Indonesia masih relatif
tertinggal jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya, seperti Singapura,
Jepang, Tiongkok, India, dan Arab Saudi. Bahkan, kualitas infrastruktur
Indonesia kalah jika dibandingkan dengan Afrika Selatan yang menduduki posisi
58 dengan nilai 4,5.
Benchmark pembiayaan infrastruktur
Pengeluaran untuk menyediakan
infrastruktur dari APBN pada 2013 hanya berkisar 2,3% dari produk domestik
bruto, atau sebesar Rp203 triliun. Pada tahun yang sama, total anggaran untuk
pembiayaan infrastruktur dari berbagai sumber pendanaan, seperti APBN, APBD,
BUMN, dan swasta ialah sebesar Rp438 triliun, atau 4,72% dari produk domestik
bruto, merujuk pada DJA, DJPK Kementerian Keuangan dan KPS Bappenas (2014).
Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, anggaran yang dialokasikan
untuk membangun infrastruktur di Indonesia belum memadai. Thailand, misalnya,
mengeluarkan belanja infrastruktur sebesar 17% dari produk domestik bruto dan
Vietnam sebesar 12 % dari produk domestik bruto.
Fenomena yang menarik untuk
diamati ialah perkembangan porsi sumber dana masing-masing ter hadap total
investasi infrastruktur.Data menunjukkan porsi dana APBN mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, dari 30% pada 2010 menjadi 47% pada 2013.
Porsi dana dari APBD dan swasta terus menurun dari tahun ke tahun, sementara
porsi dana dari BUMN tidak berubah, yaitu 18%. Hal ini menunjukkan
ketergantungan pembangunan infrastruktur dari dana APBN semakin tinggi.
Untuk mempercepat pembangunan
infrastruktur di masa mendatang, Bappenas dalam RPJMN 2015-2019 memperkirakan
setidaknya dibutuh kan anggaran sebesar Rp5.519 triliun. Dalam proyeksi ini,
infrastruktur di bidang penyediaan listrik menempati posisi tertinggi dengan
proyeksi kebutuhan dana sebesar Rp980 triliun. Kebutuhan dana pengembangan
infrastruktur transportasi laut menduduki urutan kedua dengan kebutuhan Rp900
triliun, sementara untuk pembangunan jalan diperkirakan mencapai Rp805
triliun.
Dari mana dana tersebut bisa
dikumpulkan? Dalam satu kesempatan forum FGD yang dilaksanakan LMFEUI (2014),
diperkirakan kebutuhan dana infrastruktur sebesar Rp5.519 triliun tersebut
diperoleh dari APBN sebesar Rp2.215 triliun, APBD sebesar Rp545 trillun, dan
BUMN sebesar Rp1.066 triliun. Masih terdapat Rp1,7 triliun gap dana yang
harus diisi. Alternatif apalagi yang memungkinkan?
Apabila potensi dana dari
perbankan, asuransi, serta dana pensiun dapat dioptimalkan, diperkirakan
masih ada potensi sebesar Rp1.192 triliun. Gap kebutuhan dana yang tersisa
sebesar sekitar Rp500 triliun diharapkan dapat dipenuhi dengan adanya lembaga
pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Perlu diperhatikan bahwa skema
pembiayaan infrastruktur yang berlangsung saat ini ada tiga macam, yaitu
pembiayaan melalui APBN, skema KPS (public
private partnership), dan penugasan pada BUMN. Sementara itu, fakta
menyatakan saat ini skema KPS belum menunjukkan success story, sehingga tidak dapat menjadi solusi atas finansial
gap dalam penyediaan infrastruktur.
Sejumlah negara seperti Brasil
dan India mempunyai lembaga pembiayaan infrastruktur yang lebih established.
Brasil memiliki lembaga pembiayaan dengan nama The Brazilian Development Bank (BNDES) yang didirikan pada 1952.
Sementara India memiliki IIFCL (India Infrastructure Finance Company
Limited) yang 100% dimiliki oleh pemerintah India.
Lembaga pembiayaan ideal
Saat ini, Indonesia telah memiliki
BUMN PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang didirikan sejak 2009, untuk
pembiayaan infrastruktur. Namun, karena kapasitas modal yang terbatas,
kemampuan pembiayaan juga relatif rendah. Demikian pula Pusat Investasi
Pemerintah (PIP) yang dikelola Kemenkeu, memiliki kinerja yang tidak
memuaskan karena kendala institusi dan regulasi yang tidak jelas .
Karena itu, ide untuk
menggabungkan kedua lembaga ini menjadi satu akan memiliki dampak yang lebih
baik. Paling tidak dari segi modal, PT SMI mendapatkan tambahan penyertaan
modal negara sebesar Rp20,3 triliun yang terdiri dari penambahan murni Rp2
triliun (PMN) pada 2015 dan pengalihan aset PIP sebesar Rp18,3 triliun.
Seperti yang dilakukan di
Brasil, PT SMI bisa dikembangkan sebagai holding
company dengan didukung anak perusahaan yang melakukan fungsi perbankan,
pengelolaan aset, asuransi, dan sekuritas. Sebagai induk perusahaan, PT SMI
dapat menentukan rule of the game dalam
hal pembiayaan dan penjaminan yang ke mudian dieksekusi anak perusahaan, sesuai
fungsi masing-masing. Selain itu, perusahaan dapat melakukan fungsi penilaian
kelayakan proyek, analisis risiko sebagai referensi skema KPS untuk
mendapatkan jaminan pemerintah. Aliran dana di luar APBN dianggap lebih
fleksibel untuk pembiayaan proyek infrastruktur, seperti pinjaman bilateral
atau multilateral jika dibandingkan dengan instrumen obligasi pemerintah yang
masuk melalui mekanisme belanja pemerintah.
Beberapa prasyarat yang
diperlukan untuk revitalisasi PT SMI sebagai holding company ialah: 1) jaminan independensi kebijakan dalam
hal penilaian pembiayaan untuk menghindari credit exposure, moral hazard, dan rent-seeking (mafia proyek); 2) transparansi penilaian dalam
rangka pembiayaan dan penjaminan melibatkan unsur independen 3) jaminan pemerintah
untuk instrumen pembiayaan; 4) insentif untuk menghindari crowding-out dana investasi dengan
mereduksi biaya kapital.
Dalam jangka panjang diharapkan
PT SMI bisa berevolusi menjadi lembaga pembiayaan pembangunan Indonesia,
seperti di Brasil dengan BNDES-nya. Mimpi pembangunan infrastruktur bisa
segera direalisasikan bila dukungan pemerintah dan DPR bisa segera
dituntaskan dalam bentuk UU lembaga pembiayaan pembangunan. Apabila Tiongkok
sudah bergerak jauh dengan pembentukan Bank Infrastruktur Asia, pemerintahan
Presiden Jokowi harus `terbang' menyelesaikan pembentukan lembaga krusial
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar