Selasa, 19 Mei 2015

Urgensi Pembiayaan Infrastruktur Indonesia

Urgensi Pembiayaan Infrastruktur Indonesia

Toto Pranoto   ;  Direktur Lembaga Manajemen FEUI
MEDIA INDONESIA, 19 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PEMBICARAAN pembangunan infrastruktur akan lebih mengena bila kita memahami pentingnya peran infrastruktur bagi pembangunan nasional. Pembangunan infrastruktur tidak hanya sekadar membangun atau menyediakannya, tetapi juga harus ada kontribusinya pada peningkatan pembangunan nasional. Sejumlah kajian menunjukkan bahwa penyediaan infrastruktur berdampak positif pada pembangunan nasional--Calderon dan Servén (2004), Donaldson (2010)-menunjukkan penyediaan infrastruktur dapat mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi, produktivitas, dan perdagangan.

Menurut laporan IMF (2014), setiap US$1 investasi pada infrastruktur akan meningkatkan output US$3.Dengan kata lain, kajian ini menunjukkan bahwa investasi infrastruktur dapat menimbulkan multiplier effect sebesar tiga kali lipat. Sebaliknya, buruknya kondisi infrastruktur juga akan berpengaruh negatif terhadap pembangunan secara keseluruhan.

Bagaimana dengan infrastruktur di Indonesia? World Economic Forum, dalam the Global Competitiveness Report 2013 mengeluarkan peringkat kualitas infrastruktur dari 144 negara yang disurvei. Beberapa variabel yang dilihat, antara lain, kualitas jalan, pelabuhan, maupun kualitas penyediaan listrik. Hasil survei tersebut menempatkan Indonesia pada posisi 92 dengan angka 3,7 (skala 1-7). Dalam hal ini, kualitas infrastruktur Indonesia masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang, Tiongkok, India, dan Arab Saudi. Bahkan, kualitas infrastruktur Indonesia kalah jika dibandingkan dengan Afrika Selatan yang menduduki posisi 58 dengan nilai 4,5.

Benchmark pembiayaan infrastruktur

Pengeluaran untuk menyediakan infrastruktur dari APBN pada 2013 hanya berkisar 2,3% dari produk domestik bruto, atau sebesar Rp203 triliun. Pada tahun yang sama, total anggaran untuk pembiayaan infrastruktur dari berbagai sumber pendanaan, seperti APBN, APBD, BUMN, dan swasta ialah sebesar Rp438 triliun, atau 4,72% dari produk domestik bruto, merujuk pada DJA, DJPK Kementerian Keuangan dan KPS Bappenas (2014). Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, anggaran yang dialokasikan untuk membangun infrastruktur di Indonesia belum memadai. Thailand, misalnya, mengeluarkan belanja infrastruktur sebesar 17% dari produk domestik bruto dan Vietnam sebesar 12 % dari produk domestik bruto.

Fenomena yang menarik untuk diamati ialah perkembangan porsi sumber dana masing-masing ter hadap total investasi infrastruktur.Data menunjukkan porsi dana APBN mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dari 30% pada 2010 menjadi 47% pada 2013. Porsi dana dari APBD dan swasta terus menurun dari tahun ke tahun, sementara porsi dana dari BUMN tidak berubah, yaitu 18%. Hal ini menunjukkan ketergantungan pembangunan infrastruktur dari dana APBN semakin tinggi.

Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di masa mendatang, Bappenas dalam RPJMN 2015-2019 memperkirakan setidaknya dibutuh kan anggaran sebesar Rp5.519 triliun. Dalam proyeksi ini, infrastruktur di bidang penyediaan listrik menempati posisi tertinggi dengan proyeksi kebutuhan dana sebesar Rp980 triliun. Kebutuhan dana pengembangan infrastruktur transportasi laut menduduki urutan kedua dengan kebutuhan Rp900 triliun, sementara untuk pembangunan jalan diperkirakan mencapai Rp805 triliun.

Dari mana dana tersebut bisa dikumpulkan? Dalam satu kesempatan forum FGD yang dilaksanakan LMFEUI (2014), diperkirakan kebutuhan dana infrastruktur sebesar Rp5.519 triliun tersebut diperoleh dari APBN sebesar Rp2.215 triliun, APBD sebesar Rp545 trillun, dan BUMN sebesar Rp1.066 triliun. Masih terdapat Rp1,7 triliun gap dana yang harus diisi. Alternatif apalagi yang memungkinkan? 

Apabila potensi dana dari perbankan, asuransi, serta dana pensiun dapat dioptimalkan, diperkirakan masih ada potensi sebesar Rp1.192 triliun. Gap kebutuhan dana yang tersisa sebesar sekitar Rp500 triliun diharapkan dapat dipenuhi dengan adanya lembaga pembiayaan pembangunan infrastruktur.

Perlu diperhatikan bahwa skema pembiayaan infrastruktur yang berlangsung saat ini ada tiga macam, yaitu pembiayaan melalui APBN, skema KPS (public private partnership), dan penugasan pada BUMN. Sementara itu, fakta menyatakan saat ini skema KPS belum menunjukkan success story, sehingga tidak dapat menjadi solusi atas finansial gap dalam penyediaan infrastruktur.

Sejumlah negara seperti Brasil dan India mempunyai lembaga pembiayaan infrastruktur yang lebih established. Brasil memiliki lembaga pembiayaan dengan nama The Brazilian Development Bank (BNDES) yang didirikan pada 1952.
Sementara India memiliki IIFCL (India Infrastructure Finance Company Limited) yang 100% dimiliki oleh pemerintah India.

Lembaga pembiayaan ideal

Saat ini, Indonesia telah memiliki BUMN PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang didirikan sejak 2009, untuk pembiayaan infrastruktur. Namun, karena kapasitas modal yang terbatas, kemampuan pembiayaan juga relatif rendah. Demikian pula Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang dikelola Kemenkeu, memiliki kinerja yang tidak memuaskan karena kendala institusi dan regulasi yang tidak jelas .

Karena itu, ide untuk menggabungkan kedua lembaga ini menjadi satu akan memiliki dampak yang lebih baik. Paling tidak dari segi modal, PT SMI mendapatkan tambahan penyertaan modal negara sebesar Rp20,3 triliun yang terdiri dari penambahan murni Rp2 triliun (PMN) pada 2015 dan pengalihan aset PIP sebesar Rp18,3 triliun.

Seperti yang dilakukan di Brasil, PT SMI bisa dikembangkan sebagai holding company dengan didukung anak perusahaan yang melakukan fungsi perbankan, pengelolaan aset, asuransi, dan sekuritas. Sebagai induk perusahaan, PT SMI dapat menentukan rule of the game dalam hal pembiayaan dan penjaminan yang ke mudian dieksekusi anak perusahaan, sesuai fungsi masing-masing. Selain itu, perusahaan dapat melakukan fungsi penilaian kelayakan proyek, analisis risiko sebagai referensi skema KPS untuk mendapatkan jaminan pemerintah. Aliran dana di luar APBN dianggap lebih fleksibel untuk pembiayaan proyek infrastruktur, seperti pinjaman bilateral atau multilateral jika dibandingkan dengan instrumen obligasi pemerintah yang masuk melalui mekanisme belanja pemerintah.

Beberapa prasyarat yang diperlukan untuk revitalisasi PT SMI sebagai holding company ialah: 1) jaminan independensi kebijakan dalam hal penilaian pembiayaan untuk menghindari credit exposure, moral hazard, dan rent-seeking (mafia proyek); 2) transparansi penilaian dalam rangka pembiayaan dan penjaminan melibatkan unsur independen 3) jaminan pemerintah untuk instrumen pembiayaan; 4) insentif untuk menghindari crowding-out dana investasi dengan mereduksi biaya kapital.

Dalam jangka panjang diharapkan PT SMI bisa berevolusi menjadi lembaga pembiayaan pembangunan Indonesia, seperti di Brasil dengan BNDES-nya. Mimpi pembangunan infrastruktur bisa segera direalisasikan bila dukungan pemerintah dan DPR bisa segera dituntaskan dalam bentuk UU lembaga pembiayaan pembangunan. Apabila Tiongkok sudah bergerak jauh dengan pembentukan Bank Infrastruktur Asia, pemerintahan Presiden Jokowi harus `terbang' menyelesaikan pembentukan lembaga krusial ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar