Cermin
Tiga Sahabat
Anas Urbaningrum ; Ketua Presidium Nasional Perhimpunan
Pergerakan Indonesia
|
REPUBLIKA, 29 April 2015
Presiden
Soeharto memimpin Indonesia hampir 32 tahun. Di seberang Batam ada sosok Lee
Kuan Yew yang menjadi perdana menteri Singapura 31 tahun, sejak 1959 sampai
undur diri pada 1990. Di Malaysia hadir Mahathir Mohamad yang berkuasa 22
tahun, sejak 1981 sampai digantikan pada 2003. Pak Harto meninggal pada 2008,
Lee beberapa pekan lalu dimakamkan, dan Mahathir masih berperan dalam politik
Malaysia hingga kini.
Ketiganya
adalah "pemimpin kuat" pada masanya. Kalau Pak Harto digelari
"Bapak Pembangunan", Lee sebagai "Bapak Bangsa", Mahathir
ditahbiskan sebagai "Bapak Modernisasi" (Bapak Pemodernan)
Malaysia. Pada masanya, ketiga tokoh ini dinilai berhasil dan meninggalkan
warisan yang dikenang.
Baik Pak
Harto, Lee, maupun Mahathir memimpin dengan cara keras dan tegas. Politik
dikontrol sedemikian rupa untuk memastikan stabilitas terjaga. Di atas
stabilitas itulah pembangunan ekonomi digerakkan. Modernisasi dijalankan
ketiganya dengan baik di atas fondasi sistem "demokrasi terkendali"
atau yang acap dikritik sebagai "otoritaritarianisme terbatas".
Pertumbuhan
ekonomi yang relatif tinggi dikawinkan dengan sistem politik yang stabil di
bawah kendali pemerintah. Sistem politik disesuaikan dengan kebutuhan
pembangunan sehingga demokrasi tercecer di belakang pertumbuhan ekonomi.
Kemajuan ekonomi tidak diikuti pertumbuhan demokrasi. Demokrasi diupacarakan
dalam pemilu yang hasilnya kurang lebih bisa diprediksi tanpa survei.
Kalau
Pak Harto mengontrol politik lewat tiga jalur—ABRI, birokrasi, dan Golkar—Lee
secara efektif menguasai People Action Party (PAP), Mahathir lewat UMNO.
Golkar, PAP, dan UMNO adalah partai dan koalisi partai yang sangat dominan.
Pada masa jayanya, Golkar selalu menang, bahkan sudah menang besar sebelum
pemilu diselenggarakan. PAP juga tampil sangat dominan dalam waktu sangat
lama, meski pada pemilu terakhir ini sedikit turun. Koalisi UMNO jelas adalah
pemain utama politik di Malaysia, terutama zaman Dr M berkuasa. Sistem
"partai dominan" menjadi pilar penjaga stabilitas politik dan
efektivitas pemerintahan.
Secara
umum kebijakan pembangunan ekonomi Pak Harto, Lee, dan Mahathir hampir mirip.
Jalan yang ditempuh adalah "developmentalisme" yang mengutamakan
pertumbuhan dan mazhab modernisasi ekonomi yang cenderung liberal. Pasar
diberi ruang leluasa, meskipun tak murni kapitalistik. Pemerintah juga
membangun BUMN sebagai aktor ekonomi penting. Dalam urusan aktor BUMN ini,
Lee dan Mahathir terbilang lebih sukses ketimbang Pak Harto.
Di masa
Pak Harto, kemiskinan diturunkan angkanya secara signifikan, meskipun
kesenjangan tak bisa dihindari. Meskipun senjang, rasio Gini periode Pak
Harto lebih baik ketimbang sekarang. Indonesia bergerak dari negara miskin
menjadi negara berkembang dan bahkan sempat dipuji sebagai "Macan
Asia".
Singapura
juga tumbuh sangat cepat. Lee melipatgandakan tingkat kesejahteraan rakyatnya
dalam waktu relatif singkat. Singapura pun masuk standar negara maju.
Demikian pula Malaysia di bawah Mahathir. Pertumbuhan ekonomi dan tingkat
kesejahteraan warganya menanjak lebih cepat ketimbang Indonesia. Program
pembelaan ekonomi kepada bumiputera meningkatkan kue ekonomi nasional dan
distribusinya.
Keberhasilan
Pak Harto diakui dunia internasional. Salah satu yang dikenang adalah
penghargaan Badan Pangan Dunia PBB (FAO) karena sukses berswasembada beras.
Mahathir menyebut Pak Harto sebagai tokoh penting yang didudukkan sebagai
orang tua di ASEAN, semacam primus interpares. Lee menyebut Indonesia di masa
Pak Harto sebagai the first among equal, yang terutama dari yang sederajat.
Kalau
Mahathir menyebut Pak Harto sebagai tokoh tegas dan paham masalah rakyatnya,
Lee menilai the Smiling General—meminjam
istilah OG Roeder—Ini sebagai pemimpin teguh, tegas, objektif, dan pragmatis.
Sayang, penulis belum punya referensi tentang penilaian Pak Harto terhadap
dua sahabatnya ini.
Di
samping kesamaan itu, ketiganya mempunyai perbedaan. Perbedaan yang lebih
jelas adalah antara Pak Harto dan kedua sahabatnya itu. Citra diri
pascaberkuasa dari Pak Harto berbeda dengan Lee, baik di tingkat domestik,
regional, dan internasional.
Meski
sekarang keberhasilan Pak Harto mulai diakui di dalam negeri dan diikuti
perbaikan citranya di mata publik, sejarah mencatat Pak Harto mundur dengan
cara pahit. Tidak soft landing dan
tidak husnulkhatimah secara
politik. Badai krisis politik, ekonomi, dan kepercayaan memaksa Pak Harto
berhenti di tengah jalan dan digantikan BJ Habibie.
Menjelang
jatuh dan beberapa tahun setelahnya berbagai hujatan datang menerpa. Pak
Harto agak terlambat menyadari keberhasilannya telah melahirkan kelas
menengah politik, sosial, dan ekonomi yang kritis dan mempunyai tuntutan
lebih tinggi. Pak Harto menjadi korban kesuksesannya sendiri dan sekaligus
dijatuhkan oleh "skenario" badai krisis ekonomi regional saat itu.
Jalan
berbeda ditempuh Lee. Setelah berkuasa sejak 1959, Lee menyerahkan kursi
perdana menteri kepada Goh Chok Tong. Sebagai mantan perdana menteri, Lee
memilih agak ke belakang sebagai menteri senior. Pada 2004, Lee ambil langkah
lebih ke belakang lagi sebagai menteri mentor, semacam mengikuti ajaran
"tut wuri handayani".
Demikian
halnya dengan Mahathir. Setelah menjadi perdana menteri menggantikan Hussein
Onn pada 1981, Tun Mahathir menyerahkan kursi perdana menteri kepada
timbalannya, Abdullah Ahmad Badawi pada 2003. Pada 1999, Mahathir
menyingkirkan terlebih dulu timbalannya, Anwar Ibrahim, dan menukarnya dengan
Badawi.
Sejak
mundur hingga kini, Mahathir tetap menjadi figur penting dalam politik
Malaysia. Naiknya Badawi dan Najib Razak tetap atas sentuhan pengaruh
Mahathir. Artinya, baik Lee maupun Mahathir turun atas kehendaknya sendiri,
justru ketika posisinya sedang kuat dan kemudian tetap berperan penting
setelah ambil posisi di belakang. Keduanya menjadi tokoh yang bekerja di
balik pemimpin penggantinya.
Pak
Harto terlambat menyiapkan pengganti, sementara Lee sukses menjadikan Goh
Chok Tong sebagai pemimpin transisi sebelum naiknya Lee Hsien Loong. Mahathir
pun sukses mengalihkan kepemimpinan ke Badawi meski sejak awal menyiapkan
Anwar. Keterlambatan Pak Harto mundur dan menyiapkan pengganti menyebabkan
patahan sejarah politik di Indonesia. Butuh waktu cukup lama agar Indonesia
kembali bisa menggerakkan kapal sejarahnya. Sementara, keberhasilan Lee dan
Mahathir mengelola transfer kekuasaan telah berkontribusi pada kelumintuan
atau kontinuitas Singapura dan Malaysia dalam memajukan dan menyejahteraan
rakyatnya.
Andai
saja Pak Harto mengikuti langkah Lee, misalnya tidak lagi bersedia menjadi
presiden pada Sidang Umum MPR 1993, sejarah Indonesia boleh jadi akan sangat
berbeda. Indonesia mungkin tidak mengalami patahan sejarah 1998, sama halnya
dengan Singapura dan Malaysia. Pak Harto pun akan dikenang sebagai legenda
besar karena turun pada saat sedang di puncak kekuasaan.
Ibarat
sepak bola, Pak Harto tidak lagi menjadi pemain timnas karena dicoret oleh
pelatih, sedangkan Lee dan Mahathir memilih "gantung sepatu" ketika
masih bersinar di timnas. Ketiganya pemain hebat, tetapi berbeda proses saat
meninggalkan arena.
Sebagaimana
diakui Mahathir, Pak Harto adalah tokoh hebat dan berhasil. Indonesia yang
besar dan sangat majemuk memang tidak bisa serta-merta dibandingkan dengan
Malaysia, apalagi dengan "negara kota" Singapura. Masalah dan
tantangannya tentu sangat berbeda. Mengelola Malaysia dan Singapura jelas
tidak bisa disetarakan dengan mengurus Indonesia.
Terlepas
dari perbedaan ketiga sahabat itu—terutama berakhirnya Pak Harto yang agak
tragis—ketiganya adalah tokoh besar dan berhasil pada masanya. Dikatakan
berhasil bukan tanpa kekurangan dan kekhilafan. Pak Harto yang lahir pada
1921, Lee 1923, dan Mahathir 1925 dengan segala kiprahnya adalah cermin
sejarah yang menarik.
Pak
Harto sekarang mulai pulih namanya setelah meninggal pada 2008, Lee yang baru
saja berpulang begitu disanjung dan dipuji dalam pengantar menuju pemakaman,
sementara Mahathir Mohamad masih "manggung" dan masih bisa membuat
panas-dingin Najib Razak.
Coba
sejenak kita bayangkan bagaimana jika Lee atau Mahathir memimpin Indonesia.
Apakah bisa lebih baik dari Pak Harto? Mari kita timbang ketiga sahabat itu
dengan jernih, sembari memetik hikmahnya. Cerita pahit Pak Harto adalah lahan
pembelajaran sejarah untuk masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar