Kamis, 21 Mei 2015

Indonesia di Mata Lee Kuan Yew

Indonesia di Mata Lee Kuan Yew

Boediono  ;   Komisioner KPK
KOMPAS, 21 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebelum wafat, Lee Kuan Yew sempat merilis buku terakhirnya yang berjudul One Man’s View of the World. Di situ beliau memaparkan penilaiannya mengenai sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Tulisan ini saya maksudkan bagi Anda yang belum sempat membaca buku tersebut. Sekali-sekali ada baiknya kita tinggalkan cermin, dan menyimak pandangan orang lain mengenai diri kita, apalagi pandangan tokoh sepenting Lee Kuan Yew. Mendengar orang lain membuat kita arif. Lee Kuan Yew adalah tokoh yang kontroversial, terutama—saya harus katakan—di kawasan ini. Pandangannya mengenai isu-isu strategis regional maupun global tajam dan mendasar. Gayanya yang langsung dan lugas memang tidak selalu berkenan di hati semua orang. Kenyataannya, tidak sedikit pemimpin dunia yang menyimak pendapatnya.

Sejak awal, Lee Kuan Yew dan elite politik Singapura menganggap perkembangan Indonesia, negara raksasa tetangga sebelah, sangat penting bagi rencana strategis mereka. Di tahun 1960-an seorang rekan Lee Kuan Yew, Goh Keng Swee, meramalkan Indonesia akan pecah. Namun, itu tidak terjadi. Lee Kuan Yew mencatat peran Soeharto, yang ia kenal dekat, dalam menyelamatkan keadaan dan bahkan kemudian berhasil membangun Indonesia, meskipun gagal mengatasi masalah korupsi dan nepotisme.

Ia membandingkan Indonesia dan Myanmar. Kata Lee Kuan Yew : ”Kedua negara itu dikaruniai sumber alam melimpah dan dipimpin oleh seorang militer. Tapi Jenderal Ne Win memilih jalur sosialisme. Seandainya Soeharto tidak teguh komitmennya untuk melaksanakan kebijakan pembangunan, Indonesia akan mengalami nasib yang serupa dengan Myanmar.”

Kemungkinan Indonesia mengalami disintegrasi tampaknya tertanam dalam di alam pikir elite Singapura. Isu ini menjadi butir pertama dalam tulisan Lee Kuan Yew. Menurut dia, meskipun Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang mengesankan, sistem pemerintahan sentralistis (dan militeristis) rezim Soeharto bukan jawaban untuk menjaga keutuhan negeri yang sangat beragam ini. Sistem itu, katanya, mirip sebuah pressure cooker yang suatu saat nanti dapat meledak.

Menurut Lee Kuan Yew, Indonesia yang terdesentralisasi seperti sekarang ini akan lebih mampu untuk maju dan menjaga keutuhannya. Kita yang sehari-hari menghadapi kenyataan di sini akan berkata bahwa bandul keseimbangan antara sentralisme dan desentralisme yang sekarang pun masih belum pas, perlu terus disetel.

Menurut Lee Kuan Yew, ada satu warisan para pendiri Indonesia yang perannya sangat sentral bagi keutuhan bangsa, yaitu bahasa Indonesia. Pentingnya bahasa pemersatu bagi Singapura (bahasa Inggris) dibahas di bagian lain buku ini. Pandangan Lee Kuan Yew mengenai bahasa pemersatu itu seyogianya makin memperkuat komitmen kita untuk memelihara, menyayangi, dan membangun bahasa nasional kita.

Tiga masalah besar

Desentralisasi, demokrasi tidak meniadakan masalah-masalah mendasar yang menghambat kemajuan Indonesia.Menurut Lee Kuan Yew, ada tiga masalah yang harus diatasi apabila Indonesia ingin maju, yaitu (a) kemacetan proses politik (political gridlock), (b) korupsi, dan (c) infrastruktur yang buruk.

Tidak sulit bagi kita untuk menyebutkan contoh-contoh konkret kemacetan proses politik di negeri ini—di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.Namun, ada satu observasi beliau yang patut saya sebutkan di sini.

Lee Kuan Yew melihat bahwa sistem kita—memilih langsung presiden dan memilih langsung anggota legislatif—secara inheren cenderung menimbulkan political gridlock. Ia menyarankan kita melihat sistem Perancis, yang memberikan kekuasaan kepada presiden untuk membubarkan parlemen dan meminta diadakan pemilu legislatif apabila kemacetan terjadi. Lee Kuan Yew bisa benar bisa salah, tetapi sinyalemen ini mengingatkan kita akan urgensi untuk mengatasi masalah gridlock yang sistemik yang mengganggu ini!

Mengenai penanganan masalah korupsi, saya kira banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari pengalaman mereka, terutama dalam memadukan upaya penegakan hukum dengan program yang lebih besar lagi, yaitu pembangunan birokrasi. Wajar apabila Singapura berbangga mengenai prestasinya di bidang ini.

Keutuhan ekonomi

Lee Kuan Yew sangat menggarisbawahi pentingnya pembangunan infrastruktur perhubungan bagi negara kepulauan seperti Indonesia.Pendapat ini seribu persen benar dan memang sejalan dengan apa yang kita rasakan dan pikirkan. Keutuhan politik suatu bangsa hanya bisa berlanjut apabila dilandaskan pada keutuhan ekonomi, dan keutuhan ekonomi suatu negara hanya bisa terwujud apabila ada jaringan transportasi dan komunikasi antardaerah yang efisien.

Masalahnya tidak sekadar mengenai pembebasan tanah, atau mencari investor, atau menyisihkan dana APBN bagi proyek yang ada. Itu semua penting. Namun, masalah yang lebih mendasar adalah bagaimana mencapai konsensus mengenai desain yang terbaik bagi jaringan transportasi dan komunikasi nasional, yang tetap relevan 30 atau 50 tahun ke depan. Sesuatu yang, harus diakui, tidak mudah dicapai di alam desentralisasi dan demokrasi dengan siklus politik lima tahunan yang ada.Pada saat seperti ini kita merindukan para negarawan yang berwawasan nasional, berpikir jangka panjang, berhitung antargenerasi.

Saya tutup tulisan ini dengan kutipan dari Lee Kuan Yew: ”Satu dasawarsa terakhir ini kinerja Indonesia lumayan, ekonominya secara konsisten tumbuh antara 4 dan 6 persen. Krisis keuangan global tidak banyak memengaruhi kinerjanya. Investasi dalam jumlah besar dari Tiongkok dan Jepang masuk, tertarik oleh adanya sumber alam yang melimpah. Namun, dalam 20 sampai 30 tahun mendatang, saya tidak melihat negeri ini akan mengalami perubahan mendasar. Malaysia barangkali akan maju lebih cepat karena secara geografis negara ini lebih menyatu, sistem transportasinya lebih baik, dan angkatan kerjanya lebih mempunyai motivasi.

Meskipun mengalami kemajuan, ekonomi Indonesia masih mengandalkan pada sumber alam dan penduduknya masih menggantungkan pada apa yang diberikan alam dan bukan pada apa yang dapat mereka ciptakan dengan kedua tangan mereka. Melimpahnya sumber alam cenderung membuat orang malas: ’Ini tanah saya. Anda menginginkan yang terkandung di dalamnya? Bayar saya. ’Pandangan seperti itu akan menumbuhkan sikap hidup dan budaya santai, yang nantinya sulit untuk dihilangkan.”

Tidak seluruhnya merupakan pujian.Namun, barangkali itulah yang kita butuhkan, untuk membangunkan semangat kita. Dengan kepergian beliau, Asia kehilangan seorang tokoh yang berwawasan luas, berpikiran jernih, dan tidak ragu berkata apa adanya.

Selamat jalan Pak Lee Kuan Yew.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar