Bukan
Ketoprak Mataram
Anas Urbaningrum ; Pengamat Politik
|
KORAN SINDO, 13 Mei 2015
Keraton Yogyakarta
memanas menyusul keluarnya Sabda Raja Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 30
April 2015 yang intinya: perubahan penyebutan Buwono menjadi Bawono,
dihilangkannya khalifatullah dalam gelar sultan, penyebutan Kaping Sedasa
diganti Kaping Sepuluh.
Disebut juga ada
perubahan perjanjian antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, serta
menyempurnakan nama keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dan Kanjeng Kyai Ageng
Joko Piturun. Keraton makin bergolak setelah Ngarso Dalem kembali
mengeluarkan Dawuh Raja pada 5 Mei 2015, yang substansinya mengangkat putri
sulungnya, GKR Pembayun, sebagai calon penerus takhta dengan gelar GKR
Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.
Gelar ini semacam
penegasan bahwa Sultan sudah mengangkat putri mahkota. Bahkan, gelar tersebut
menyiratkan gelar seorang raja atau ratu. Bukan hanya internal keraton yang
memanas dan bergolak. Masyarakat Yogyakarta pun memberikan reaksi.
Protes terutama
hilangnya khalifatullah dalam gelar dianggap sebagai penghapu sansisi
pemimpin agama pada diri Sultan. Tentu hal demikian dinilai ”melukai” sejarah
Mataram Islam. Sebagian publik di Yogyakarta khawatir Kesultanan akan
kehilangan orientasi karena menghilangkan sebagian karakternya yang sudah
terpatri ratusan tahun.
Sejarah Konflik
Konflik sejatinya bukan hal yang baru bagi Kesultanan Yogyakarta. Bahkan,
sejarah kelahiran kesultanan ini merupakan produk konflik internal kerajaan
Mataram baru atau Mataram Islam. Perjanjian Giyanti pada 1755 memecah
kerajaan menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Perjanjian
berlangsung antara Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi, dan pihak Belanda.
Pangeran Mangkubumi
(adik Pakubuwono II) lantas menjadi Hamengku Buwono I yang bertakhta di
Ngayogyakarta Hadiningrat. Realitas sejarah lebih lanjut adalah lahirnya
Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta sebelah utara yang menjadi wilayah
berdaulat di bawah kendali Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) yang
bergelar Mangkunegara I.
Ini hasil Perjanjian
Salatiga 1757 antara Pangeran Sambernyawa dan Kasunanan Surakarta. Sejarah
bergerak terus, pada 1790 terjadi perjanjian segitiga antara Kasunanan,
Mangkunegaran, dan Kesultanan bahwa ketiganya mempunyai kedudukan dan
kedaulatan yang setara dan tidak akan saling serang. Di Yogyakarta sendiri,
penjajah Inggris sukses membelah kesultanan.
Pasca-Kapitulasi
Tuntang 1811 di Semarang, yakni perjanjian Belanda menyerahkan Hindia Belanda
kepada Inggris, pada 1812 Raffles segera mengangkat Pangeran Notokusumo,
putra Hamengku Buwono I, menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I,
seorang pangeran merdeka di dalam Kesultanan Yogya.
Pakualaman mengambil
sebagian wilayah Kesultanan Yogyakarta, yakni Kulonprogo. Ketegangan antara
keduanya baru reda ketika setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Hamengku
Buwono IX dan Paku Alam VIII kompak mendukung Republik. Sampai sekarang hal
tersebut diabadikan ke dalam bagian keistimewaan Yogyakarta sebagai gubernur
dan wakil gubernur.
Artinya, kerajaan
Islam terbesar di Jawa yang berjaya sejak zaman Sultan Agung itu kemudian
terbelah-belah menjadi makin mini oleh adanya perselisihan internal di
keraton yang bertemu dengan politik pecah-belah yang dimainkan oleh penjajah.
Dalam catatan sejarah Perang Jawa 1825–1830, Pangeran Diponegoro disebut
memberontak terhadap kekuasaan Belanda dan Keraton. Perlawanan Diponegoro
didukung diam-diam oleh Pakubuwono VI dari Kasunanan Surakarta.
Setelah ditangkap,
akhirnya Diponegoro dibuang ke Manado dan kemudian ke Makassar, sementara
Pakubuwono VI diasingkan ke Ambon. Tercatat dalam Babad Diponegoro, Sang
Pangeran kecewa saat dilantik sebagai salah satu wali dari Hamengku Buwono V
yang masih balita, kemudian menolak menunaikan tugas perwalian itu dan lebih
suka dipanggil dengan nama Islamnya, Ngabdulkamid.
Di era terkini,
sepeninggal Pakubuwono XII pada 2004 terjadi raja kembar di Kasunanan
Surakarta. Konflik kakak-adik Pangeran Hangabehi dan Pangeran Tedjowulan
beserta saudara-saudaranya sampai saat ini belum sepenuhnya tuntas meski
berbagai mediasi telah dilakukan.
Konflik juga terjadi
di Pakualaman. Kanjeng Pangeran Haryo Anglingkusumo dinilai membelot dari
tatanan Pura Pakualaman dengan pengukuhan dirinya sebagai Paku Alam IX
”tandingan” di Kulonprogo pada April 2012. Pengukuhan Anglingkusumo di Kulon
Progo dinilai melawan paugeran (peraturan) Pakualaman. Politik Keistimewaan
Perselisihan internal di keraton Yogyakarta ini bisa berpotensi serius.
Materi konfliknya
bukan hanya semata-mata terkait dengan sejarah dan budaya. Jika konflik di
keraton Surakarta lebih bersifat kultural, gejolak di keraton Yogyakarta
tidak bisa dihindarkan dari kaitan politik. Dalam UU No. 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan Yogyakarta, keraton mempunyai kedudukan politik yang
khusus.
Inilah yang dulu dalam
proses pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta terkait dengan pertarungan
antara ide Penetapan dan Pemilihan. Akhirnya, aspirasi Penetapan yang
diadopsi di dalam undang-undang, yakni Sultan Yogyakarta dan Paku Alam,
otomatis diamanahkan sebagai gubernur dan wakil gubernur.
Terkait dengan Sabda
Raja dan Dawuh Raja, sebelumnya Sultan Hamengku Buwono X sudah menyampaikan
Sabdatama pada 6 Maret 2015. Sabdatamaini intinya Sultan melarang pihak lain
mencampuri tata pemerintahan keraton, termasuk dalam berkomentar tentang
siapa pewaris tahtanya.
Sultan juga
menegaskan, kalaupun diperlukan revisi undang-undang keistimewaan, Sabdatama
akan menjadi rujukan utamanya. Kita ingat saat itu di DPRD Daerah Istimewa
Yogyakarta sedang terjadi perdebatan yang dipicu oleh adanya pasal dalam
rancangan peraturan daerah tentang pengisian jabatan gubernur dan wakil
gubernur yang mensyaratkan gubernur dan wakilnya harus seorang lelaki.
Sementara itu, lima
anak Sultan semuanya perempuan. Jelas bahwa rangkaian itu menunjukkan
antisipasi Hamengku Buwono X terhadap proses suksesi di internal keraton yang
sekaligus terkait dengan posisi istimewa di dalam proses pengisian jabatan
gubernur DIY.
Jadi, konflik yang
muncul saat ini bukan semata-mata soal perdebatan apakah boleh ada raja
perempuan di keraton Yogyakarta. Bukan pula hanya soal bagaimana nasib
kelanjutan silsilah Hamengku Buwono setelah ditetapkannya GKR Pembayun dengan
bergelar Mangkubumi.
Peristiwa ini sama
sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks politik modern di tingkat lokal
tentang siapa gubernur Yogyakarta yang akan datang. Karena menyangkut dimensi
politik, sejatinya perselisihan ini jauh lebih dalam ketimbang sekadar perang
simbolik antara adikadik Sultan yang berziarah ke Imogiri untuk minta maaf
kepada leluhur karena menilai Sultan sudah khilaf dan menabrak
paugerankeraton.
Bukan juga hanya
jawaban simbolik dari Sultan bahwa semua itu adalah perintah Gusti Allah
lewat bapak dan leluhurnya, setelah Sultan menjalani laku rohani. Juga tidak
akan selesai dengan penegasan bahwa untuk memahami hal ini harus menggunakan
rasa, bukan pikiran.
Ini terlalu kompleks
untuk disederhanakan. Ini adalah masalah serius dan bukanlah ketoprak
Mataram. Jika di Surakarta yang lebih simpel dimensinya masih sulit
diselesaikan sampai saat ini, tentu konflik internal Keraton Yogyakarta ini
tidak boleh diremehkan. Amat jelas bahwa konteks konflik di Keraton
Yogyakarta terkait dengan dimensi yang lebih kompleks, termasuk urusan
politik dan bahkan ekonomi.
Peristiwa ini adalah
ujian sejarah atas apa yang telah diwariskan Hamengku Buwono IX dalam
terminologi yang sangat terkenal: ”Takhta Untuk Rakyat”. Pada titik inilah
”rasa” dan ”pikiran” rakyat perlu dipertimbangkan. Solusi terbaik patut
diikhtiarkan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar