Kamis, 14 Mei 2015

Versi Lain Poros Maritim

Versi Lain Poros Maritim

Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy
KORAN SINDO, 13 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dua hari lalu digelar seminar bertajuk ”Poros Maritim dan Politik Luar Negeri Indonesia” di Kementerian Luar Negeri RI. Sedianya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi akan memberikan pidato kunci. Kontan, para duta besar negara sahabat berbondong-bondong hadir, begitu juga para pengamat, praktisi dan mahasiswa, tak kurang dari 500 orang jumlahnya.

Maklum, sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan dalam pidato pelantikannya 20 Oktober 2014 tentang keinginannya mengembalikan kejayaan Indonesia sebagainegara maritim, praktisbelum ada penjabaran resmi tentang apa yang direncanakan pemerintah untuk mencapai citacita tersebut.

Memang Presiden sempat berpidato tentang hal ini di KTT Asia Timur; tercatat ada 5 pilar dari prinsip Indonesia sebagai poros maritim (yang diterjemahkan sebagai maritime fulcrum alias titik tumpu maritim dunia). Diskusi ini menarik karena menghadirkan generasi pemikiran maritim yang berbeda dari sisi pengalaman dan pemahaman.

Kalangan yang masih samar-samar tentang ide poros maritim pemerintah merasa menjadi kaya akan diskusi yang berlangsung karena menampilkan versi yang berbeda dari yang selama ini kita dengar. Versi itu terutama berasal dari pokok paparan pakar hukum laut internasional Hasjim Djalal dan Direktur Jenderal serta Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan di Kementerian Luar Negeri Darmansjah Djumala. Saya mencoba membagikan informasi tentang poin-poin yang diangkat dalam diskusi hari itu.

Pokok pertama pembahasan adalah kata ”poros maritim”. Kata ”poros” dijelaskan Presiden ketika berbicara dalam KTT Asia Timur pada November 2014. Ia berkata, ”Indonesia berharap untuk menjadi poros maritim dunia yang menghubungkan dua samudra dan ingin muncul sebagai negara maritim makmur yang disegani untuk itu Indonesia akan membangun kembali budaya kemaritiman.

”Dalam diskusi, konteks kata poros dapat dimengerti sebagai posisi geostrategis Indonesia yang menuntut Indonesia untuk berperan lebih baik dalam mengelola lautnya. Maklum tercatat 2/3 wilayah Indonesia adalah laut. Indonesia berbatasan laut dengan 10 negara. Perairan Indonesia pun tergolong padat oleh lalu lintas kapalkapal dalam dan luar negeri untuk berbagai tujuan, mulai dari berdagang, memanfaatkan hasil laut, menjalankan tugas pertahanan hingga membawa sampah nuklir.

Poin Presiden tentang perlunya kembali memberikan perhatian dan memandang ke laut tidak disanggah, tetapi yang menarik adalah bobot perhatian dan cara memandangnya yang tidak sama antara pemerintah dan beberapa ahli. Salah satunya diungkapkan Hasjim Djalal, profesor hukum laut internasional yang sangat disegani, bahkan di tingkat internasional.

Dia dulu pernah berperan sebagai ketua sekaligus presiden dari International Seabed Authority (organisasi internasional independen yang dibentuk menyusul Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982/UNCLOS dan kesepakatan implementasi hukum tersebut pada 1994). Dalam pernyataannya, Hasjim mengatakan prinsip yang tergambar dalam uraian pemerintah tentang laut dan poros maritim adalah prinsip connectivity (sebagai penghubung).

Namun dia mengingatkan bahwa status Indonesia yang sudah dikenal dan tercatat secara legal di tingkat internasional adalah sebagai negara kepulauan (archipelagic state). Status itu menyandang makna dan logikanya yang sesungguhnya lebih dalam daripada sekadar sebagai penghubung. Hasjim menyebut konsep negara maritim (maritime state).

Untuk menjadi negara maritim, Indonesia harus paham memanfaatkan ruang maritim untuk kepentingan ekonomi, pertahanan, politik, dan sebagainya. Hasjim mengutip contoh negara seperti Belanda dan Singapura. Kedua negara ini sesungguhnya bukan terdaftar sebagai negara kepulauan, tetapi ternyata lebih dapat memaksimalkan wilayah lautnya yang terbilang sangat terbatas dibandingkan Indonesia.

Mereka gigih dan ngotot memanfaatkan laut, baik yang dekat maupun jauh, sehingga mereka dikenal sebagai negara maritim. Apabila Indonesia ingin sejajar dengan negara-negara maritim lain, Hasjim mencatat perlunya Indonesia memenuhi syarat- syarat berikut ini. 1. Mampu dan telah menggunakan hak-hak atas laut internal sebagaimana ditetapkan dalam UNCLOS. 2. Menetapkan perairan kepulauan dan mendaftarkannya ke PBB.

3. Mengakui wilayah laut teritorial (12 mil dari karang terluar) termasuk menetapkan perbatasan yang jelas dengan negara-negara tetangga. 4. Menetapkan zona tambahan (contiguous zone) untuk dimanfaatkan dalam menambah biaya bea, imigrasi, termasuk dalam hal standar-standar tertentu dan mendaftarkan wilayah (baru) ini kepada PBB. 5. Menetapkan zona ekonomi untuk mengklaim hak pengelolaan perikanan.

6 Menetapkan hak pengelolaan dasar laut di luar zona 200 mil dan ini sama sekali belum dimanfaatkan oleh Indonesia. 7. Menetapkan hak atas samudera, baik lautnya maupun dasar lautnya (bayangkan bahwa negara seperti China dan Korea Selatan sudah punya hak ini di Samudera Hindia, padahal mereka tidak berbatasan laut dengan wilayah itu.

8. Mengakui hak negara-negara lain atas laut di Indonesia. 9 Mampu menjaga zonamaritimIndonesia, baik dari segi keamanan maupun pertahanan, termasuk pemanfaatan sumber daya yang ada di sana. 10. Mampu melindungi lingkungan hidup di laut, termasuk menghindarkan dari polusi dan kerusakan lingkungan.

Poin-poin dari Hasjim Djalal menunjukkan bahwa menjadi penghubung saja adalah penerjemahan yang kurang lengkap dari konsep poros maritim. Secara tidak langsung, Wakil Menteri Luar Negeri juga mengakui kelemahan konsep tersebut karena penerjemahan konsep poros maritim masih berkembang mengingat Indonesia masih kekurangan dari segi infrastruktur dan sumber daya manusia.

Yang menarik adalah kata ”kedaulatan” berkali-kali muncul dalam penerjemahan konsep poros maritim. Kedaulatan diartikan sebagai kemampuan memfasilitasi kegiatan maritim, mengelola sumber daya, menjaga pertahanan dan keamanan, serta menegakkan aturan (di dalam wilayah kita).

Poin itu memancing komentar bahwa cara pandang Indonesia terlalu terbatas pada urusan dalam negeri semata. Dan menyajikan poin seperti itu dalam forum yang dihadiri perwakilan negara asing justru menunjukkan bahwa Indonesia terlalu naif mengharapkan negara lain mau mendukung agenda nasional. Dari diskusi tersebut terlihat bahwa ada dua asumsi yang sangat berbeda tentang cara mencapai visi poros maritim.

Asumsi pertama dengan menunjukkan kemampuan Indonesia dalam mengelola, menjaga, dan merawat wilayah laut, baik yang di dalam negeri, yang dilewati kapal-kapal negara lain maupun yang berdekatan dan jauh posisinya dari perairan internal. Jika kemampuan itu ditunjukkan, otomatis respek akan diperoleh dan negara-negara lain akan bertumpu pada kompetensi Indonesia tersebut.

Asumsi kedua dengan menjadi fasilitator bagi negara-negara lain yang punya kompetensi untuk mengelola wilayah laut internal. Syarat dalam asumsi kedua ini adalah suatu harapan bahwa negara-negara lain yang mengelola wilayah Indonesia akan berbagi kesejahteraan dan turut merawat lingkungan.

Silakan kita renungkan mana asumsi yang paling jitu memberi hasil bagi Indonesia dengan risiko politik dan pertahanan yang seminim mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar