Penyelesaian
Konflik Partai Golkar
Romanus Ndau ; Alumnus Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA, 13 Mei 2015
SEANDAINYA taat asas, dualisme kepengurusan DPP
Partai Golkar antara Agung Laksono dan Aburizal Bakrie sudah selesai. Hal ini
mengacu pada putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) 3 Maret 2015, yang kemudian
dikukuhkan oleh keputusan Menteri Hukum dan HAM 23 Maret 2015, tentang Pengesahan
Kepengurusan DPP Partai Golkar 2014-2019, di bawah kepemimpinan Agung Laksono-Zainudin
Amali.
Sayangnya, Aburizal Bakrie-Idrus Marham
mengabaikan keputusan Menteri Hukum dan HAM dan menggugatnya ke PTUN. Menteri
Hukum dan HAM dianggap telah melakukan intervensi terhadap persoalan internal
Partai Golkar. Tuduhan tersebut tentu berlebihan sebagai ekspresi dari mengentalnya
kepentingan diri dan kelompok yang berujung pada tersanderanya soliditas partai.
Kemandirian parpol
Semangat dasar yang menjiwai lahirnya UU No 2
Tahun 2011 tentang partai politik ialah konsolidasi demokrasi. Secara
teoritik, konsolidasi demokrasi diawali dengan memperkuat lembaga-lembaga politik
sebagai penopangnya. Keberadaan parpol dalam kultur politik modern diarahkan untuk
mewujudkan demokrasi. Logikanya, hanya dengan membudayakan demokrasi di dalam
dirinya, parpol bisa mengakselerasi nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pentingnya konsolidasi demokrasi sebagai
dasar, arah, dan tujuan parpol terlihat jelas dalam UU No 2/2011 tentang
Partai Politik. Pasal 10 UU ini menyatakan bahwa parpol bertujuan untuk
mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila serta membangun
budaya dan etika politik. Pasal 13 menegaskan bahwa parpol berkewajiban
menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan HAM.
Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 27 yang
menyatakan bahwa pengambilan keputusan parpol di setiap tingkatan dilakukan
secara demokratis dan Pasal 28, yakni pengambilan keputusan sebagaimana
dimaksud Pasal 27 sesuai dengan AD dan ART parpol. Hal ini diperkuat lagi
dalam Pasal 36 Anggaran Partai Golkar, yakni pengambilan keputusan pada
dasarnya di lakukan secara musyawarah untuk mufakat dan apabila ini tidak
mungkin, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Merujuk pada ketentuan-ketentuan tersebut,
keabsahan suksesi internal partai hanya dapat dipertanggungjawabkan sejauh
dipenuhinya asas-asas demokrasi dimaksud. Praktikpraktik otoriterisme dalam
suksesi internal partai, seperti pemaksaan kehendak, intimidasi, tidak
netralnya panitia, hingga obral pecat-memecat kader harus dihindari, karena
berpotensi mematikan demokrasi yang justru menjadi tanggung jawab partai
untuk mengembannya. Tidak terpenuhinya prinsip-prinsip demokrasi tersebut
menjadi alasan dasar MPG untuk tidak mengesahkan DPP Partai Golkar hasil
Munas Bali, 30 November-4 Desember 2014.
Mahkamah Partai berperan untuk mewadahi,
menilai, dan memutuskan perselisihan internal parpol. Ayat 5 pasal ini secara
tegas mengatakan bahwa keputusan Mahkamah Partai, terutama menyangkut
perselisihan kepengurusan bersifat final dan mengikat.
Ada dua pesan penting di balik ketetapan
tersebut. Pertama, Mahkamah Partai, dalam hal ini MPG, menjadi satu-satunya
badan peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan internal
Partai Golkar. Karena itu, majelis hakim PTUN hendaknya satu suara dengan PN
Jakarta Pusat dan PN Jakarta Barat yang sebelumnya dengan tegas menolak
mengadili perselisih an internal partai karena bukan wewenangnya.
Kedua, perselisihan internal hanya efektif
diselesaikan oleh kader partai sendiri. Asumsinya, kader-kader partai lebih
memahami akar persoalan dan dinamika yang terus berkembang di internal
partai, sehingga tawaran solusinya lebih cepat dan tepat.
Langkah penyelamatan
Sikap MPG dalam memutus perselisihan
kepengurusan DPP Partai Golkar merupakan langkah nyata penyelamatan Partai
Golkar. Perbedaan pandangan di antara elite beringin sudah sangat tajam dan
sulit dicarikan titik kompromi. So liditas kader di semua tingkatan mencair. Jika
MPG tidak segera bertindak, kerusakan serius akan terus menghantui perjalanan
partai ini.
Dari sisi ini, keputusan MPG yang dijiwai
semangat rekonsiliasi patut diapresiasi. Pertama, MPG mengesahkan Agung
Laksono, semata-mata dimaksudkan untuk menjalankan tugas-tugas konsolidasi
dengan menyelenggarakan Musda dari kabupaten/ kota, provinsi, dan Munas
selambat-lambatnya Oktober 2016.
Kedua, MPG menegaskan agar Agung
Laksono-Zainudin Amali menghindari kelaziman the winner takes all, dengan mewajibkan mengakomodasi secara
selektif kader-kader Partai Golkar hasil Munas Bali. Soal ini direspons
secara cepat oleh Agung Laksono, dengan mengakomodasi 87 kader hasil Munas
Bali, di antaranya Mahyudin, Airlangga Hartarto, Erwin Aksa, dan Fayakhun
Andriadi. Artinya, islah telah terjadi di Partai Golkar, sehingga tak ada
halangan lagi untuk mengikuti Pilkada serentak 2015.
Ketiga, proses konsolidasi Partai Golkar akan
berlangsung di bawah pengawasan MPG. Dengan demikian, Agung Laksono dkk tidak
bisa semena-mena menjalankan roda partai, sebaliknya tunduk pada pengawasan
MPG.
Nasib Partai Golkar kini bergantung pada
kejernihan berpikir dan keberpihakan majelis hakim PTUN Jakarta Timur yang
akan memutus perkara ini pada 18 Mei mendatang. Jika keputusan hakim PTUN
tidak sejalan dengan PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Barat, semangat
demokrasi yang diemban UU Parpol akan layu sebelum berkembang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar