Kamis, 14 Mei 2015

Penyelesaian Konflik Partai Golkar

Penyelesaian Konflik Partai Golkar

Romanus Ndau  ;  Alumnus Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 13 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEANDAINYA taat asas, dualisme kepengurusan DPP Partai Golkar antara Agung Laksono dan Aburizal Bakrie sudah selesai. Hal ini mengacu pada putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) 3 Maret 2015, yang kemudian dikukuhkan oleh keputusan Menteri Hukum dan HAM 23 Maret 2015, tentang Pengesahan Kepengurusan DPP Partai Golkar 2014-2019, di bawah kepemimpinan Agung Laksono-Zainudin Amali.

Sayangnya, Aburizal Bakrie-Idrus Marham mengabaikan keputusan Menteri Hukum dan HAM dan menggugatnya ke PTUN. Menteri Hukum dan HAM dianggap telah melakukan intervensi terhadap persoalan internal Partai Golkar. Tuduhan tersebut tentu berlebihan sebagai ekspresi dari mengentalnya kepentingan diri dan kelompok yang berujung pada tersanderanya soliditas partai.

Kemandirian parpol

Semangat dasar yang menjiwai lahirnya UU No 2 Tahun 2011 tentang partai politik ialah konsolidasi demokrasi. Secara teoritik, konsolidasi demokrasi diawali dengan memperkuat lembaga-lembaga politik sebagai penopangnya. Keberadaan parpol dalam kultur politik modern diarahkan untuk mewujudkan demokrasi. Logikanya, hanya dengan membudayakan demokrasi di dalam dirinya, parpol bisa mengakselerasi nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pentingnya konsolidasi demokrasi sebagai dasar, arah, dan tujuan parpol terlihat jelas dalam UU No 2/2011 tentang Partai Politik. Pasal 10 UU ini menyatakan bahwa parpol bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila serta membangun budaya dan etika politik. Pasal 13 menegaskan bahwa parpol berkewajiban menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan HAM.

Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 27 yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan parpol di setiap tingkatan dilakukan secara demokratis dan Pasal 28, yakni pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud Pasal 27 sesuai dengan AD dan ART parpol. Hal ini diperkuat lagi dalam Pasal 36 Anggaran Partai Golkar, yakni pengambilan keputusan pada dasarnya di lakukan secara musyawarah untuk mufakat dan apabila ini tidak mungkin, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Merujuk pada ketentuan-ketentuan tersebut, keabsahan suksesi internal partai hanya dapat dipertanggungjawabkan sejauh dipenuhinya asas-asas demokrasi dimaksud. Praktikpraktik otoriterisme dalam suksesi internal partai, seperti pemaksaan kehendak, intimidasi, tidak netralnya panitia, hingga obral pecat-memecat kader harus dihindari, karena berpotensi mematikan demokrasi yang justru menjadi tanggung jawab partai untuk mengembannya. Tidak terpenuhinya prinsip-prinsip demokrasi tersebut menjadi alasan dasar MPG untuk tidak mengesahkan DPP Partai Golkar hasil Munas Bali, 30 November-4 Desember 2014.

Mahkamah Partai berperan untuk mewadahi, menilai, dan memutuskan perselisihan internal parpol. Ayat 5 pasal ini secara tegas mengatakan bahwa keputusan Mahkamah Partai, terutama menyangkut perselisihan kepengurusan bersifat final dan mengikat.

Ada dua pesan penting di balik ketetapan tersebut. Pertama, Mahkamah Partai, dalam hal ini MPG, menjadi satu-satunya badan peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan internal Partai Golkar. Karena itu, majelis hakim PTUN hendaknya satu suara dengan PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Barat yang sebelumnya dengan tegas menolak mengadili perselisih an internal partai karena bukan wewenangnya.

Kedua, perselisihan internal hanya efektif diselesaikan oleh kader partai sendiri. Asumsinya, kader-kader partai lebih memahami akar persoalan dan dinamika yang terus berkembang di internal partai, sehingga tawaran solusinya lebih cepat dan tepat.

Langkah penyelamatan

Sikap MPG dalam memutus perselisihan kepengurusan DPP Partai Golkar merupakan langkah nyata penyelamatan Partai Golkar. Perbedaan pandangan di antara elite beringin sudah sangat tajam dan sulit dicarikan titik kompromi. So liditas kader di semua tingkatan mencair. Jika MPG tidak segera bertindak, kerusakan serius akan terus menghantui perjalanan partai ini.

Dari sisi ini, keputusan MPG yang dijiwai semangat rekonsiliasi patut diapresiasi. Pertama, MPG mengesahkan Agung Laksono, semata-mata dimaksudkan untuk menjalankan tugas-tugas konsolidasi dengan menyelenggarakan Musda dari kabupaten/ kota, provinsi, dan Munas selambat-lambatnya Oktober 2016.

Kedua, MPG menegaskan agar Agung Laksono-Zainudin Amali menghindari kelaziman the winner takes all, dengan mewajibkan mengakomodasi secara selektif kader-kader Partai Golkar hasil Munas Bali. Soal ini direspons secara cepat oleh Agung Laksono, dengan mengakomodasi 87 kader hasil Munas Bali, di antaranya Mahyudin, Airlangga Hartarto, Erwin Aksa, dan Fayakhun Andriadi. Artinya, islah telah terjadi di Partai Golkar, sehingga tak ada halangan lagi untuk mengikuti Pilkada serentak 2015.

Ketiga, proses konsolidasi Partai Golkar akan berlangsung di bawah pengawasan MPG. Dengan demikian, Agung Laksono dkk tidak bisa semena-mena menjalankan roda partai, sebaliknya tunduk pada pengawasan MPG.
Nasib Partai Golkar kini bergantung pada kejernihan berpikir dan keberpihakan majelis hakim PTUN Jakarta Timur yang akan memutus perkara ini pada 18 Mei mendatang. Jika keputusan hakim PTUN tidak sejalan dengan PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Barat, semangat demokrasi yang diemban UU Parpol akan layu sebelum berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar