Roma
Telah Bicara
Trias Kuncahyono ; Penulis kolom “Kredensal” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 17 Mei 2015
Ada
pepatah lama yang berbunyi, Roma
locuta, causa finita. Pepatah ini diterjemahkan sebagai Roma bicara,
perkara selesai. Orang yang pertama kali mengucapkan ujar-ujaran itu adalah
Augustinus (396-430), teolog dan filsuf besar yang lahir di Hippo, Aljazair.
Sebenarnya, ungkapan itu-yang secara bebas diterjemahkan menjadi perkataan
pemimpin adalah sebuah keputusan, tidak ada lagi debat atau diskusi-digunakan
untuk melawan ajaran sesat.
Meski
demikian, kita kutip pepatah itu untuk menegaskan apa yang dinyatakan
Vatikan, Rabu (13/5) lalu. Pada hari itu, Vatikan mengumumkan telah mencapai
kesepakatan dengan "Negara Palestina." Penyebutan secara jelas
"Negara Palestina" mengandung arti bahwa Takhta Suci mengakui
eksistensi dan kemerdekaan Negara Palestina. Pengakuan Vatikan mengirimkan
pesan kepada suara hati semua umat manusia bahwa bangsa Palestina berhak
menentukan dirinya sendiri, memperoleh pengakuan formal, berhak memperoleh
kebebasan, dan menjadi negara merdeka. Dengan kata lain, Vatikan mendorong
terwujudnya solusi dua negara: Israel dan Palestina.
Apakah
dengan demikian masalah Palestina selesai karena Roma telah bicara? Tentu
saja tidak! Israel tidak suka dengan pernyataan Vatikan itu. Demikian pula AS
yang selalu berpendapat bahwa status negara Palestina harus merupakan hasil
dari perundingan dengan Israel dan bukan dinyatakan oleh negara-negara lain
atau institusi internasional.
Meskipun
tidak mendadak sontak menyelesaikan masalah, pengakuan Vatikan itu sangat
besar artinya. Tindakan Vatikan ini tidak hanya berarti secara politik dan
diplomatik, tetapi memiliki arti moral dan simbolik. Paus Fransiskus adalah
pemimpin umat Katolik sedunia. Hal itu berarti pengakuan Paus adalah juga
pengakuan seluruh umat yang dipimpinnya: bangsa Palestina memiliki hak untuk
bebas, merdeka, dan berdaulat terlepas dari kekuasaan Israel.
Pengakuan
Vatikan juga berarti penegasan bahwa konflik Israel-Palestina bukan konflik
agama seperti anggapan sementara kalangan selama ini, tetapi konflik
kedaulatan; bukan konflik antara Islam dan Kristen, melainkan konflik antara
bangsa Israel dan Palestina yang menuntut hak-hak tanahnya yang diserobot,
direbut, dikuasai, dan diduduki Israel.
Karena
itu, dalam perjanjian dengan Negara Palestina yang disepakati Rabu lalu, "The Comprehensive Agreement"
(penjabaran "The Fundamental
Agreement" yang ditandatangani Vatikan dan Palestina pada 2000),
Vatikan berjanji mendukung terwujudnya status khusus Jerusalem yang
melindungi tempat-tempat suci bagi Yudaisme, Islam, dan Kristen. Sebaliknya,
Palestina berjanji menghormati kebebasan beragama.
Kebebasan
beragama sangat penting. Teolog besar Hans Kung mengatakan, tiada perdamaian
dunia jika tidak ada perdamaian antaragama-agama. Sebab, perdamaian, seperti
dikatakan Augustinus, adalah situasi ketika pada akhirnya kebenaran akan
kemanusiaan sejati dihargai. Perdamaian dengan demikian adalah hadirnya
kehidupan bersama yang harmonis di tengah masyarakat yang dikelola
berdasarkan prinsip keadilan sehingga tiap pribadi dapat mewujudkan
dambaannya akan kebaikan, baik pribadi maupun bersama.
Sikap
Vatikan konsisten: sejak lama mendukung berdirinya Negara Palestina Merdeka,
bahkan sebelum PBB pada November 2012 mengakui status Palestina sebagai
non-member observer state, negara pengamat bukan-anggota. Takhta Suci
menjalin hubungan diplomatik dengan PLO (organisasi yang ketika itu secara
resmi mewakili Palestina) sejak 26 Oktober 1994, setahun setelah menjalin
hubungan diplomatik dengan Israel. Paus Yohanes Paulus II bertemu 12 kali
dengan Yasser Arafat. Pertemuan pertama mereka berlangsung pada 15 September
1982 di Vatikan. Paus Benediktus XVI bertemu enam kali dengan Presiden
Palestina Mahmoud Abbas.
Tahun
2014, Paus Fransiskus mengundang Mahmoud Abbas dan Presiden Israel Shimon
Peres untuk berdoa bersama di Vatikan. Mengapa berdoa? Karena doa juga
merupakan tindak perdamaian. Perdamaian sejati hanya terwujud jika semua
mengarahkan diri pada kuasa Ilahi. Sebab, perdamaian merupakan sesuatu yang
berdimensi spiritual. Perdamaian bukan hanya hasil dari perundingan, kompromi
politik atau ekonomi. Perdamaian bukan hanya hasil dari para perunding,
melainkan hasil bersama, termasuk berdoa,
Dan,
kini Roma telah bicara: mengakui Negara Palestina, bergabung dengan 135
negara lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar