Senin, 18 Mei 2015

Roma Telah Bicara

Roma Telah Bicara

Trias Kuncahyono   ;  Penulis kolom “Kredensal” Kompas Minggu
KOMPAS, 17 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada pepatah lama yang berbunyi, Roma locuta, causa finita. Pepatah ini diterjemahkan sebagai Roma bicara, perkara selesai. Orang yang pertama kali mengucapkan ujar-ujaran itu adalah Augustinus (396-430), teolog dan filsuf besar yang lahir di Hippo, Aljazair. Sebenarnya, ungkapan itu-yang secara bebas diterjemahkan menjadi perkataan pemimpin adalah sebuah keputusan, tidak ada lagi debat atau diskusi-digunakan untuk melawan ajaran sesat.

Meski demikian, kita kutip pepatah itu untuk menegaskan apa yang dinyatakan Vatikan, Rabu (13/5) lalu. Pada hari itu, Vatikan mengumumkan telah mencapai kesepakatan dengan "Negara Palestina." Penyebutan secara jelas "Negara Palestina" mengandung arti bahwa Takhta Suci mengakui eksistensi dan kemerdekaan Negara Palestina. Pengakuan Vatikan mengirimkan pesan kepada suara hati semua umat manusia bahwa bangsa Palestina berhak menentukan dirinya sendiri, memperoleh pengakuan formal, berhak memperoleh kebebasan, dan menjadi negara merdeka. Dengan kata lain, Vatikan mendorong terwujudnya solusi dua negara: Israel dan Palestina.

Apakah dengan demikian masalah Palestina selesai karena Roma telah bicara? Tentu saja tidak! Israel tidak suka dengan pernyataan Vatikan itu. Demikian pula AS yang selalu berpendapat bahwa status negara Palestina harus merupakan hasil dari perundingan dengan Israel dan bukan dinyatakan oleh negara-negara lain atau institusi internasional.

Meskipun tidak mendadak sontak menyelesaikan masalah, pengakuan Vatikan itu sangat besar artinya. Tindakan Vatikan ini tidak hanya berarti secara politik dan diplomatik, tetapi memiliki arti moral dan simbolik. Paus Fransiskus adalah pemimpin umat Katolik sedunia. Hal itu berarti pengakuan Paus adalah juga pengakuan seluruh umat yang dipimpinnya: bangsa Palestina memiliki hak untuk bebas, merdeka, dan berdaulat terlepas dari kekuasaan Israel.

Pengakuan Vatikan juga berarti penegasan bahwa konflik Israel-Palestina bukan konflik agama seperti anggapan sementara kalangan selama ini, tetapi konflik kedaulatan; bukan konflik antara Islam dan Kristen, melainkan konflik antara bangsa Israel dan Palestina yang menuntut hak-hak tanahnya yang diserobot, direbut, dikuasai, dan diduduki Israel.

Karena itu, dalam perjanjian dengan Negara Palestina yang disepakati Rabu lalu, "The Comprehensive Agreement" (penjabaran "The Fundamental Agreement" yang ditandatangani Vatikan dan Palestina pada 2000), Vatikan berjanji mendukung terwujudnya status khusus Jerusalem yang melindungi tempat-tempat suci bagi Yudaisme, Islam, dan Kristen. Sebaliknya, Palestina berjanji menghormati kebebasan beragama.

Kebebasan beragama sangat penting. Teolog besar Hans Kung mengatakan, tiada perdamaian dunia jika tidak ada perdamaian antaragama-agama. Sebab, perdamaian, seperti dikatakan Augustinus, adalah situasi ketika pada akhirnya kebenaran akan kemanusiaan sejati dihargai. Perdamaian dengan demikian adalah hadirnya kehidupan bersama yang harmonis di tengah masyarakat yang dikelola berdasarkan prinsip keadilan sehingga tiap pribadi dapat mewujudkan dambaannya akan kebaikan, baik pribadi maupun bersama.

Sikap Vatikan konsisten: sejak lama mendukung berdirinya Negara Palestina Merdeka, bahkan sebelum PBB pada November 2012 mengakui status Palestina sebagai non-member observer state, negara pengamat bukan-anggota. Takhta Suci menjalin hubungan diplomatik dengan PLO (organisasi yang ketika itu secara resmi mewakili Palestina) sejak 26 Oktober 1994, setahun setelah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Paus Yohanes Paulus II bertemu 12 kali dengan Yasser Arafat. Pertemuan pertama mereka berlangsung pada 15 September 1982 di Vatikan. Paus Benediktus XVI bertemu enam kali dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

Tahun 2014, Paus Fransiskus mengundang Mahmoud Abbas dan Presiden Israel Shimon Peres untuk berdoa bersama di Vatikan. Mengapa berdoa? Karena doa juga merupakan tindak perdamaian. Perdamaian sejati hanya terwujud jika semua mengarahkan diri pada kuasa Ilahi. Sebab, perdamaian merupakan sesuatu yang berdimensi spiritual. Perdamaian bukan hanya hasil dari perundingan, kompromi politik atau ekonomi. Perdamaian bukan hanya hasil dari para perunding, melainkan hasil bersama, termasuk berdoa,

Dan, kini Roma telah bicara: mengakui Negara Palestina, bergabung dengan 135 negara lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar