Status
Tersangka dan Perlindungan HAM
Sampe L Purba ; Pemerhati
Hukum, Alumni Pendidikan Reguler Lemhanas RI
|
KORAN
SINDO, 03 Februari 2015
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tersangka adalah seorang yang
karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga
sebagai pelaku tindak pidana.
Kecuali karena tertangkap tangan, pada umumnya untuk
seseorang dinyatakan jadi tersangka harus melalui kegiatan penyelidikan, atau
pengumpulan bahan keterangan yang dapat berawal dari laporan, pengaduan,
keadaan, maupun rangkaian peristiwa. KUHAP tidak menjelaskan pengertian bukti
permulaan. Juga tidak mempersyaratkan berapa banyak jumlah dan jenis bukti
permulaan tersebut.
KUHAP bahkan tidak menjelaskan atau menentukan berapa lama
seseorang menyandang status tersangka, baru akan dilimpahkan ke tahapan
penuntutan. Yang diatur oleh KUHAP adalah kecukupan dan kelengkapan alat
bukti sebagai persyaratan dilimpahkan dari tahapan penuntutan untuk diperiksa
dalam sidang pengadilan, serta lamanya penahanan kepada tersangka atau
terdakwa pada setiap tahapan pemeriksaan.
Bukti permulaan tidak sama dengan alat bukti. Bukti
permulaan pada saat penyelidikan dapat saja berubah dengan alat bukti yang
lain sejalan dengan perkembangan penyidikan. Mengingat diskresi, kewenangan
dan subjektivitas yang besar kepada penegak hukum dapat berpengaruh secara
langsung terhadap kebebasan asasi dan status hukum seseorang, maka mutlak
perlu ada instrumen hukum, acuan, prosedur tetap, protokol dan pedoman yang
mengikat dan dapat diuji serta dipertanggungjawabkan secara profesional,
internal maupun eksternal kepada publik.
Beberapa aturan yang baik dan mengikuti logika berpikir
tersebut dalam criminal justice system dikemukakan sebagai contoh.
Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) diatur
dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung,
dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02- KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-
076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/ 04/III/1984.
Di Kepolisian ada Peraturan Kapolri No. Pol.
Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana di
mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk
menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan
polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam
Pasal 184 KUHAP.
Di lingkungan Kejaksaan Agung ada Peraturan Jaksa Agung RI
No Per- 036/A/JA/ 09/2011tentang Standar Operasi Prosedur (SOP) Penanganan
Perkara Tindak Pidana Umum. Ada juga Keputusan Bersama Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung RI No. Kep 1/1121/2005 dan Kep.
IAIJ.A1121/2005.
Namun, ini lebih pada kerja sama institusional dalam
rangka implementasi pelaksanaan tugas dan kewenangan seperti
pelatihandanpertukaraninformasi, dan bukan dalam kaitannya dengan teknis
penanganan perkara. Pada perkara pidana umum, ruang perlindungan pengujian
atas hak-hak tersangka relatif lebih luas, karena ada persebaran kewenangan
dan internal check antara instansi kepolisian pada lingkup penyelidikan
hingga penyidikan dan kejaksaan pada lingkup penuntutan dan pelimpahan
perkaranya ke pengadilan.
Gelar perkara, pemberian petunjuk oleh penuntut umum
(kejaksaan) kepada penyidik (kepolisian) untuk melengkapi dan menyempurnakan
berkas perkara, pelibatan penasihat hukum pada setiap tahapan pemeriksaan,
mekanisme praperadilan adalah bagian dari due process of law dalam criminal
justice system yang diatur oleh KUHAP.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan tugas kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Adapun tindak
pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Undang-undang ini juga memberikan kewenangan dalam rangka
pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan untuk melakukan
penyadapan dan perekaman. Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada
apabila telah ditemukan sekurang kurangnya dua alat bukti, termasuk dan tidak
terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan baik secara biasa maupun elektronik. atau optik.
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam KUHAP berlaku juga bagi
penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kalau dalam KUHAP dibedakan institusi yang berwenang melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan, Undang- Undang KPK menyatukannya di dalam
institusi tersebut.
Tidak disebutkan dalam undang- undang bahwa apabila bukti
permulaan yang cukup telah terpenuhi maka seseorang akan otomatis atau pasti
akan menjadi tersangka. Yang disebutkan adalah jika penyelidik dalam
melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan
tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja terhitung
sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut penyelidik
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. (pasal 44).
Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK,
terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam
rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
lain, tidak berlaku berdasarkan undang- undang ini (pasal 46).
Namun tidak dijelaskan prosedur khusus seperti apa yang
akan berlaku. Kembali kepada pokok tulisan ini, mengingat penetapan seseorang
menjadi tersangka tidak ada batas waktunya, maka adalah penting untuk
menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia serta demi kepastian hukum, ada
aturan yang mengikat dan memberi akibat hukum baik terhadap para penegak
hukum, dan instansinya.
Itulah juga salah satu implementasi esensi asas praduga
tak bersalah. Perbaikan KUHAP yang akan datang hendaknya mengatur hal
tersebut. Asas fundamental universal hak-hak asasi manusia menyatakan bahwa
segala kuasa, hak, kewenangan, dan diskresi yang diberikan kepada suatu
institusi atau perorangan yang membatasi dan mengekang hak asasi orang lain,
harus ditetapkan dengan peraturan publik/perundang-undangan.
Catatan penting lainnya adalah, dalam hal ada suatu hal
yang diatur oleh undang-undang lain dikesampingkan atau tidak diberlakukan
berdasarkan undang-undang yang khusus, maka pengaturannya juga harus dengan
undang-undang. Tidak boleh suatu pengecualian dari undang-undang, akan diatur
oleh aturan yang lebih rendah dari undang-undang. Itulah esensi asas lex specialist derogates lex generalist.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar