Imlek,
Ahok, dan Gus Dur
Munawir Aziz ; Alumnus Center for Religious and Cross-cultural
Studies (CRCS) Pascasarjana UGM Jogjakarta; Penulis buku Gus Dur dan Jaringan
Tionghoa Nusantara
|
JAWA
POS, 18 Februari 2015
ORANG Tionghoa di Indonesia sedang menyambut hadirnya
Imlek. Perayaan Tahun Baru Imlek 2566 pada 19 Februari 2015 ini menjadi
bagian dari ekspresi kultural orang-orang Tionghoa di Indonesia. Perayaan
Imlek tidak hanya ramai diselenggarakan di kelenteng, namun juga menjadi
ritual tradisi di masjid, gereja, bahkan sebagai kirab masal. Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia (PITI) Jogjakarta menyelenggarakan Imlek di Masjid
Syuhada’. Orang-orang Tionghoa bersama warga pribumi Jawa di Surakarta bahkan
menyelenggarakan Imlek dalam tradisi Jawa dengan ritual Grebeg Sudiro.
Akulturasi tradisi ini menjadi jembatan untuk menegosiasikan ritual
antar-sekat etnis dan agama.
Penyelenggaraan meriah tradisi Imlek tak lepas dari peran
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada masa Soeharto, warga Tionghoa tidak
boleh menampakkan ekspresi kultural dan religiusnya di panggung publik.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, yang menjadi produk hukum
rezim Orde Baru, melarang segala hal yang berbau Tionghoa. Peristiwa tragis
pada Mei 1998 menjadi puncak represi Soeharto, yang membawa korban bagi orang
Tionghoa yang meninggal serta kehilangan rumah dan pekerjaan.
Ketika menjabat presiden, Gus Dur mencabut Inpres 14/1967,
lalu menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres)
19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur
fakultatif. Baru pada era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, mulai
2003 Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.
Keberpihakan Gus Dur
Kebijakan Gus Dur membuka keran kebebasan budaya dan agama
bagi masyarakat Tionghoa Indonesia, yang sebelumnya terkekang oleh represi
penguasa Orde Baru. Peran Gus Dur tersebut mengembalikan eksistensi warga
Tionghoa di Indonesia. Tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup warga Tionghoa
di Indonesia kembali terangkat. Kebijakan Gus Dur itu menjadi bagian dari
politik identitas untuk menciptakan harmoni keindonesiaan.
Atas sumbangsih Gus Dur, pada 10 Maret 2004 kelompok
keturunan Tionghoa di Kelenteng Tay Kek Sie Semarang menahbiskan mantan
presiden RI tersebut sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Secara garis besar,
alasan penobatan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia dapat diteropong
dari sejumlah sudut pandang: perjuangan Gus Dur dari sisi kewarganegaraan
kelompok keturunan Tionghoa, keteladanan Gus Dur dalam memperlakukan kelompok
keturunan Tionghoa, serta sisi pelengkap yang masih berupa kontroversi, yaitu
pengakuan Gus Dur sebagai keturunan Tionghoa, dari marga Tan (Ibad dan Fikri,
2012 : 123).
Penahbisan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa pada masa itu
memang menjadi perdebatan. Ada yang mendukung, namun ada juga yang mencibir
bahwa Gus Dur hanya mencari popularitas. Apalagi, jejaring komunitas dan
ekonomi Tionghoa menjadi sangat penting di Indonesia, khususnya sebagai
pendukung politik. Pendapat yang terakhir ini dapat dipatahkan. Sebab, pada
kenyataannya, Gus Dur tak hanya memihak kelompok Tionghoa. Namun, secara luas
dia juga berpihak kepada kaum lemah (mustadh’afin)
dan pihak-pihak yang selama ini mengalami perlakuan marginal, lintas budaya
dan agama.
Renungan Kemanusiaan
Pandangan Gus Dur dalam mendasari nilai universalismenya
yang membuat berbeda dengan para pemikir dan pemimpin agama kebanyakan adalah
dalam memahami ayat ”udkhuluha fi
as-silmi kaffah” (QS Al Baqarah [2 : 208]). Berbeda dengan tokoh lain
yang menganggap as-silmi sebagai ”Islam”, Gus Dur dalam hal ini memandang as-silmi kaffah sebagai kedamaian
secara penuh, yang membawa pada keberadaan universal dan tidak perlu
diterjemahkan pada sistem-sistem tertentu, termasuk kepada Islam. Karena ayat
tersebut mengajak pada kedamaian umat manusia.
Lebih lanjut, Gus Dur (dalam Islamku, Islam Anda, Islam
Kita, 2006 : 4) dalam memandang keislaman lebih menekankan pada
prinsip-prinsip dasar untuk menjadi ”muslim yang baik”. Sebagaimana diajarkan
dalam ayat-ayat Alquran, ada lima syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi
muslim yang baik: menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran
(rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak
saudara, anak yatim, dan kaum miskin), menegakkan profesionalisme, serta
bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan. Dari perspektif
inilah, keberpihakan Gus Dur kepada warga Tionghoa dapat dicari alasan
rasional dan personalnya.
Keberpihakan dan visi kemanusiaan Gus Dur inilah yang
selalu dikenang, terutama dalam penyelenggaraan Imlek tiap tahun. Visi
kepemimpinan Gus Dur mampu menjadi pengayom bagi kelompok marginal.
Orang-orang Tionghoa mengenang kiprah Gus Dur dengan memberikan penghormatan
atas kebijakan politiknya. Imlek untuk mengenang Gus Dur merupakan
penghormatan kepada pejuang kepentingan orang Tionghoa. Merenungi makna Imlek
berarti juga merenungi perjuangan Gus Dur. Tak hanya sebagai bapak orang
Tionghoa, namun juga bapak bangsa.
Ahok dan Gus Dur
Orang Tionghoa di Indonesia saat ini sudah diakui
kontribusinya dalam pelbagai bidang, dari politik, hukum, kuliner, militer,
hingga kesehatan. Bidang-bidang sosial dan profesional yang sebelumnya
dianggap sebagai ruang tabu bagi orang Tionghoa saat ini sudah sangat
terbuka. Pengakuan atas peran John Lie sebagai pahlawan Indonesia menjadi
renungan berharga. John Lie menjadi salah seorang tokoh Tionghoa yang
berjuang di bidang militer untuk membantu kemerdekaan negeri ini. Dengan
demikian, ada bukti bahwa orang Tionghoa berjasa besar dalam menegakkan
kemerdekaan di negeri ini.
Peran Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) juga menjadi menarik
untuk direnungi. Ahok adalah pertaruhan karir politik orang Tionghoa di
Indonesia pascareformasi. Meski ada beberapa tokoh Tionghoa di tingkat lokal
yang menjadi bupati, wali kota, maupun anggota legislatif. Ahok menjadi
cermin bagi kontribusi orang Tionghoa di bidang politik. Ahok mengaku
berutang budi kepada Gus Dur, yang telah mendorongnya maju sebagai tokoh
politik sejak di Belitung Timur.
Renungan Imlek bagi warga Indonesia adalah perayaan
mengenang keragaman budaya negeri ini. Betapa indah jika keragaman tersebut
dimaknai dengan pikiran jernih dan akal budi yang cerdas, bukan dengan
prasangka. Pikiran jernih akan semakin menguatkan kohesi sosial antaretnis di
negeri ini. Selamat Imlek 2566, Tahun Kambing Kayu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar