Senin, 07 November 2016

Nasib TPP dan Capres AS

Nasib TPP dan Capres AS
Dinna Wisnu  ;   Pengamat dan Praktisi Hubungan Internasional;
Co-founder Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                    KOMPAS, 07 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bagaimana nasib Kemitraan Trans-Pasifik, kerja sama ekonomi antar-12 negara di wilayah Pasifik yang digagas Amerika Serikat?

Waktunya makin pendek untuk Presiden Obama melobi Kongres agar menyetujui skema perjanjian perdagangan bebas yang sudah dinegosiasi intensif selama tujuh tahun. Masa jabatan Obama hanya kurang dari dua bulan dan dua capres AS, Donald Trump dan Hillary Clinton, secara terbuka menolak menandatangani perjanjian Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP). Ironis karena di Asia pun Filipina sudah bergerak mendekat ke Tiongkok dan tidak lagi menunjukkan gairah untuk melanjutkan TPP. Vietnam yang dipandang akan meraup keuntungan besar dari TPP pun tidak menyertakan agenda ratifikasi TPP dalam Sidang Umum Partai Komunis Vietnam yang berlangsung hari Kamis (27/10) lalu. Alhasil, agenda ini baru akan dibahas lagi pada April 2017.

Prinsip kesetaraan

Apakah ini menunjukkan bahwa hegemoni AS luntur di kawasan Asia Pasifik dan hegemoni Tiongkok dalam hal kerja sama ekonomi regional menguat? Jawaban itu tidak disinggung dalam debat capres AS yang sudah tiga kali berlangsung.

Dalam hal ekonomi, kedua capres justru memperlihatkan sikap proteksionisnya. Sikap ini tak unik, bahkan cenderung menguat di negara-negara lain. Salah satu contohnya adalah ancaman gagalnya perjanjian perdagangan Trans-Atlantic Trade and Investment Partnership (TTIP) antara AS dan Masyarakat Eropa karena desakan keras partai sayap kanan dan kiri yang membuat beberapa menteri perdagangan Eropa, termasuk Inggris dan Jerman, sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Eropa, merasa bahwa tidak ada manfaatnya menandatangani perjanjian itu dengan segera.

Dalam TPP dan perjanjian perdagangan bebas lain yang melibatkan AS, AS memosisikan dirinya sebagai pemimpin yang mencoba membatasi pengaruh Tiongkok, baik dari segi pertahanan maupun ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Kecenderungan ini makin terasa setelah Tiongkok membangun kesepakatan dengan ASEAN untuk menjalankan skema perdagangan bebas Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Kawasan (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP).

TPP bagi AS bukan sekadar perjanjian perdagangan bebas, melainkan juga pintu masuk bagi agenda atau kepentingan politik lainnya, terutama strategi Pivot to East Asia yang mencakup penguatan aliansi keamanan bilateral, pendalaman kerja sama dengan negara-negara berkembang yang menjanjikan, perluasan pengaruh dagang dan investasi, memperluas kehadiran militer, dan mengedepankan agenda demokrasi dan hak asasi manusia. Kegagalan TPP tentu akan memengaruhi capaian hal-hal tersebut di atas.

Ujian atas pengaruh AS di Asia Pasifik tidak dilihat dari seberapa banyak bantuan militer ataupun keuangan yang diberikan kepada negara-negara di kawasan, tetapi dari sejauh mana AS mampu menjadi tempat bagi negara-negara di Asia Pasifik untuk tumbuh dan menguat, terutama secara ekonomi.

Dalam konsep concerted unilateralism, sebuah negara yang ingin memproyeksikan dirinya sebagai pemimpin memang perlu mengakomodasi, mengelola, atau menanggung beban yang dikeluarkan oleh negara lain yang jadi sekutunya bersama-sama untuk mencapai Nash Equilibrium alias posisi sistem yang stabil, di mana terjadi interaksi dari beragam pemangku kepentingan, tetapi tak ada satu pemain pun yang bisa diuntungkan dari inisiatif sepihak jika strategi pihak-pihak lain yang terlibat tidak berubah. Tiongkok dalam RCEP kelihatan berupaya memenuhi prinsip concerted unilateralism dibandingkan dengan AS di dalam TPP.

RCEP memberikan fleksibilitas bagi negara-negara ASEAN dibandingkan dengan TPP. Standar yang lebih longgar ini tidak hanya menguntungkan negara-negara yang sedang tumbuh ekonominya untuk bisa lebih mempersiapkan diri menghadapi kompetisi yang lebih bebas. Dalam konteks diplomasi, kelonggaran ini juga memberi pesan bahwa kemakmuran negara-negara Asia Pasifik dapat dijalankan bersama-sama dan bukan dengan meninggalkan negara anggota lainnya.

Salah satu contoh adalah mengenai tarif barang untuk komoditas tertentu. Di dalam RCEP, penghapusan terhadap hambatan tarif dan nontarif dilakukan secara progresif (bertahap), sesuai kesepakatan bersama dan mempertimbangkan kondisi di dalam negeri masing-masing. Sementara di dalam TPP, ada kehendak untuk segera menghapus segala hambatannya, baik tarif maupun nontarif. Hal ini membuat setiap negara anggota berpacu melakukan restrukturisasi kebijakan di dalam negeri, padahal situasi di dalam negeri setiap negara berbeda. Apabila negara anggota tak dapat mencapai keadaan yang ideal itu, sanksi dapat dijatuhkan dan untuk kepentingan itu AS mengusulkan Investor-State Dispute Settlement, sebuah klausul yang akhirnya ditolak Hillary Clinton sendiri.

Posisi untuk dapat mengakomodasi kepentingan negara lain tentu jadi sulit bagi AS dalam TPP, tetapi itulah salah satu ”ujian” yang harus dilalui apabila AS ingin meneguhkan pengaruhnya di Asia. Asia berbeda dengan Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Latin. Asia adalah salah satu kawasan ekonomi yang saat ini tengah tumbuh dan bertahan dalam melalui krisis ekonomi yang belum pulih sejak 2008.

Menurut data Organisasi Perdagangan Dunia, pada Januari 2015 terdapat 274 perjanjian perdagangan, baik bilateral maupun multilateral di dunia, di mana khusus Asia sendiri terdapat 126 perjanjian yang sudah berjalan dan 215 perjanjian lain yang masih dalam tahap negosiasi. Data ini menunjukkan, negara-negara di Asia sedang menuju pengintegrasian ekonomiannya dan juga menunjukkan saling ketergantungan dan keterikatan yang lebih erat dibanding dengan negara dari kawasan lain.

Sebagai kawasan yang saling terintegrasi dan terikat secara ekonomis, upaya untuk menanamkan pengaruh di kawasan Asia tidak dapat menggunakan cara-cara kekerasan atau militer, seperti yang disarankan dalam Teori Perimbangan Kekuatan (Balance of Power Theory). Dalam teori ini, kehadiran sebuah aliansi kekuatan di satu kawasan akan mengundang aliansi kekuatan tandingan jika pihak atau negara lain merasa kedaulatannya terancam. Contohnya, aliansi militer NATO versus Pakta Warsawa pada masa Perang Dingin, Blok Barat versus Blok Timur, atau dalam konteks terorisme, upaya para teroris untuk mendirikan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) adalah sebuah power-block untuk menghadapi kepentingan Barat. Dalam pendekatan ini, analisis akhir dari kompetisi atau rivalitas adalah dalam perhitungan apakah akan terjadi perang sebagai usaha untuk menyeimbangkan keadaan. Mosul, Aleppo, atau Yaman adalah contoh dari berbagai kekuatan dan kepentingan yang sedang melancarkan perang untuk mencapai keseimbangan.

AS, khususnya para capres yang akan berkuasa nanti, perlu menyadari bahwa strategi untuk menguatkan pengaruh justru harus dilakukan dengan cara mengurangi kebijakan yang protektif di dalam negeri AS sendiri. Apabila AS tidak menghargai kesenjangan keadaan yang masih ada antara negara maju dan negara berkembang, niscaya hegemoni AS akan berkurang.

Di sisi lain, dengan banyaknya perjanjian perdagangan bebas di kawasan Asia dan Pasifik, tidak ada satu negara yang hanya loyal terhadap satu aliansi seperti dalam aliansi pertahanan dan keamanan. Beberapa negara bisa memiliki keanggotaan yang tumpang-tindih antara satu kesepakatan regional dan kesepakatan lainnya. Contohnya adalah Vietnam, Malaysia, atauSingapura yang memiliki keanggotaantidak hanya ada di TPP, tetapi juga di RCEP. Dengan demikian, Amerika Serikat ataupun Tiongkok tidak dapat 100 persen mendikte atau menuntut negara-negara mitranya selalu menuruti apa yang diinginkan.

Peluang dan tantangan Indonesia

Presiden Joko Widodo telah menyampaikan minatnya kepada Presiden Obama untuk ikut dalam TPP. Minat ini sendiri masih menimbulkan pro dan kontra di dalam negeri karena timbul kekhawatiran bahwa TPP akan lebih merugikan daripada menguntungkan Indonesia. Namun, Indonesia akan memiliki peluang yang lebih baik lagi apabila Obama gagal meminta persetujuan Kongres terkait TPP hingga akhir tahun ini karena perjanjian itu baru efektif apabila 12 negara atau minimal enam negara yang mewakili 85 persen produk domestik bruto (PDB) meratifikasi di dalam negeri.Peluang itu dapat menjadi tantangan juga karena, sebagai latecomer, Indonesia tidak memiliki kesempatan yang luas untuk menegosiasikan pasal-pasal yang mungkin akan merugikan dan sudah diputuskan oleh 12 negara lain sebelum Indonesia bergabung.

Indonesia masih bisa berharap bahwa dengan situasi ekonomi-politik yang berkembang di kawasan—termasuk terkait berubahnya haluan politik Filipina dan perkembangan isu di Laut Tiongkok Selatan—juga potensi pasar yang besar, Indonesia mungkin dapat melakukan pendekatan diplomasi ke AS, Tiongkok, dan negara-negara yang digandeng mereka. Selain itu, negara-negara lain anggota TPP juga masih menunggu apakah Kongres AS akan melakukan revisi atau dapat menerima semua hasil negosiasi. Apabila terjadi revisi, maka akan terjadi noodle bowl effect, yaitu perubahan seluruh struktur perjanjian secara besar-besaran hanya karena ada satu perubahan kecil dan Indonesia meraih peluang untuk lebih terlibat dalam renegosiasi.

Tantangan paling besar justru ada di dalam negeri sendiri, yaitu dalam mengoordinasikan langkah-langkah perjanjian perdagangan bebas dari seluruh kementerian dan lembaga terkait. Keuntungan dan kerugian TPP perlu dilihat kaitannya dengan perjanjian perdagangan bebas lain, khususnya RCEP. Bagi negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, atau Singapura, keanggotaan di dua perjanjian perdagangan bebas ini dianggap sebagai sebuah langkah untuk saling melengkapi kekurangan dan kelebihan tiap perjanjian. Artinya, jika Indonesia mau diuntungkan oleh TPP ataupun RCEP, dibutuhkan kerja sama lintas instansi yang lebih baik.

Selain tantangan kerja sama, yang paling penting adalah diseminasi dan partisipasi masyarakat di dalam negeri. Perjanjian perdagangan bebas, khususnya TPP, selama ini dianggap lebih menguntungkan pihak korporasi daripada masyarakat. Korporasi lebih mementingkan laba daripada pelayanan kepada masyarakat sehingga menimbulkan kesenjangan yang lebih luas antara golongan kaya dan miskin. Pemerintah harus memastikan segala perjanjian perdagangan antarnegara akan mendorong terciptanya fair trade dan bukan free trade yang hanya menguntungkan pihak perusahaan.
Dalam era perdagangan bebas ini, kita punya dua pilihan: ikut arus atau berjuang melawan arus demi mencari keuntungan yang maksimal bagi kepentingan sebanyak-banyaknya hajat hidup warga negara Indonesia. Mana yang mau kita pilih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar