Kamis, 07 Mei 2015

Warning Perekonomian Nasional

Warning Perekonomian Nasional

Firmanzah  ;  Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar FEB Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 04 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam beberapa pekan terakhir, kinerja perekonomian nasional masih terus tertekan. Sejumlah indikator ekonomi menunjukkan tren negatif baik di sektor riil maupun keuangan dan pasar modal.

Bank sentral dan beberapa kalangan memprediksi pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I 2015 relatif melambat atau bergerak tidak lebih dari 5%. Kondisi ini tentunya berpotensi akan semakin mempersulit ruang gerak pemerintah mewujudkan janji-janji politik yang tertuang dalam Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sebelumnya, sejumlah kalangan, baik dalam negeri maupun lembaga asing, juga telah menunjukkan indikasi perlambatan ekonomi Indonesia sehingga membutuhkan kesigapan penyusunan kebijakan pemerintah yang tepat dan terukur. Tulisan saya di media ini (20/4) juga telah menjelaskan tren perlambatan ekonomi Indonesia.

Meski merupakan tren global saat ini, perlambatan dan penurunan kinerja perekonomian nasional menjadi sinyal penting sekaligus peringatan bagi pemerintah untuk tidak lengah dari ancaman tsunami ekonomi lanjutan. Dunia masih menunggu kapan The Fed akan menaikkan suku bunga dan sedang mengantisipasi segala kemungkinan yang muncul akibat kebijakan tersebut.

Di tengah tekanan ekonomi global yang relatif landai, pemerintah perlu memperhatikan tingkat probabilitas ancaman shock ekonomi nasional yang masih cukup tinggi, terlebih ketika penurunan daya beli masyarakat merosot. Antisipasi gejala global maupun domestik memerlukan sikap tanggap dan kecermatan pemerintah agar kinerja ekonomi yang telah dibangun selama ini tetap terjaga.

Proyeksi pertumbuhan negara-negara berkembang oleh Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan perlambatan pada tahun 2015 sebesar 4,3% (dari tahun lalu 4,5%). Sebaliknya proyeksi pertumbuhan negara maju diperkirakan lebih positif di 2,4% (dari tahun lalu 1,8%). Bank Dunia juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi hanya sebesar 5,2% untuk tahun ini.

Bahkan pertumbuhan ekonomi masih dapat di bawah proyeksi Bank Dunia kalau kita memasukkan variabel The Fed. Dalambeberapawaktukedepan, The Fed akan menyesuaikan tingkat suku bunga. Penyesuaian ini berpotensi berimbas pada eksodus modal dari negaranegara berkembang dan dinaikkannya BI Rate.

Hingga akhir April 2015, sejumlah indikator ekonomi nasional mempertegas potensi ancaman guncangan ekonomi. Pertama, penyerapan APBN pada kuartal I 2015 yang hanya berkisar 20%, yang berdampak pada sejumlahkegiatan ekonomi lainnya. Harus kita akui, selama ini kebijakan APBN menjadi salah satu penggerak perekonomian nasional, terlebih ketika sektor-sektor lain menghadapi tekanan.

Kedua, akibat serapan APBN yang rendah, sejumlah proyek pembangunan infrastruktur melambat yang kemudian berandil besar dalam penurunan penyaluran kredit perbankan dan melemahnya konsumsi domestik. Bank sentral merilis penyaluran kredit perbankan nasional triwulan I 2015 akan berada pada level 11- 12% atau lebih rendah dari tahun sebelumnya yang di atas 18%. Ketiga, sektor industri relatif menunjukkan pelemahan sepanjang triwulan I 2015.

Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan Bank Sentral menunjukkan saldo bersih tertimbang (SBT) triwulan I tumbuh 4,83%, lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2014 sebesar 11,03%. Hasil SKDU juga menunjukkan ratarata kapasitas produksi terpakai hanya sebesar 73,06% atau turun dibandingkan triwulan IV 2014 sebesar 79,78%.

Begitu pula indeks manufaktur triwulan I 2015 sebesar 45,08% atau lebih rendah dari triwulan IV 2014, 48,89%. Keempat, nilai tukar rupiah sepanjang pekan terakhir April 2015 hingga pada penutupan sesi perdagangan Kamis (30/4) terdepresiasi 4 poin (0,03%) ke level Rp12.937per dolar Amerika Serikat (AS) berdasarkan referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang dikeluarkan BI.

Kelima , Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan Kamis (30/4) melemah di level 5.086,42 atau turun dari sesi perdagangan Senin (27/4), 5.254,46. Penurunan indeks ini banyak dikontribusi aksi jual asing sepanjang pekan terakhir April 2015. Penjualan bersih asing sepanjang sepekan di akhir April 2015 mencapai Rp6,9 triliun. Besarnya arus modal asing keluar ini kemudian menggerus kapitalisasi pasar modal nasional.

BEI mencatat kapitalisasi pasar modal per Kamis (30/4) sebesar Rp 5.164 triliun atau turun Rp315 triliun dari posisi Jumat (24/4) sebesar Rp5.479 triliun. Keluarnya dana asing dari pasar modal kita setelah sejumlah emiten besar memublikasikan kinerja triwulan I 2015 yang tidak sesuai harapan. Praktis, hampir setiap sektor seperti ritel, infrastruktur dan alat berat, perbankan, automotif, mineral dan tambang menunjukkan pelemahan kinerja keuangan.

Hal ini seolah menjadi cerminan bahwa perekonomian nasional memasuki fase baru, yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor penting penyumbang perlambatan ekonomi adalah penurunan kontributor terbesar dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional, yaitu daya beli masyarakat. Belanja domestik selama ini menyumbang rata-rata 54-56% PDB Indonesia.

Indikator-indikator di atas tentunya menjadi warning bagi pemerintah dalam mengelola dan mengambil kebijakan ekonomi, terlebih di tengah ketidakpastian yang masih cukup tinggi. Belum lagi dengan rencana penyesuaian suku bunga The Fed yang tentunya akan berpotensi menekan perekonomian nasional. Kebijakan penyesuaian suku bunga The Fed ini akan menekan lebih dalam perekonomian nasional apabila tidak ada skenario mitigasi dan antisipasi dari pemerintah.

Potensi eksodus modal ada di depan mata mengingat struktur dana asing di pasar modal yang mencapai lebih dari 40%. Kepemilikan asing di pasar obligasi juga mencapai 60% yang bisa menjadi potensi ancaman ke depan. Berdasarkan data-data di atas, seyogianya pemerintah terus mendorong kebijakan antisipatif yang dapat menahan tekanan ekonomi di waktu ke depan.

Kebijakan antisipatif ini tidakhanyadisektorfiskal, tetapi juga di sektor riil mengingat indikator-indikator di atas pada akhirnya bermuara pada kekuatan daya beli atau konsumsi domestik. Sejumlah agenda mendesak yang perlu diperhatikan pemerintah untuk merespons data-data di atas, pertama, mendorong penyerapan belanja negara khususnya untuk proyekproyek pembangunan infrastruktur.

Kedua, kebijakan yang lebih pro-sektor UMKM perlu lebih diperluas untuk membantu sektor yang selama ini berkontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja dan menjaga daya beli masyarakat di level menengah ke bawah. Ketiga, koordinasi kebijakan secara intensif di sektor moneterfiskal- riil oleh sejumlah lembaga seperti Bank Indonesia, OJK, Kementerian Keuangan, Kemenko Perekonomian, dan Bappenas. Hal ini dimaksudkan agar efek tekanan tidak lebih dalam.

Keempat, sektor perdagangan perlu terus dipacu sehingga bisa menjadi penyeimbang ditengah kebijakan pembatasan sektor migas. Kelima, menghindari kebijakan-kebijakan ekonomi yang kontra produktif atau setidaknya belum tepat untuk saat ini.

Keenam, Presiden Jokowi perlu segera menginisiasi konsolidasi kebijakan ekonomi dalam waktu dekat mengingat infrastruktur kebijakan, mekanisme, dan implementasinya memerlukan tingkat koordinasi tinggi untuk mereduksi potensi bias di lapangan.

Kita tentu dapat belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam mengatasi sejumlah tekanan ekonomi baik yang berasal dari internal maupun eksternal.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar