Buburuh
di Hari Buruh
Dedi Mulyadi ; Bupati Purwakarta
|
KORAN SINDO, 04 Mei 2015
Buruh dalam pemahaman
orang Sunda dapat dimaknai sebagai upah atau bayaran. Kata itu sering
terdengar ketika menyuruh anak-anak untuk melakukan sesuatu, sering terungkap
kalimat, ”sok, engké diburuhan” (silakan, nanti diberi upah).
Kata buruhan (diupah) lebih
mencerminkan ihwal yang bersifat sekadarnya atau seadanya, tidak memiliki
standardisasi berapa nilai yang harus diberikan. Hubungan yang memberi buruh
/upah dengan yang diburuhan lebih bersifat hubungan emosional, yang bersifat
sukarela dan didasarkan pada faktor kedekatan. Upah yang diberikan bersifat
sangat subjektif, bergantung kualifikasi personal si pemberi upah.
Kalau pemberi upahnya
memiliki sifat yang murah hati, seringkali upahnya sangat tinggi dan yang
diupahnya pun tidak diberi beban yang begitu berat. Sebaliknya, apabila sang
pemberi upah punya penyakit pelit, memberi upahnya pun biasanya kecil dan
pekerjaannya kadang-kadang melebihi kapasitas yang diberi upah. Proses
hubungan timbal balik yang bersifat subjektif tersebut berlangsung dalam
dunia buburuh di perdesaan sampai saat ini.
Seorang buruh tani
memiliki jam kerja selama sabedug (waktu pagi hingga zuhur). Buruh tani
memulai pekerjaan dengan sarapan pagi satu gelas kopi dan makanan pengganjal
perut seperti goreng pisang, goreng singkong, atau goreng ubi sebagai upaya
untuk memenuhi kebutuhan kalori bagi seorang buruh tani. Itu pun kalau yang
punya sawahnya baik. Kalau pelit, ya kelasnya di bawah itu.
Pada pukul 10.00 WIB
mereka dianteuran (diantarkan makanan) untuk mendapatkan makan yang berisi
nasi, ikan, sambal, dan lalap ala makan perdesaan. Mereka makan di saung
(gubuk kecil di sawah) setelah badannya bercucuran keringat. Ketika makan,
mereka makan sambil ngobrol dengan pemilik sawah diiringi oleh semilir angin
dan gemericik air laksana musik abadi.
Burungburung berkicau,
bersembunyi di balik rimbunnya daun seakan ingin memberikan ketegasan bahwa
akulah vokalis sejati. Gelak tawa seringkali membelah suasana, di
tengah-tengah senda gurau penganan apa adanya. Biasanya mereka bercerita
tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kampungnya, dari mulai cerita
tentang tetangga sampai politik kekuasaan ala perdesaan.
Dengan penutup kalimat
yang sering terucap, ”urang mah kumaha nu dibendo wé” (terserah penguasa),
betapapun mereka kecewa terhadap keadaan politik dan kekuasaan, pada akhirnya
mereka pasrah pada yang dibendo, diiket, diblankon, dipeci (penguasa). Tak
ada sedikit pun watak pemberontakan dalam pikiran kaum tani perdesaan.
Pada waktu tengah hari
sekitar pukul 12.00, yang ditandai dengan beduk zuhur, mereka menghentikan
seluruh kegiatan buburuhnya (kuli). Mereka kembali ke rumahnya setelah
sebelumnya mandi di pancuran atau di sungai, membersihkan seluruh tubuhnya
yang berbalut tanah. Siang hari berbagai aktivitas mereka lakukan setelah
selesai melaksanakan salat zuhur.
Ada yang pergi ke
kebun, ada yang menyabit rumput untuk ternak peliharaannya, ada yang pergi
mencari ikan ke sungai. Sore hari, pemilik sawah atau ladang mengantar
makanan ke rumahnya sebagai ungkapan terima kasih atas seluruh energi yang
telah dicurahkan oleh para kuli macul (kuli cangkul) dari pagi sampai siang.
Apabila kita
mencermati hal tersebut, betapa hubungan antara pemberi pekerjaan dan
pekerjanya terbangun secara harmonis, dari mulai pemberian makan sebanyak dua
kali plus satu kali ngopi, komunikasi yang berjalan secara harmonis sampai
waktu bekerja yang hanya enam jam dipotong satu kali istirahat, kurang lebih
setengah jam.
Realitas tersebut
mengalahkan sistem perburuhan yang berjalan hari ini, di mana jumlah jam
kerja sebanyak delapan jam dikurangi satu jam istirahat, plus jatah makan
yang hanya sekali dalam sehari. Itu pun banyak perusahaan yang tidak
menyiapkan makan atau perusahaan mengurangi asupan gizi yang harus diberikan
kepada para karyawannya.
Spirit buruh dan
majikan dalam sistem perburuhan modern menjadi spirit yang berhadapan antara
kaum kapitalis dan kaum proletar. Kaum kapitalis melakukan penguatan relasi
dengan kekuasaan untuk memperkuat basis tawarnya sebagai lembaga kapital yang
terorganisasi.
Sedangkan kaum
proletar (buruh) melakukan konsolidasi yang bersifat gerakan massa untuk
melakukan penekanan agar seluruh keringat bahkan darahnya dapat dihitung
secara manusiawi untuk mendapatkan hak-hak kesejahteraan. Peristiwa Hari
Buruh atau yang lebih dikenal dengan May Day seringkali menjadi kenduri yang
menegangkan. Suasana terbangun mencekam, seolah terjadi gelombang manusia
yang ingin memperlihatkan kekuatannya kepada dunia.
Ma Icih tersenyum
ketika mendengar komentar seorang tokoh buruh yang berapi- api menyuarakan
seluruh tuntutan yang menjadi aspirasi perjuangannya. Dengan senyum dikulum
Ma Icih berkata, ”Asa ku teu ngarti aing mah” (saya agak kurang mengerti).
Katanya tokoh buruh mewakili orang susah, tapi rambutnya klimis, mukanya
bersih, kelihatan orang yang suka ke salon, badannya kelihatan subur, penuh
gizi dan vitalitas.
Katanya akan
menyampaikan tuntutan buruhnya agar didengar oleh Presiden, tapi di lain
waktu dia bercerita sering ketemu Presiden. Kata Ema yang bodoh, kalau memang
sering ketemu dan sering ngobrol sama Presiden, kenapa harus ngerahin orang
segala?” Mang Udin menimpali sambil menggosok- gosokkan batu ali
kesayangannya, ”Bener Icih, kadang-kadang Aki juga suka tidak ngerti sama
kelakuan tokoh-tokoh palinter (pandai).
Membahas masalah
kemiskinan, rapatnya di hotel berbintang. Membahas swasembada pangan,
rapatnya di gedung perkantoran. Malahan hari kemarin, Aki harus rapat di
Bandung dengan para penyuluh, Aki dinasehatin bagaimana cara bertani yang
bagus oleh orang pintar. Nasihatnya pakai laptop, melihatnya di layar,
seperti nonton film aja.
Dilihat oleh Aki,
tangannya mulus, kakinya bersih, mukanya putih, berbicara penuh dengan
semangat, dasi meni panjang ngagebay (panjang menjurai).” Si Ikin, tetangga
Mang Udin, yang kebetulan datang sambil bersiul, ikut berbicara sambil
ketawa-ketiwi, ”Betul sekali Aki, Nini apa yang diomongkan. Dipikir-pikir,
buruh yang terorganisasi banyak yang membela dan memperjuangkannya, tapi kuli
cuci pakaian, kuli masak, kuli ngasuh anak, buruh tani, siapa yang
memperjuangkannya? Kalau sakit, siapa yang mengobati?
Kalau terkena golok,
siapa yang ngurus? Nanti kalau sudah tua tidak bisa jadi buruh, siapa yang
ngasih upah? Ah , dalam hal ini saya dan kerabat tukang kuli, tapi bukan,
tidak ada harinya. Katanya Hari Buruh, tapi tetap saja kuli nyangkul, istri
saya harus kuli nyuci pakaian sebab kalau tidak kuli, tidak akan punya upah.
Tidak ada yang
menjamin, yang menjanjikan menjaminnya hanya datang lima tahun sekali, hanya
diupah kaos tipis. Dari mulai pemilihan sampai sekarang, tidak pernah nongol,
lantaran selalu ribut saja di Jakarta. Enggak tahu memperebutkan apa.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar