Minggu, 17 Mei 2015

Tiga ’’Jangan Pernah’’ Melawan Pelacuran

Tiga ’’Jangan Pernah’’ Melawan Pelacuran

Reza Indragiri Amriel   ;  Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
JAWA POS, 15 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

"KALAU polisi ingin diperhatikan masyarakat, tangani kasus-kasus kelas tinggi. Korupsi, pembalakan hutan, terorisme, dan yang lain. Namun, kalau ingin dipercaya masyarakat, dan kepercayaan jauh lebih mendasar lagi lebih penting ketimbang perhatian, polisi sepatutnya mengatasi masalah yang secara langsung mengganggu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mereka.’’

Berpijak kepada hukum sebab akibat itulah, operasi penangkapan terhadap AA –pelacur daring (dalam jaringan) kelas wahid– menjadi salah satu aksi yang sangat menjanjikan bagi Polri untuk merengkuh kembali kepercayaan publik. Tetapi, semangat yang tampak berkobar-kobar di segmen awal malah mulai menunjukkan tanda-tanda melempem pada segmen-segmen berikutnya. Itu terjadi karena dalam perkembangannya hingga kini, pengungkapan kasus tersebut seolah dibendung hanya sampai RA yang disebut-sebut sebagai mucikari AA.

Betapapun demikian, pantas mengharapkan itu hanya permulaan kerja polisi. Nantinya, seiring dengan terangkainya serpihan-serpihan mozaik AA, polisi juga akan menyikat lebih banyak orang lagi.

Nalar sederhana; siapa gerangan orang-orang yang sanggup mengeluarkan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk mendapat layanan seks beberapa jam? Tidak lain, pertama, hanya mereka yang berkocek tebal. Mereka tidak hanya memiliki uang saat akan melakukan transaksi seksual ilegal, tetapi juga berkeyakinan bahwa setelah kontak seksual tersebut dilakukan mereka masih mempunyai sumber daya finansial berikutnya.

Kedua, para penikmat layanan pelacuran itu adalah mereka yang berkuasa. Seks dijadikan alat barter –mungkin bagian proses lobi– oleh pihak lain yang berkepentingan dengan kekuasaan tersebut.

Dari situ, sungguh beralasan untuk bersyakwasangka bahwa kasus AA dan pelacur daring bertarif fantastis lainnya bukan ihwal skandal seks semata. Namun, itu menjalar ke mana-mana, ada aroma penyalahgunaan kekuasaan, ada bau tengik kebobrokan moral orang-orang penting dan punya pengaruh di negeri ini, ada semerbak busuk gratifikasi seks, yang berembus dari tubuh AA. Atas dasar itulah, untuk memastikan bahwa penindakan terhadap kasus pelacuran daring tidak sebatas operasi kelas sinetron, kepolisian perlu terus disemangati untuk mengendus serbaneka bebauan tidak sedap itu. Lembaga penegakan hukum dan masyarakat memiliki kepentingan untuk mencari tahu siapa gerangan nama-nama pemangku peran dan jabatan mentereng yang punya kelakuan tidak semenggah. Andaikan mereka adalah tokoh-tokoh yang sebelumnya terpilih lewat uji kepatutan dan kelayakan, dan kini nyata publik terkelabui oleh uji yang majal itu, pengungkapan lebih jauh kasus tersebut bakal menjadi koreksi atas itu semua sehingga dapat menyegerakan lengsernya orang-orang bejat tersebut.

Sebagian kalangan justru sinis terhadap polisi dan kalangan lain yang menggebu-gebu agar kasus pelacuran daring dibongkar hingga ke akar-akarnya. Kalangan itu beranggapan bahwa pelacuran bukan masalah yang perlu diprioritaskan karena toh ada sejak zaman purbakala. Sempat pula diutarakan bahwa pelacuran sudah menjadi bagian dari kebudayaan. Ahok, gubernur DKI, menggunakan ekspresi, ’’Bahkan, Nabi pun tidak mampu memberantas prostitusi.’’

Kelompok yang tidak antusias dengan tombol panik yang telah ditekan polisi hanya menggunakan logika separo bahwa segala sesuatu yang telanjur dianggap mendarah daging sudah pasti tidak dapat dielakkan. Ahok pun, agaknya, perlu diluruskan bahwa apa yang dia sebut sebagai ’’ketidakmampuan Nabi’’ sesungguhnya tidak berarti bahwa Nabi pernah membiarkan, apalagi sudah angkat tangan terhadap fenomena pelacuran.

Terwakili oleh majas bahwa selemah-lemahnya iman adalah hati yang meneriakkan kata ’’tidak!’’ terhadap kesesatan, sejak zaman Nabi semangatnya sudah jelas: bahkan kerusakan kronis yang menjangkiti lintas generasi pun tetap harus dilawan. Demikian pula halnya dengan adanya satu ganjaran kebaikan bagi setiap kaki yang melangkah, terlepas apakah langkah itu akan mampu maupun gagal mengantar si empunya kaki ke tujuan, lagi-lagi sejak masa Nabi terkirim pesan nyata: ikhtiar menjadi kemutlakan sekaligus kemuliaan. Puncaknya adalah kata-kata bijak bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu berkeinginan kuat mengubah nasibnya sendiri menjadi tamparan memalukan: kegagalan kita atau bahkan dunia menghapus pelacuran terjadi karena ketiadaan tekad baja untuk menghentikan seks liar.

Satu lagi, gerak yang mulai terseok-seok untuk menguliti kasus AA adalah disebabkan ketentuan pidana yang tidak memadai. AA tidak ditahan karena pasal 296 KUHP sebatas menjangkau germo, bukan si pelacur. Karena itulah, muncul pendapat bahwa pasal tersebut harus direvisi agar pelacur seperti AA juga bisa dikirim ke bui. Alternatif kedua, perlu disusun regulasi lain untuk maksud yang sama.

Pemikiran di atas bagus adanya. Kendati begitu, Tacitus berkhotbah, ’’Corruptissima re publica plurimae legs (Semakin bobrok kehidupan republik semakin banyak hukum yang disusunnya)’’. Itu bermakna, perlawanan terhadap pelacuran sesungguhnya tidak harus menunggu sampai hukum menjadi sempurna atau menanti hingga rampungnya penyusunan peraturan baru. Masyarakat memiliki mekanisme yang disebut sebagai sanksi sosial. Terhadap pelacur bertipe pekerja seksual komersial (orang-orang yang menjadi pelacur atas sebagai pilihan sadar dan sengaja bahkan profesional, bukan menjadi pelacur karena keterpaksaan), apalagi yang menyambi sebagai artis, masyarakat bisa menghukum mereka dengan sekian banyak cara yang tidak melawan hukum. Jangan beli rekamannya, jangan tonton sinetronnya, jangan memberikan panggung kepadanya.

Jadi, jangan pernah menyerah terhadap orang-orang besar yang berusaha mengerdilkan proses hukum. Jangan pernah pasrah terhadap watak jahiliyah yang –katanya– kadung membudaya. Dan jangan pernah kalah terhadap hukum tertulis yang tidak akan pernah sempurna.

Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar