Tiga
’’Jangan Pernah’’ Melawan Pelacuran
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik, The University
of Melbourne
|
JAWA POS, 15 Mei 2015
"KALAU polisi ingin diperhatikan masyarakat,
tangani kasus-kasus kelas tinggi. Korupsi, pembalakan hutan, terorisme, dan
yang lain. Namun, kalau ingin dipercaya masyarakat, dan kepercayaan jauh
lebih mendasar lagi lebih penting ketimbang perhatian, polisi sepatutnya
mengatasi masalah yang secara langsung mengganggu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
mereka.’’
Berpijak
kepada hukum sebab akibat itulah, operasi penangkapan terhadap AA –pelacur
daring (dalam jaringan) kelas wahid– menjadi salah satu aksi yang sangat
menjanjikan bagi Polri untuk merengkuh kembali kepercayaan publik. Tetapi, semangat
yang tampak berkobar-kobar di segmen awal malah mulai menunjukkan tanda-tanda
melempem pada segmen-segmen berikutnya. Itu terjadi karena dalam
perkembangannya hingga kini, pengungkapan kasus tersebut seolah dibendung
hanya sampai RA yang disebut-sebut sebagai mucikari AA.
Betapapun
demikian, pantas mengharapkan itu hanya permulaan kerja polisi. Nantinya,
seiring dengan terangkainya serpihan-serpihan mozaik AA, polisi juga akan
menyikat lebih banyak orang lagi.
Nalar
sederhana; siapa gerangan orang-orang yang sanggup mengeluarkan uang puluhan
hingga ratusan juta rupiah untuk mendapat layanan seks beberapa jam? Tidak
lain, pertama, hanya mereka yang berkocek tebal. Mereka tidak hanya memiliki
uang saat akan melakukan transaksi seksual ilegal, tetapi juga berkeyakinan
bahwa setelah kontak seksual tersebut dilakukan mereka masih mempunyai sumber
daya finansial berikutnya.
Kedua,
para penikmat layanan pelacuran itu adalah mereka yang berkuasa. Seks
dijadikan alat barter –mungkin bagian proses lobi– oleh pihak lain yang
berkepentingan dengan kekuasaan tersebut.
Dari
situ, sungguh beralasan untuk bersyakwasangka bahwa kasus AA dan pelacur
daring bertarif fantastis lainnya bukan ihwal skandal seks semata. Namun, itu
menjalar ke mana-mana, ada aroma penyalahgunaan kekuasaan, ada bau tengik
kebobrokan moral orang-orang penting dan punya pengaruh di negeri ini, ada
semerbak busuk gratifikasi seks, yang berembus dari tubuh AA. Atas dasar
itulah, untuk memastikan bahwa penindakan terhadap kasus pelacuran daring tidak
sebatas operasi kelas sinetron, kepolisian perlu terus disemangati untuk
mengendus serbaneka bebauan tidak sedap itu. Lembaga penegakan hukum dan
masyarakat memiliki kepentingan untuk mencari tahu siapa gerangan nama-nama
pemangku peran dan jabatan mentereng yang punya kelakuan tidak semenggah.
Andaikan mereka adalah tokoh-tokoh yang sebelumnya terpilih lewat uji
kepatutan dan kelayakan, dan kini nyata publik terkelabui oleh uji yang majal
itu, pengungkapan lebih jauh kasus tersebut bakal menjadi koreksi atas itu
semua sehingga dapat menyegerakan lengsernya orang-orang bejat tersebut.
Sebagian
kalangan justru sinis terhadap polisi dan kalangan lain yang menggebu-gebu
agar kasus pelacuran daring dibongkar hingga ke akar-akarnya. Kalangan itu
beranggapan bahwa pelacuran bukan masalah yang perlu diprioritaskan karena
toh ada sejak zaman purbakala. Sempat pula diutarakan bahwa pelacuran sudah
menjadi bagian dari kebudayaan. Ahok, gubernur DKI, menggunakan ekspresi,
’’Bahkan, Nabi pun tidak mampu memberantas prostitusi.’’
Kelompok
yang tidak antusias dengan tombol panik yang telah ditekan polisi hanya
menggunakan logika separo bahwa segala sesuatu yang telanjur dianggap
mendarah daging sudah pasti tidak dapat dielakkan. Ahok pun, agaknya, perlu
diluruskan bahwa apa yang dia sebut sebagai ’’ketidakmampuan Nabi’’
sesungguhnya tidak berarti bahwa Nabi pernah membiarkan, apalagi sudah angkat
tangan terhadap fenomena pelacuran.
Terwakili
oleh majas bahwa selemah-lemahnya
iman adalah hati yang meneriakkan kata ’’tidak!’’ terhadap kesesatan, sejak
zaman Nabi semangatnya sudah jelas: bahkan kerusakan kronis yang menjangkiti
lintas generasi pun tetap harus dilawan. Demikian pula halnya dengan adanya
satu ganjaran kebaikan bagi setiap kaki yang melangkah, terlepas apakah
langkah itu akan mampu maupun gagal mengantar si empunya kaki ke tujuan,
lagi-lagi sejak masa Nabi terkirim pesan nyata: ikhtiar menjadi kemutlakan
sekaligus kemuliaan. Puncaknya adalah kata-kata bijak bahwa Tuhan tidak akan
mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu berkeinginan kuat mengubah
nasibnya sendiri menjadi tamparan memalukan: kegagalan kita atau bahkan dunia
menghapus pelacuran terjadi karena ketiadaan tekad baja untuk menghentikan
seks liar.
Satu
lagi, gerak yang mulai terseok-seok untuk menguliti kasus AA adalah
disebabkan ketentuan pidana yang tidak memadai. AA tidak ditahan karena pasal
296 KUHP sebatas menjangkau germo, bukan si pelacur. Karena itulah, muncul
pendapat bahwa pasal tersebut harus direvisi agar pelacur seperti AA juga bisa
dikirim ke bui. Alternatif kedua, perlu disusun regulasi lain untuk maksud
yang sama.
Pemikiran
di atas bagus adanya. Kendati begitu, Tacitus berkhotbah, ’’Corruptissima re publica plurimae legs
(Semakin bobrok kehidupan republik semakin banyak hukum yang disusunnya)’’.
Itu bermakna, perlawanan terhadap pelacuran sesungguhnya tidak harus menunggu
sampai hukum menjadi sempurna atau menanti hingga rampungnya penyusunan
peraturan baru. Masyarakat memiliki mekanisme yang disebut sebagai sanksi
sosial. Terhadap pelacur bertipe pekerja seksual komersial (orang-orang yang
menjadi pelacur atas sebagai pilihan sadar dan sengaja bahkan profesional,
bukan menjadi pelacur karena keterpaksaan), apalagi yang menyambi sebagai
artis, masyarakat bisa menghukum mereka dengan sekian banyak cara yang tidak
melawan hukum. Jangan beli rekamannya, jangan tonton sinetronnya, jangan
memberikan panggung kepadanya.
Jadi,
jangan pernah menyerah terhadap orang-orang besar yang berusaha mengerdilkan
proses hukum. Jangan pernah pasrah terhadap watak jahiliyah yang –katanya–
kadung membudaya. Dan jangan pernah kalah terhadap hukum tertulis yang tidak
akan pernah sempurna.
Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar