Swasembada
Tanpa Petani
Dwi Andreas Santosa ; Guru Besar Fakultas Pertanian IPB; Ketua
Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI); Associate
Scholar CORE Indonesia
|
KOMPAS, 11 Mei 2015
Tanggal 4 Mei 2015,
Badan Pusat Statistik mengeluarkan laporan tentang perkembangan Nilai Tukar
Petani pada April 2015. NTP menggambarkan tingkat kesejahteraan petani. Jika
NTP menurun, tingkat kesejahteraan petani juga menurun, demikian pula
sebaliknya.
NTP Maret 2015 turun
0,64 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya menjadi 101,53 (BPS,
1/4/2015). Pada bulan tersebut penurunan terbesar di sektor tanaman pangan,
yaitu dari 102,03 menjadi 100,80 atau minus 1,21. Sebaliknya indeks harga
yang dibayar petani justru naik dari 118,15 menjadi 118,70. Pada saat yang
sama terjadi inflasi di kawasan pertanian (perdesaan) sebesar 0,48 persen
disebabkan naiknya indeks semua kelompok konsumsi. Kelompok yang paling
menderita adalah petani perkebunan rakyat, NTP sudah di bawah 100, yaitu
97,60 pada Februari 2015 dan turun menjadi 97,46 pada Maret 2015 serta turun
lagi menjadi 97,07 (April 2015).
Pada April 2015,
ketika harga beras tetap bertahan tinggi-dan logika sebagian orang dan
pejabat-akan menguntungkan petani, NTP justru terjerembap ke titik nadir.
Penurunan NTP pada April 2015 lebih besar dibandingkan dengan Maret 2015,
yaitu minus 1,37 dari 101,53 menjadi 100,14. NTP sektor tanaman pangan
mengalami penurunan terbesar, yaitu minus 3,44 dan masuk ke ambang bahaya karena sudah di
bawah 100 (sebesar 97,33). Dengan demikian, tingkat kesejahteraan petani
tanaman pangan mengalami penurunan tajam selama beberapa bulan terakhir ini.
Kejadian ini sungguh
ironis di tengah berbagai klaim dan upaya yang dilakukan pemerintah enam
bulan terakhir. Ketika Januari-Februari 2015 harga beras tiba-tiba melonjak
drastis hingga 30 persen, upaya keras dilakukan pemerintah dengan melibatkan
Bulog meskipun tidak efektif. Harga turun sedikit karena panen raya, tetapi
kemudian tetap bertahan tinggi pada bulan-bulan selanjutnya. Harga beras yang
tinggi tersebut diasumsikan oleh pemerintah dan berbagai media (termasuk
Kompas) berimbas positif ke harga gabah petani sehingga petani ikut mendulang
untung. Sebaliknya Bulog sangat kesulitan mendapatkan gabah/beras dan hanya mampu
menyerap 500.000 ton beras atau 11 persen dari target 2015. Padahal, biasanya
pada musim rendeng 60 persen dari target (Kompas, 4/5/2015).
Kenyataan yang ada
sungguh di luar itu semua. Pada saat panen raya harga gabah di tingkat petani
turun drastis. Laporan yang kami terima dari seluruh jaringan Asosiasi Bank
Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) harga gabah di tingkat petani
hanya sekitar Rp 2.900-Rp 3.600 di Jawa Timur dan Jawa Tengah, sedangkan di
Jawa Barat hanya sekitar Rp 2.700-Rp 3.300/kg. Info terakhir dari Jawa Timur
harga gabah di tingkat petani hanya Rp 3.000-Rp 3.400/kg (4/5/2015). Lalu
mengapa dilaporkan harga gabah sudah di atas harga pembelian pemerintah (HPP)
bahkan di atas Rp 4.000/kg? Harga gabah tersebut ternyata bukan di tingkat
petani melainkan dari para tengkulak. Laporan dari AB2TI Indramayu, harga
gabah kering panen (GKP) di tangan tengkulak sudah mencapai Rp 4.400-Rp
4.700/kg.
Ketika harga beras
naik pada Januari 2015, Presiden, para menteri, dan Bulog turun langsung. Akan
tetapi, ketika petani menangis karena harga gabah tiba-tiba jatuh, tidak satu
pun yang muncul, bahkan media-media besar nasional diam. Laporan jaringan
AB2TI kemudian terefleksikan dalam wujud NTP yang turun drastis dua bulan
terakhir ini. Petani kecil juga tercederai dengan penetapan HPP melalui
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 yang hanya naik sebesar 10,6
persen-12,0 persen, jauh lebih rendah daripada total inflasi selama tiga
tahun terakhir sebesar 21,03 persen.
Klaim sangat
terburu-buru Menteri Pertanian bahwa kita akan surplus beras besar dan
pemerintah akan stop impor beras pada tahun ini menyebabkan harga beras (yang
tidak dikuasai petani) bergejolak besar. Terjadi perebutan beras antar
pedagang dan spekulan beras dengan Bulog serta petani terjepit di tengahnya.
Sering kali pedagang lebih tahu dibandingkan dengan pemerintah terkait berapa
sesungguhnya beras dan gabah yang tersedia saat ini. Harga beras yang tinggi
sungguh menyengsarakan petani karena petani juga konsumen.
Swasembada pangan
Lalu apa artinya
swasembada tanpa petani, apakah bisa swasembada tercapai tanpa petani atau
dengan mengorbankan petani? Jawabannya dengan tegas: tidak! Upaya untuk
mencapai swasembada pangan justru diawali oleh petani-petani kecil bersama 12
mahasiswa dan 7 asisten dosen IPB yang melaksanakan demonstrasi massal di
lahan seluas 100 hektar di Karawang pada 1963.
Gerakan tersebut
kemudian diambil alih oleh pemerintah pada 1967/1968 melalui program
intensifikasi seluas 1 juta hektar melalui bimbingan massal dan instruksi
massal.
Pada saat itu secara
besar-besaran diintroduksi varietas unggul PB8 dan Sistem Panca Usaha yang
terdiri dari penggunaan bibit unggul, pupuk sintetik, racun hama, perbaikan
teknologi, dan pembangunan irigasi.
Upaya untuk mencapai
swasembada pangan dikembangkan lebih lanjut melalui Pelita I (1969-1974) dan
pemerintah menggelontorkan 30 persen APBN untuk sektor pertanian. Produksi
beras selama periode awal program tersebut (1967-1971) meningkat drastis
dengan rata-rata 7,98 persen per tahun.
Akhir swasembada
Pada Pelita II dampak
negatif Sistem Panca Usaha muncul, menyebabkan produksi beras merosot akibat
serangan hama yang masif. Meskipun demikian, produksi beras tercatat masih
mengalami peningkatan cukup tinggi, yaitu rata-rata 4,43 persen per tahun
(1975-1979), walaupun data tersebut diragukan karena kenyataannya Indonesia
mengimpor beras hingga dua juta ton pada 1980.
Untuk menggenjot
produksi anggaran sektor pertanian pada 1980/1981 dinaikkan hampir dua kali
lipat dibandingkan dengan anggaran tahun-tahun sebelumnya. Produksi kemudian
berangsur-angsur meningkat kembali (sebesar 6,54 persen per tahun pada
periode 1980-1984), impor menurun dan Indonesia mencapai swasembada beras
pada 1984.
Pada tahun-tahun
selanjutnya, laju peningkatan produksi terus mengalami penurunan, yaitu dari
6,54 persen menjadi 3,49 persen pada periode 1985-1990 dan 2,15 persen pada
1990-1996. Pada 1995, Indonesia impor beras lagi sebesar 3 juta ton dan 3
tahun kemudian (tahun 1998) melakukan impor beras terbesar sepanjang sejarah,
yaitu sebesar 6,07 juta ton bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru.
Sejak didengungkan
konsep swasembada pangan, sebagian besar kebijakan dan program ditujukan
untuk peningkatan produksi beras, politik pangan menjadi politik beras, dan
swasembada pangan berubah ujud menjadi swasembada beras. Keberhasilan
Kementerian Pertanian juga diukur dengan peningkatan/penurunan produksi padi
atau beras. Komoditas lain praktis dilupakan sehingga Indonesia saat ini
menjadi pengimpor besar di dunia untuk kedelai, jagung, gula, dan belasan
produk pangan lainnya. Bahkan untuk gandum Indonesia saat ini merupakan
pengimpor gandum terbesar kedua setelah Mesir.
Swasembada pangan
selalu menjadi jargon setiap pemerintahan. Solusi yang diambil adalah selalu
peningkatan anggaran di sektor pangan dan pertanian yang sebagian besar
digunakan untuk membantu produsen pupuk, produsen benih, produsen traktor dan
alat pertanian, produsen pestisida, serta produsen input lainnya. Upaya
terpenting, yakni peningkatan kesejahteraan petani melalui subsidi output
(harga produk pertanian di tingkat petani) justru tidak pernah dilakukan.
Akibatnya, hampir semua program swasembada pangan dalam 30 tahun terakhir ini
gagal.
Pada masa pemerintah
sebelumnya (2005-2014) anggaran pertanian dan pangan meningkat sebesar 611
persen (BKF 2014) dan Kementerian Pertanian menargetkan surplus beras sebesar
10 juta ton pada 2014. Kenyataan yang terjadi impor pangan meningkat sebesar
346 persen pada periode 2003-2013 (BPS 2014) dan impor beras pada 2014
sebesar 1,225 juta ton (DA Santosa, "Waspada Pangan 2015", Kompas
[10/3/2015]). Anggaran sektor pertanian pada 2015 ini juga meningkat luar
biasa tinggi, yaitu di atas 100 persen dibandingkan dengan pada 2014, tetapi
sayangnya kebijakan, program dan pola yang digunakan dalam penggunaan
anggaran tersebut praktis tidak berbeda dengan sebelumnya.
Pembangunan pertanian
dengan melupakan petani dan menjadikan petani hanya sebagai obyek kebijakan
dipastikan gagal. Diperlukan perombakan mendasar pembangunan pertanian yang
memuliakan dan menyejahterakan petani. Ketika petani sejahtera, semua lainnya
(peningkatan produksi pangan) akan ikut dengan sendirinya. Petani tidak akan
pernah lupa bahwa merekalah yang memenangkan Presiden saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar