Solidaritas
ASEAN terhadap Rohingya
Irine Yusiana Roba ; Anggota
Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan
|
JAWA POS, 22 Mei 2015
MENGHADAPI
krisis kemanusiaan ribuan pengungsi Rohingya yang kini di laut dan mencari
daratan, kita sebagai bangsa yang bermartabat hanya memiliki satu pilihan:
membantu mereka. Dengan pilihan itu, yang menjadi diskusi adalah bagaimana
wujud bantuan tersebut di tengah berbagai tantangan yang ada.
Sebagai
anggota DPR yang awal April lalu mengunjungi Myanmar dalam misi ASEAN
Parliamentarians for Human Rights (APHR), menurut saya, ada tiga tantangan
utama dalam kasus pengungsi Rohingya. Yaitu Myanmar yang tidak mengakui
mereka sebagai warga negara, sebagian pengungsi adalah warga yang dijanjikan
pekerjaan dan dimobilisasi agen buruh ilegal, serta jumlah pengungsi yang
sangat banyak dan akan terus bertambah di kemudian hari.
Lalu apa
wujud kepedulian dan bantuan kita sebagai negara anggota ASEAN? Pertama, yang
harus kita tempuh saat ini adalah solusi jangka pendek terlebih dahulu.
Sebab, kita tidak bisa membiarkan mereka kelaparan dan meninggal di laut.
Mengusir pengungsi Myanmar melanggar konvensi internasional tentang
penyiksaan. Iktikad baik Presiden Joko Widodo mau menerima pengungsi
seharusnya diterjemahkan seluruh aparatur negara yang terkait. Bukan malah
berbeda pandangan dan reaktif cenderung mengusir pengungsi.
Kita
bisa menampung mereka di kamp penampungan sementara. Ini adalah prinsip
kemanusiaan dan etika maritim global. Seperti halnya para nelayan Aceh yang
membantu mereka secara spontan karena para nelayan itu juga pernah dibantu
warga asing saat membutuhkan pertolongan di laut.
Bagi
orang Rohingya, ini sudah menjadi perkara hidup mati dan para pengungsi
tersebut tidak membawa senjata ataupun berpotensi membahayakan keamanan dalam
jangka waktu pendek ini. Selain itu, dalam penanganannya, jangan sampai para
pengungsi tersebut hanya bergantung pada kebaikan dari lembaga-lembaga
internasional, juga program-program kemanusiaan. Sehingga diperlukan solusi komprehensif.
Sebab, jika terjadi pembiaran terlalu lama di rumah detensi, akan lahir
masalah-masalah sosial tersendiri.
Kedua,
sambil melakukan hal di atas, kita harus mengedepankan langkah diplomatik
dalam mencari solusi regional. ASEAN memang menjalankan prinsip nonintervensi
dalam hubungan antaranggota, tapi krisis Rohingya bukan lagi perkara internal
Myanmar. Itu sudah menjadi perkara regional. Langkah diplomasi tersebut juga
sedang dilakukan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang menemui menteri luar negeri
Malaysia dan Thailand pada 20 Mei di Malaysia. Saya sangat mengapresiasi
respons pemerintah dalam hal ini. Inisiatif melakukan pertemuan regional yang
dilakukan menteri luar negeri adalah momentum penguatan solidaritas ASEAN
dalam masalah-masalah kemanusiaan.
Negara
ASEAN bisa mengambil contoh bagaimana negara-negara Uni Eropa (UE) menangani
pengungsi Afrika yang mencari suaka dengan mengarungi Laut Mediterania.
Awalnya para pengungsi yang bertolak dari Libya itu memang kesulitan mencari
tempat. Tapi, pertimbangan kemanusiaanlah yang akhirnya mendorong
negara-negara UE untuk duduk berdiskusi mencari solusi regional bagi masalah
tersebut. Tingkat kompleksitas pengungsi Afrika itu jauh lebih tinggi
daripada pengungsi Rohingya. Selain jumlah mereka yang lebih besar, asal
pengungsi berada di luar kawasan regional mereka.
Langkah
diplomasi tersebut, meski sulit dan lama, adalah satu-satunya harapan untuk
menemukan solusi atas tiga tantangan utama di atas. Langkah riil juga perlu
dibicarakan dan diambil untuk menghentikan arus pengungsi Rohingya dari
asalnya.
Indonesia
adalah negara di ASEAN yang demokrasinya paling maju. Pemilihan umum presiden
langsung yang sukses tahun lalu dipuji negara-negara ASEAN dan komunitas
internasional sebagai salah satu yang terbaik di kawasan Asia Tenggara.
Karena itu, kita harus percaya diri untuk mengambil inisiatif dalam perkara
ini. Kita adalah negara terbesar di Asia Tenggara.
Ketiga,
krisis ini juga merupakan ajang uji coba kesiapan ASEAN menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015. Berdasar informasi yang penulis peroleh
dari diplomat RI di Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam, sebagian pengungsi
di Laut Andaman itu diatur agen tenaga kerja ilegal yang hendak menyalurkan
mereka ke Malaysia dan Australia. Bila bisnis ilegal tersebut tidak kita cari
solusinya sekarang, bisa diperkirakan jumlah arus tenaga kerja itu terus
bertambah saat MEA diberlakukan.
MEA 2015
adalah sebuah peluang sekaligus tantangan besar. Indonesia, sebagai negara
terbesar di ASEAN, bisa menjadikan krisis Rohingya sebagai pintu masuk untuk
menciptakan model dalam mengantisipasi tenaga kerja ilegal. Berdasar
pengalaman krisis ini, hak asasi manusia harus dipakai sebagai standar dalam
segala bentuk kerja sama.
Sebagai
salah satu langkah awal, Indonesia bisa mengusulkan agar negara-negara ASEAN
meratifikasi Konvensi PBB 1951 dan Protokol PBB 1967 tentang status
pengungsi. Dengan ini, kita akan memiliki pijakan yang jelas untuk penanganan
pengungsi.
ASEAN
harus berani menekan Myanmar untuk membicarakan kehidupan orang Rohingya
karena selama ini Myanmar selalu menghindari diskusi tersebut. Kalau tidak,
keberadaannya dalam MEA nanti hanya merugikan negara lain. Aturan mengenai
sanksi tentu harus diperjelas bagi negara yang melanggar bentuk kerja sama
dalam ASEAN ini. Jika kita tidak bisa mengambil tindakan bersama untuk
masalah kemanusiaan yang mendesak tersebut, bagaimana kita mencapai tujuan
komunitas ASEAN seperti menciptakan kedamaian dan keamanan regional serta
mendorong peran ASEAN di tingkat global? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar