Sabtu, 23 Mei 2015

Mengembalikan Ijazah

Mengembalikan Ijazah

Akh Muzakki  ;   Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya
JAWA POS, 22 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sekolah atau kuliah merupakan upaya institusionalisasi program pendidikan. Konsekuensinya, produk yang dilahirkan akan mengalami formalisasi oleh negara. Bentuknya adalah sertifikasi kemampuan akademik dan bahkan profesional melalui penyematan ijazah sebagai tanda tamat belajar.

Namun, ujung proses pendidikan adalah memanusiakan manusia melalui pengembangan dan penguasaan kemampuan serta keahlian tertentu. Istilah terkininya adalah kompetensi. Juga, pendidikan sejatinya berorientasi untuk menumbuhkan potensi keterampilan personal-sosial peserta didik yang diperlukan untuk kehidupan ke depan (life skill). Nah, ijazah merupakan ukuran simbolis atas penguasaan kompetensi yang dimaksud.

Ironi besar segera muncul saat ijazah direduksi hanya sebatas formalitas tanpa substansi. Praktiknya, ijazah diberikan hanya untuk kepentingan gagah-gagahan. Kepentingannya untuk menambah kemewahan formalitas semu pribadi. Apalagi formalitas itu berproses melalui mekanisme instan, culas, dan berorientasi bisnis material belaka.

Praktik jual beli ijazah yang kini kembali menyeruak melalui sejumlah kasus di perguruan tinggi menyadarkan bahwa ironi besar tersebut bukan isapan jempol. Sebanyak 18 kampus di Jabodetabek dan satu lagi di NTT dilaporkan Kemenristek Dikti telah melakukan praktik jual beli itu.? Ijazah S-1 diperjualbelikan dengan kisaran harga Rp 16 juta–Rp 25 juta. Kini Kemenristek Dikti menelusuri praktik jual beli ijazah tersebut (Jawa Pos, 19/5/2015).

Kasus jual beli ijazah itu mengingatkan kita pada kasus serupa di beberapa kota pada 2008. Istilah populer untuk menggambarkan kasus tersebut saat itu adalah ’’sarjana bodong’’ atau ’’mahasiswa dan sarjana gadungan’’. Kasus-kasus itu tidak saja terjadi di kampus swasta, melainkan juga di kampus negeri.

Kasus jual beli ijazah tidak menjadi dominasi nomenklatur keilmuan tertentu. Pada 2008, jual beli ijazah terjadi pada program studi yang terkait dengan teknologi dan kedokteran. Kini praktik itu kebanyakan terjadi di jurusan-jurusan yang terkait dengan ilmu ekonomi dan hukum (detik.com, 20/5/2015).

Itu semua menjelaskan bahwa praktik culas jual beli ijazah terjadi hampir merata di berbagai disiplin keilmuan. Karena itu, terasa mendesak bagi kita semua untuk menelaah dan merefleksikan kembali filosofi serta substansi dasar konsep ijazah. Penelaahan ini penting dilakukan agar bisa menjadi bahan baku sekaligus langkah awal untuk membenahi moral pendidikan tinggi nasional.

’’Ijazah’’ merupakan kata bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab. Dalam bahasa aslinya, ’’ijazah’’ tidak terlepas dari dua substansi dasar: sistem transmisi otoritas akademik dan ketersambungan otentisitas. Dalam khazanah akademik yang berlaku dalam bahasa dan peradaban Arab, konsep ’’ijazah’’ diambil dan kerap diidentikkan dengan tradisi periwayatan hadis dalam tradisi keilmuan Islam.

Sistem transmisi hadis didasarkan pada penggunaan isnad (mata rantai transmisi periwayatan) yang menyertai matan (isi kandungan teks) setiap hadis. Isnad berperan untuk mendukung keaslian periwayatan hadis. Kepentingannya, mata rantai ketersambungan para periwayat hadis dengan Rasulullah Muhammad SAW bisa dijamin. Juga, otentisitas serta validitas substansi hadis bisa digaransi.

Praktik pemberian ijazah yang berlaku luas saat ini layak belajar dari konsep isnad. Riilnya, isnad memiliki peran yang sangat penting karena terkait dengan pemberian otoritas akademik. William A. Graham, pakar studi agama dari Harvard University, dalam tulisannya Traditionalism in Islam: An Essay in Interpretation (lihat The Journal of Interdisciplinary History, vol 23, no 3 [1993]: 502) menjelaskan bahwa isnad merupakan proses penyematan atau pemberian otoritas. Dasarnya adalah ketersambungan dengan asal tradisi suci melalui mata rantai transmisi pribadi dan jaringan individu-individu yang mewakili setiap generasi yang terkait dari sumber aslinya (Nabi Muhammad atau salah satu sahabatnya) hingga periwayat terakhir.

Sistem ijazah, awalnya, memang merupakan proses dan bentuk sertifikasi personal (personal certification). Yakni, pemberian otoritas akademik lebih didasarkan pada kredibilitas personal seorang individu dan dilakukan melalui jaringan personal. Dipraktikannya konsep isnad dalam keilmuan hadis tersebut sangat jelas menunjukkan kuatnya sertifikasi personal yang dimaksud.

Namun, dalam perkembangan berikutnya, sertifikasi kelembagaan (institutional certification) menguat. Otorisasi tidak saja dilakukan melalui ijazah lisan-personal lewat transmisi face-to-face antara guru dan murid, melainkan juga ijazah formal melalui transmisi hadis yang bisa memvalidasi teks hadis tertulis. Dalam ijazah formal itu, guru memberikan sertifikasi untuk menjamin ketersambungan dan silsilah ilmiahnya ke gurunya untuk terus kembali kepada Nabi Muhammad melalui sahabat, seorang syekh/guru, atau penulis buku tertentu (William A. Graham, 1993: 511).

Jadi, ijazah merupakan bentuk otorisasi yang menunjuk pada ketepercayaan dan penjaminan apakah tradisi dan atau kompetensi tertentu telah ditransmisikan atau dialihkan melalui jaringan tepercaya lintas generasi. Mekanisme ijazah seperti itu penting untuk menjamin sistem transmisi otoritas akademik dan ketersambungan otentisitas.

Sebagai refleksi atas kondisi saat ini, praktik pemberian ijazah selayaknya menunjuk pada dua makna mendasar. Pertama, pemegang ijazah berarti bahwa kompetensinya pada bidang yang ditekuni sudah diakui. Pengakuan atas kompetensi itu menunjukkan bahwa penguasaan yang bersangkutan terhadap standar kemampuan yang diinginkan diakui secara formal.

Kedua, pemegang ijazah berarti bahwa otoritasnya dalam bidang yang dikuasai dianggap sudah terjamin. Sebagai akibat langsung dari penjaminan otoritas yang dimaksud, pemegang ijazah diakui sangat layak dijadikan referensi bagi standardisasi kemampuan dan keterampilan apa pun yang terkait dengan bidang yang ditekuni.

Mengacu pada prinsip tersebut, praktik jual beli ijazah hanya akan meruntuhkan substansi ijazah yang begitu luhur. Tidak ada manfaat substantif dari praktik jual beli ijazah kecuali justru membanting harga kemanusiaan bangsa ini. Kalau praktik culas jual beli ijazah tersebut tidak ditangani serius, pendidikan yang sejatinya memanusiakan manusia justru akan menjerumuskan manusia ke jurang kehinaan karena praktik hidup tanpa makna substantif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar