Selasa, 19 Mei 2015

Praperadilan di Indonesia

Praperadilan di Indonesia

Romli Atmasasmita   ;  Guru Besar (Emeritus)
Universitas Padjadjaran dan Universitas Pasundan
KORAN SINDO, 18 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Persoalan serius dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia pascaputusan praperadilan perkara BG dan IAS adalah ketentuan mengenai praperadilan, tidak lagi ketentuan mengenai hukum pembuktian semata-mata karena putusan praperadilan dapat mencegah ketidakadilan pencari keadilan dari tindakan sewenang-wenang penyidik.

Putusan praperadilan, sekalipun bukan forum pembuktian atas kesalahan terdakwa, memiliki nilai HAM tertinggi dibandingkan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan praperadilan dimasukkan dalam KUHAP Tahun 1981 sejatinya merupakan upaya para ahli hukum yang diinisiasi antara lain oleh, Adnan Buyung Nasution, pengacara terkemuka ketika itu, petinggi Polri seperti Awaludin Djamin dan Purwoto Gandasubrata (almarhum) serta Ketua MA dan Kejaksaan.

Mereka berkomitmen untuk mengakhiri proses beracara HIR peninggalan masa Hindia Belanda dengan alasan banyak ketentuan acara masih mencerminkan peradaban kolonialisme sehingga diperlukan praperadilan. Praperadilan atau preliminary hearing (sistem Common Law, AS dan Inggris) adalah a criminal hearing to determine whether there is sufficient evidence to prosecute an accused person (BlackBlacks Law Dictionary).

Penekanan sufficient evidence atau bukti yang cukup dan sah baik dalam praperadilan di AS dan Inggris maupun sistem hukum kekuasaan kehakiman Indonesia diakui merupakan benchmark perlindungan HAM in concreto. Logis dan dapat diterima secara hukum jika hakim praperadilan mempertanyakan (1) kecukupan alat bukti (sufficient evidence) vide Pasal 184 jo 183 KUHAP, dan (2) keabsahan perolehannya dalam proses penyidikan.

Tidak dapat dimungkiri tugas hakim praperadilan di negara dengan sistem common law, adalah memverifikasi alat bukti (yang cukup), bahwa telah lengkap dua alat bukti minimal dan perolehannya secara sah dalam penetapan tersangka dan kelima objek praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP.

Untuk menemukan keadilan dan tidak terjadi “perampasan” hak asasi tersangka, hakim praperadilan dapat memperluas tafsir hukum (ekstentif) terhadap pengertian istilah “praperadilan” sesuai dengan perkembangan keadilan masyarakat kekinian. Fungsi dan peranan lembaga praperadilan (preliminary hearing atau pretrial) dalam sistem peradilan di kedua sistem hukum yang diakui universal, sangat strategis.

Hakim praperadilan ditugasi untuk mempersoalkan lingkup dan batas-batas tindakan hukum penyidik yang diperbolehkan sesuai standar perlindungan HAM universal yang telah diakui berdasarkan ratifikasi ICCPR dengan UU RI No 12 Tahun 2005. Ketentuan praperadilan di dalam dua sistem hukum yang diakui universal ini, jelas untuk membuktikan bahwa peradaban manusia abad pasca pembentukan PBB dan Deklarasi HAM Universal (1948) telah berubah.

Bahkan sistem itu berbeda secara mendasar dari masa perbudakan abad ke-15 sampai dengan awal abad pertengahan kepada masa pencerahan dan kemanusiaan masa kini. Ronny Nitibaskara mengatakan bahwa tindakan hukum sewenang-wenang menetapkan status tersangka, menangkap dan menahan termasuk tindak hukum lainnya yang tidak sah; mencerminkan “penjajahan” abad modern dan hukum telah dipergunakan untuk melakukan kejahatan (law as a tool of crime).

Di lapangan hukum administratif, tindakan pejabat publik atau penyelenggara negara/pemerintahan yang merupakan penyalahgunaan wewenang telah diatur di dalam Pasal 17 UU RI No 30 Tahun 2014 tentang Sistem Administrasi Pemerintahan.

Karena itu, sejak pemberlakuannya, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat dimaksud pertama-tama dan diutamakan harus ditafsirkan sebagai atau termasuk tindakan administratif tidak serta-merta dianggap perbuatan yang memuat unsur pidana dan merupakan objek peradilan tata usaha negara, bukan peradilan pidana.

Menurut penulis, proses peradilan TUN terhadap subjek penyelenggara negara analog dengan praperadilan terhadap tindakan aparatur penegak hukum (penyidik) dan keduanya harus dapat dibedakan satu sama lain. Ketentuan praperadilan menurut KUHAP telah diubah di dalam Rancangan KUHAP (2012)-RUU KUHAP 2012, yang dipelopori Andi Hamzah, tercantum dalam Pasal 111 dengan 10 (sepuluh) objek “praperadilan” yang disebut dengan “pemeriksaan pendahuluan”.

RUU KUHAP (2012) bahkan menyentuh pokok perkara seperti bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri; bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah (h) dan layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan (i).

Menurut penulis, setiap fakta yang ditemukan sepanjang proses beracara pidana yang diduga telah melanggar hak asasi seharusnya dapat dipersoalkan oleh tersangka/terdakwa. Masalah itu harus dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam pemeriksaan pokok perkara karena perjuangan hak asasi tidak dapat dibatasi waktu dan tempat.

Lingkup praperadilan atau pemeriksaan pendahuluan sebaiknya diperluas termasuk hak ekonomi, hak sosial dan hak politik setiap orang berdasarkan Bab XA UUD 1945 tentang HAM. Dalam hal ini tentunya harus dirinci perbuatan-perbuatan yang termasuk pelanggaran hak-hak dimaksud agar dapat di-praperadilan-kan atau dijadikan objek pemeriksaan pendahuluan.

Negara tidak memiliki hak untuk membatasi hak setiap orang memperjuangkan keadilan bagi yang bersangkutan terkait dugaan perampasan hak asasinya. Bahkan negara wajib melindungi dan memelihara serta memfasilitasi dan menjunjung tinggi hak asasi setiap orang sesuai dengan amanat UUD 1945.

Keberhasilan praperadilan BG dan IAS seharusnya dipandang dari kacamata (optik) penegakan HAM di Indonesia, bukan hanya semata-mata pandangan (optik) sempit normatif. Dalam penegakan hukum diakui secara universal bahwa prosedur (means) memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan tujuan (goals) sehingga para ahli filsafat hukum modern selalu menyatakan lawas ameansto anend, notan ends in itself. Dalam kalimat penganut aliran hukum modern (Pound dan Mochtar K), law as a tool of social engineering atau law as a tool of social and bureaucratic engineering (RAS).

Dalam mencermati dan mengkritisi ketentuan UU, menurut saya, yang perlu dipahami adalah nilai-nilai (values) di balik setiap norma yang diatur di dalamnya. Oleh karena itu, undang-undang dengan sejumlah pasalnya merupakan sistem nilai (system of values) teori hukum integratif bukan system of norms and logics per se.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar