Optimasi
Pemanfaatan Gas Nasional
Marwan Batubara ; Direktur
Eksekutif IRESS
|
KORAN SINDO, 09 Mei 2015
Peranan minyak bumi
sebagai sumber energi secara perlahan mulai diimbangi oleh gas bumi. Pada
2025, kontribusi gas ditargetkan mencapai 30% dalam bauran energi nasional.
Namun, pada saat yang sama, cadangan minyak diperkirakan semakin berkurang
dan akhirnya habis pada 2030 jika tidak ditemukan cadangan baru. Dewan Energi
Nasional (DEN) memprediksi pada 2020, defisit energi semakin membengkak
hingga membuat Indonesia tak mampu lagi memenuhi kebutuhan energinya sendiri.
Indonesia akan lebih banyak mengimpor kebutuhan energinya, termasuk gas, dan
kondisi ini sudah pasti mengancam ketahanan energi nasional.
Memperhatikan kondisi
di atas, maka Indonesia memerlukan strategi pengembangan energi dan
mereformasi tata kelola migas. Ketika peran gas dalam bauran energi nasional
akan ditingkatkan, tata kelola gas harus diperbaiki. Saat ini dampak negatif
liberalisasi sektor gas nasional telah semakin terasa dengan tidak
tersedianya pasokan, belum terbangunnya infrastruktur, mahalnya harga gas,
dll.
Selain itu, berbagai
ketentuan yang ada dalam UU Migas No.22/2001 yang berlaku saat ini telah
dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh
sebab itu, tata kelola gas nasional harus diperbaiki melalui perbaikan
berbagai peraturan yang berlaku saat ini maupun melalui pembentukan UU Migas
yang baru. Pertama, pemanfaatan gas bumi seharusnya hanya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan domestik.
Pada kontrakkontrak
ekspor gas yang telah telanjur ditandatangani, sedapat mungkin volume gasnya
dikurangi atau dibatalkan sama sekali. Menurut Plt. Dirjen Migas IGN
Wiratmaja Puja di Bogor 4/3/2015), kebutuhan gas pada 2019 akan mencapai
11.049 (juta kaki kubik per hari, MMSCFD), meningkat dari 9.668 MMSCFD pada
saat ini. Wiratmaja mengatakan jika ekspor gas tetap berlangsung maka
kebutuhan 2019 tersebut harus dipenuhi melalui impor gas.
Pusat Energi UU
memperkirakan, dalam skenario kebutuhan gas business as usual dan ekspor
berjalan normal, maka sekitar 47% kebutuhan gas nasional (4214 MMSCFD) pada
2025 harus dipenuhi melalui impor! Pada 2012, pemanfaatan gas nasional
mencapai 7181 MMSCFD sedangkan pada 2013 mencapai 6870 MMSCFD, serta pada
2014 mencapai 7008 MMSCFD.
Seperti diuraikan di
atas pada 2019, kebutuhan akan mencapai 11.049 MMSCFD, saat Indonesia mulai
mengalami defisit gas. Kebutuhan menjadi sekitar 13.000 MMSCFD pada 2025.
Produksi puncak gas nasional akan terjadi pada 2016-2019, saat
lapangan-lapangan IDD Kalimantan Timur, Masela dan LNG Tangguh 3 berproduksi.
Setelah itu, meskipun lapangan Natuna Timur mulai berproduksi pada 2023-2025,
produksi gas nasional selalu defisit terhadap kebutuhan.
Itulah sebabnya
pengurangan atau pembatalan ekspor gas mutlak dilakukan. Kedua, perbaikan
tata kelola gas harus diakukan guna mendukung ketahanan dan kemandirian
energi serta pembangunan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, pemerintah
harus konsisten menjalankan paradigma yang mendasari tata kelola gas
nasional, yakni menjadikan gas bumi sebagai modal pembangunan.
Paradigma yang
menjadikan gas sebagai komoditas penghasil penerimaan negara, terutama
melalui ekspor gas, harus segara dihilangkan. Gas bumi seharusnya berperan
sebagai energi untuk mendukung industri dan bahan baku (feedstock) untuk menghasilkan produk-produk turunan bernilai
tambah tinggi.
Paradigma pengelolaan ini harus dijalankan
konsisten dengan rencana penghilangan ekspor gas yang dilakukan bukan karena
keberlimpahan gas, tapi karena kebutuhan pendapatan negara dan keterbatasan
infrastruktur domestik. Ketiga, pemanfaatan gas harus didasarkan pada
optimasi penggunaan yang terdapat pada berbagai sektor. Urutan prioritas yang
berlaku saat ini adalah seperti yang diatur dalam Pasal 6 Permen ESDM Nomor 3
Tahun 2010 tentang Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan
Dalam Negeri.
Permen tersebut
mengatur, urutan prioritas pemanfaatan gas adalah untuk peningkatan produksi
minyak, industri pupuk, penyediaan tenaga listrik dan industri lainnya.
Prioritas pemanfaatan gas tersebut harus diubah dengan menerapkan prioritas
alokasi pemanfaatan optimal yang memberikan nilai tambah tertinggi.
Konsep optimasi ini
pun sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) sampai 2050, di mana gas
diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan energi baik sebagai bahan bakar
maupun sebagai bahan baku industri. Salah satu wujud optimasi alokasi
pemanfaatan gas yang optimal adalah memberi porsi lebih besar bagi sektor
industri.
Gas sebagai bahan baku
memiliki industri turunan yang luas, memberikan kontribusi 6x lebih besar
dari pada industri migas dan menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Pada
PDB 2012, industri migas hanya berkontribusi sebesar 3,1%, sedangkan industri
nonmigas 20,9%. Pada 2013, kontribusi industri migas sebesar 2,9%, sedangkan
industri nonmigas 20,8%. Berdasarkan data INDEF (2012), penggunaan gas
terbanyak terdapat pada industri pupuk, petrokimia dan barang dari karet.
Pemakaian energi gas
pada kelompok industri ini mencapai 66,98%. Sedangkan untuk industri pupuk,
gas digunakan sebagai bahan baku hingga 90% dalam proses produksinya.
Keempat, guna menjamin tersalurkannya gas ke sektor industri, pemerintah
harus menjamin alokasi gas yang cukup, sarana pipa yang tersedia, dan harga
yang kompetitif.
Secara umum, sektor
industri masih banyak yang merasa kesulitan untuk mendapatkan pasokan gas
sebagai sumber energi, karena lebih mahal dibandingkan batubara. Hal ini
disebabkan pasokan diperoleh dengan biaya yang relatif tinggi dan untuk
mendapatkannya pun relatif sulit. Masalah alokasi gas sektor industri
terlihat dari realisasi pemenuhan kebutuhan gas.
Data dari Forum
Industri Pengguna Gas Bumi menyebutkan pada 2011 kebutuhannya 2.767,32 MMSCFD
dan terpenuhi hanya sekitar 83%. Hal yang sama berulang pada 2012 dan 2013,
sehingga daya saing industri manufaktur domestik menurun. Kelima, guna
menjamin alokasi gas kepada konsumen, termasuk pada sektor listrik dan
industri pupuk, maka pemerintah harus memberikan peran yang dominan kepada
BUMN untuk distribusi dan niaga gas nasional.
Dalam hal ini,
pemerintah pun harus menghilangkan proses tender alokasi gas saat lapangan
akan dikembangkan. Melalui dominasi BUMN, pemerintah dapat terlibat untuk
menentukan harga dan alokasi gas yang dibutuhkan pun terjamin. Sejalan dengan
pemberian hak khusus pada BUMN, pemerintah pun harus mengurangi atau
menghilangkan peran badan usaha swasta yang tidak mempunyai infrastruktur
atau yang hanya berperan sebagai broker.
Keenam, dalam kondisi
memaksa pemerintah dapat mengatur keterlibatan swasta terbatas dalam
pembangunan infrastruktur, bukan dalam memperoleh alokasi gas untuk dijual
kepada konsumen. Namun, keterlibatan swasta tersebut harus dilakukan melalui
kerja sama sesuai skema business-to-business
dengan BUMN.
Dalam hal alokasi dan
niaga gas yang telah terlanjur diberikan kepada badan usaha, pemerintah perlu
melakukan pengaturan masa transisi, untuk kemudian dikoreksi guna memenuhi
kebutuhan dominasi pengelolaan oleh BUMN sesuai UUD 1945. Berbagai usulan
yang diuraikan di atas dapat segera diterapkan pada peraturan yang saat ini
sedang dipersiapkan oleh Kementerian ESDM, di mana pembahasannya telah
dimulai sejak 2013.
Selanjutnya, berbagai ketentuan penting
dalam usulan tersebut harus pula dimasukkan dalam RUU Migas yang diharapkan
selesai pada 2015. Dengan begitu, berbagai permasalahan dalam alokasi dan
pemanfaatan gas nasional yang terjadi selama ini dapat diatasi, dan konsumen
pun dapat menikmati pasokan gas tanpa kendala pada harga yang wajar dan
kompetitif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar