Senin, 11 Mei 2015

Sabdaraja Diklaim Wahyu Tuhan

Sabdaraja Diklaim Wahyu Tuhan

Ridwan Anshori ;  Wartawan Koran Sindo
KORAN SINDO, 09 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X memenuhi janjinya menjelaskan tentang Sabdaraja dan Dawuhraja di Ndalem Wironegaran, kemarin.

Dari penuturannya, Sultan menyatakan ada sejumlah pemahaman berbeda dari apa yang disampaikan di hadapan kerabat Keraton dengan apa yang beredar di media massa dan masya rakat umum. Dia pun mengklaim apa yang disampaikan dalam Sabdaraja adalah wahyu Tuhan melalui leluhurnya. Sultan mengakui sejak mengeluarkan Sabdaraja pada Kamis (30/4) dan Dawuhraja pada Selasa (5/5) menimbulkan polemik.

“(Yang beredar) biar pun bener ning ora pener (benar tapi tidak tepat). Lima hal (dalam Sabraja) sebetulnya tidak sepenuhnya benar apa yang saya lakukan,” katanya. Sultan HB X membantah telah menghapus “Assalamualaikum” dalam segala acara protokoler di dalam Keraton Yogyakarta. Namun, dia mengakui saat membaca Sabdaraja tidak memakai Assalamualaikum.

Pria yang bernama lahir Herjuno Darpito ini menjelaskan Sabdaraja tidak menggunakan Assalamualaikum karena Sabdaraja merupakan dawuh atau wahyu langsung dari Gusti Allah. “Saya merasa Sabdaraja ini merupakan dawuh Allah (wahyu Tuhan) lewat leluhur saya. Masa dawuh Gusti Allah kepada orang lain, menggunakan Assalamualaikum? Kan tidak,” katanya.

Sultan menegaskan Sabdaraja yang tidak memakai kata Assalamualaikum bukan berarti di Keraton tidak boleh menggunakan Assalamualaikum. “Di Keraton tetap boleh,” katanya. Gubernur DIY ini menjelaskan pergantian dari Buwono menjadi Bawono. Buwono merupakan jagad alit, sedangkan Bawono merupakan jagad ageng.

“Umpamanya Buwono itu daerah, maka Bawono itu nasional. Buwono itu nasional berarti Bawono itu internasional. Kira-kira seperti itu,” kata Sultan. Soal penggantian “Sadasa” menjadi “Kasepeluh” menggunakan dasar lir gumanti (tata urutan). Contohnya, kasapisan kapindo katelu dan seterusnya sampai kasepuluh. Tidak bisa bisa disebut sadasa, tidak pula disebut kaping sepuluh.

Sultan juga menjelaskan tentang nama dan gelarnya, “Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumenenng Kasepuluh, Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalogo Langgening Bawa no Langgeng, Langgening Toto Panoto Gomo”. Alasan menggunakan Suryaning Mataram karena perjanjian pendiri Mataram antara Ki Ageng Pemananan dengan Ki Ageng Giring sudah selesai.

Keraton Yogyakarta pada zaman sekarang ini bukan bagian dari perjanjian tersebut. Zaman Ken Arok di Kerajaan Singasari sampai Kerajaan Pajang merupakan Mataram lama. Sementara Mataram baru di mulai dari Panembahan Senopati sampai sekarang. “Pada masa Mataram lama ada perjanjian itu (Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pamanahan) yang memisahkan Mataram baru. Perjanjian itu sudah rampung. Saya tidak terkena perjanjian itu,” ujar Sultan.

Sultan menjelaskan pergantian dalam gelar “khalifatullah sayiddin” menjadi “langgeng toto panoto gomo”, yakni langgeng yang diperintah Gusti Allah adalah untuk prantan jagad. “Dawuh ini sebenarnya tidak bisa dianggap sepele seperti raja sebelumnya. Sebab zaman sudah berubah. Ini zaman baru,” ucapnya.

Raja yang naik takhta sejak 7 Maret 1989 ini juga mengakui dalam dawuh raja memilih Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun sebagai putri mahkota serta menobatkan nama baru GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Sebelum penobatan, putri sulung duduk berdampingan bersama adik-adiknya. Lalu Sultan memanggil GKR Pembayun untuk maju dan duduk di Watu Gilang atau batu Singgasana Panembahan Senopati.

Tetapi, Sultan belum memastikan GKR Mangkubumi tersebut sebagai penerus takhta. Alasannya, Sultan hanya mendapat wahyu sebatas mengganti nama dan gelar serta mengangkat putri mahkota. “Kalau lebih dari itu (memastikan sebagai penerus takhta), saya dikira mengarang cerita. Wahyu yang saya dapat sebatas itu,” ungkapnya.

Pada kesempatan itu, Sultan juga membantah memiliki dukun seperti yang dituduhkan sejumlah adiknya. Saat Sultan remaja dan bernama Herjuno Darpito sampai berganti nama menjadi Mangkubumi sering diminta oleh ayahnya Sri Sultan HB IX mengunjungi petilasan para leluhur.

Menurut dia, ayahnya sering meminta melakukan itu karena saat itu HB IX lebih banyak beraktivitas di Jakarta sebagai Wakil Presiden era Soekarno. “Saat ayah banyak di Jakarta, sering mengutus ke sejumlah petilasan para leluhur. Itu saya lakukan. Jadi saya tidak punya guru spiritual dan dukun,” katanya.

Selain itu, ayah membangun HB IX memperbaiki Petilasan Banglampir di Gunungkidul saat memperingati Eyang Panembahan Senopati. Kemudian Sultan juga ditugasi merawat gua saat Eyang Prabu Brawijaya V di Ngobaran Gunungkidul. “Eyang Prabu Brawijaya V pernah duduk di Ngobaran,” ucap Ngarso Dalem.

Menurut Sultan, perbaikan Petilasan Banglampir dan Ngobaran itu tidak menggunakan uang Keraton Yogyakarta sehingga internal Keraton tidak mengetahuinya. Sampai saat ini Petilasan Ngobaran dijaga oleh orang bernama Darto dan Banglampir dijaga Sarjono. “Keduanya itu bukan dukun saya. Keduanya adalah juru kunci, sama seperti juru kunci Keraton di Gunung Merapi dan pesisir (pantai selatan),” katanya.

GKR Mangkubumi Ngaku Tugasnya Makin Berat

Putri tertua Raja Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, resmi berganti nama menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgenging Mataram setelah dinobatkan oleh sang raja. Setelah berganti nama, GKR Mangkubumi mengaku memiliki tugas dan tanggung jawab berat. “Jadi beban saya semakin berat lagi, mulai saat ini dan ke depan,” ucapnya saat di rumahnya di Ndalem Wironegaran, kemarin.

Istri dari Kanjeng Pangeran Karyo (KPH) Wironegoro ini mengungkapkan, nama dan gelar baru yang diberikan Sultan HB X membawa konsekuensi baru yang cukup berat. “Nyeng kuyung Keraton dengan berbagai macam hal di dalamnya sungguh tugas yang tidak mudah. Sangat berat menerima gelar baru ini,” ujar GKR Mangkubumi.

Menurut dia, persiapan hati sudah disiapkan sejak lama karena siapa pun bisa mendapatkan wahyu di Keraton. “Saya harus siap. Kali ini saya mendapatkan dhawuh dari Ngarso Dalem. Bagaimanapun saya harus siap,” ujarnya. Disinggung apakah tugas berat tersebut karena sudah dinobatkan sebagai putri mahkota calon penerus takhta, GKR Mangkubumi enggan menjawab secara pasti. “Saya diminta duduk di atas Watu Gilang saat Dawuhraja,” ungkapnya.

Watu Gilang merupakan batu Singgasana Panembahan Senopati. Karena raja-raja Keraton Yogyakarta sebelum menjadi bertakhta harus melalui prosesi duduk di atas batu itu. Secara implisit GKR Mangkubumi merupakan putri Keraton yang dipilih sang raja untuk meneruskan takhta Keraton Yogyakarta. Ibu dua anak ini mengakui ada Sabdaraja dan Dawuhraja ini menimbulkan polemik di internal Keraton Yogyakarta, termasuk mendapat penentangan dari paman-pamannya atau adik raja.

Namun, dirinya tetap menghormati adik sang raja yang saat ini masih berseberangan dengan pengangkatannya sebagai calon pemimpin Keraton. GKR Mangkubumi mengungkapkan apa yang sudah disandangnya sebatas nama baru.

“Yang jelas saya tetap akan menghormati para romo apa pun yang terjadi. Karena beliaubeliau merupakan para om saya. Saat ini saya baru ditetapkan baru sebatas nama baru oleh Ngarso Dalem,” tuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar