Mendewasakan
Pendidikan Tinggi
Jonathan Pincus ; Penasihat Senior untuk Transformasi dan
Pengajar
di Pusat Studi Pembangunan, Universitas Cambridge
|
KOMPAS, 06 Mei 2015
Sekolah Manajemen
Sloan dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT) baru-baru ini mengumumkan,
mereka akan bermitra dengan Bank Sentral Malaysia untuk membuka Sekolah
Bisnis Asia yang baru di Kuala Lumpur pada 2016.
Sebelumnya, negeri
jiran ini telah menaungi kampus-kampus cabang dari Universitas dari Inggris
dan Australia, termasuk kampus Sekolah Kedokteran Universitas Newcastle dan
Universitas Nottingham Malaysia.
Singapura memimpin di
wilayah Asia Tenggara dengan menaungi 13 kampus asing dan sejumlah kemitraan
internasional. Hal serupa juga ditempuh Vietnam yang menaungi kampus cabang
dari Institut Teknologi Royal Melbourne.
Ya, kemitraan
pendidikan internasional tengah naik daun. Negara tuan rumah memperoleh akses
ke pengetahuan dan pengajaran kelas dunia, dan mahasiswa setempat mendapatkan
lebih banyak pilihan program pendidikan berkualitas, tanpa harus meninggalkan
negaranya. Universitas internasional perlu membangun reputasi global mereka,
terutama di wilayah seperti Asia Tenggara, yang rata-rata pendapatan rumah
tangga dan populasi usia kuliahnya terus bertumbuh.
Mengapa Indonesia
tidak memiliki kemitraan serupa? Jawabannya sederhana: kemitraan itu tidak
sah secara hukum.
Undang-Undang Nomor 12
Tahun 20012 tentang Pendidikan Tinggi dan undang-undang sebelumnya, melarang
pendirian kampus cabang dari universitas internasional. Larangan itu juga
berlakuuntuk gelar dan program pengajaran gabungan, kecuali menurut kondisi
yang sangat khusus. Dengan beberapa pengecualian, dosen asing tidak diizinkan
mengajar di universitas di Indonesia.
Proteksi pendidikan tinggi
Pembatasan ini
dijustifikasi sebagai cara untuk melindungi pendidikan tinggi di Indonesia
karena dinilai masih terlalu lemah untuk bersaing dengan universitas global.
Ini merupakan versi akademik dari ”proteksi terhadap industri bayi,” di mana
pemerintah memblokir impor suatu barang—misalnya semen atau baja—sampai
perusahaan domestik cukup kuat untuk bersaing dengan perusahaan asing.
Permasalahan dengan
proteksi industri bayi adalah ”para bayi” lokal ini tidak memiliki insentif
untuk tumbuh dewasa. Asumsinya, daripada membuang waktu dan uang untuk
mencoba mengikuti perkembangan teknologi baru, perusahaan lokal melobi
pejabat pemerintah untuk memastikan impor diblokir. Konsumen paling dirugikan
dengan cara ini karena harus membayar harga tinggi untuk semen dan baja
produksi dalam negeri, yang sebagian tidak memenuhi standar kualitas
internasional.
Pemerintah telah
memproteksi universitas di Indonesia dari persaingan asing selama
bertahun-tahun. Namun, hasilnya sangatlah mencengangkan, negara dengan jumlah
penduduk terbesar keempat di dunia ini tidak mempunyai satu pun lembaga di the Times Higher World University 400.
Kinerja penelitian, sebagaimana diukur dengan publikasi ilmiah dan kutipan,
sangatlah menyedihkan karena bukan hanya berada di belakang Malaysia dan Thailand,
melainkan juga negara yang lebih miskin, seperti Vietnam dan Banglades.
Situasi ini menghambat
pertumbuhan ekonomi. Universitas menghasilkan terlalu banyak lulusan dari
program manajemen umum dan tidak cukup banyak insinyur serta ilmuwan. Pemberi
kerja melaporkan bahwa insinyur Indonesia dibayar dua kali lipat dari
insinyur India, tetapi membutuhkan lebih banyak pelatihan kerja.
Proteksi industri bayi
untuk universitas tidak membantu orang miskin dan yang berasal dari
perdesaan. Sekitar 56 persen mahasiswa yang terdaftar dalam program sarjana
datang dari rumah tangga yang termasuk ke dalam seperlima populasi terkaya,
sementara 60 persen termiskin—rumah tangga yang hidup dengan penghasilan
kurang dari 1,50 dollar AS per hari—hanya menyumbangkan 10 persen mahasiswa.
Akademisi Indonesia
sering kali mengklaim bahwa isu utamanya adalah uang. Pemerintah telah
merespons hal ini dengan menggandakan anggaran untuk pendidikan tinggi antara
tahun 2007 dan 2012. Sayangnya, lebih banyak uang belum menghasilkan
peningkatan yang dapat diukur dalam hal pengajaran atau penelitian.
Uang yang lebih banyak
tidak akan berhasil selama universitas Indonesia masih menikmati proteksi
industri bayi. Kebijakan pemerintah saat ini dirancang untuk menghilangkan
semua bentuk kompetisi dari sektor ini. Kenaikan jabatan dosen, misalnya,
dilakukan berdasarkan senioritas dan bukan karena penelitian dan kinerja
pengajaran. Departemen akademis secara rutin mempekerjakan lulusan mereka
sendiri sebagai dosen, sebuah praktik yang mendorong terjadinya patronase dan
favoritisme, dan mengecilkan kompetisi. Tentu saja, universitas internasional
tidak disambut baik di negeri ini.
Mereformasi sistem
tidak akan mudah. Sebagian besar lembaga dan akademisi akan secara aktif
menentang perubahan yang berupaya memasukkan lebih banyak akuntabilitas dan
kompetisi ke dalam pengaturan pendanaan, remunerasi, perekrutan, dan kenaikan
jabatan.
Sektor industri
menjadi contoh yang menarik untuk perguruan tinggi. Mengurangi hambatan
investasi sering kali sulit secara politis karena industri yang diproteksi
menggunakan pengaruh para politisi untuk menghalang-halangi reformasi.
Daripada langsung
menantang mereka yang mempunyai kepentingan terselubung, pembuat kebijakan
menggunakan kawasan ekonomi khusus (KEK) sebagai eksperimen kebijakan untuk
mencapai liberalisasi terkendali. KEK sering kali dianggap sebagai cara yang
tidak mengancam secara politis untuk menarik investasi yang dibutuhkan dengan
tidak adanya reformasi yang lebih dalam.
Eksperimen kemitraan
Dalam dunia
pendidikan, mungkin juga sulit untuk menciptakan celah di lokasi geografis
tertentu karena akademisi dan lembaga yang berpola pikir reformasi belum
tentu berada di lokasi yang saling berdekatan. Daripada melakukan hal itu,
pemerintah dapat menciptakan suatu program ilmu pengetahuan dan teknologi
khusus yang memungkinkan universitas internasional dan domestik untuk
menetapkan kemitraan pengajaran dan penelitian baru dalam disiplin ilmu
tertentu yang saat ini kurang terwakili di universitas di Indonesia.
Menurut Bank Dunia, 30
persen tenaga kerja Indonesia yang berusia 30-45 tahun membutuhkan pelatihan
kembali. Pemerintah dapat mendorong akademi, perguruan tinggi, dan
universitas untuk bekerja sama dengan industri untuk membentuk program kejuruan
khusus untuk mengatasi kekurangan keterampilan tertentu di pasar tenaga
kerja. Ada banyak eksperimen serupa yang menciptakan inovasi. Intinya adalah
reformasi sektor pendidikan tinggi mungkin akan dimulai dengan
langkah-langkah kecil, dan bukan pula sebuah lompatan raksasa. Seiring waktu,
pemerintah dan akademisi di Indonesia semoga menyadari, persaingan dan
keterbukaan merupakan hal yang baik untuk mendewasakan pendidikan tinggi di
negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar