Memangkas
Birokrasi Izin Usaha
Edy Priyono ; Peneliti pada Pusat Kajian Kebijakan Publik
Akademika
dan Dosen FEUI
|
KOMPAS, 08 Mei 2015
Survei tahunan Bank
Dunia menunjukkan, Indonesia jauh tertinggal dari para tetangga dekatnya
dalam hal kemudahan berusaha. Tahun 2014, dari 189 negara yang disurvei,
Indonesia menempati peringkat ke-114. Pada saat yang sama Singapura ada di
peringkat pertama, Malaysia ke-18, Thailand ke-26, Vietnam ke-78, Filipina
ke-95, Brunei ke-101.
Khusus untuk aspek kemudahan
memulai usaha (starting business) peringkat Indonesia lebih rendah lagi,
yaitu ke-155 dari 189 negara. Semua negara lain yang disebut di atas berada
di atas Indonesia, kecuali Filipina (ke-161) dan Brunei (ke-179).
Tampaklah bahwa
memulai usaha merupakan salah satu aspek yang membuat buruk iklim usaha di
Indonesia. Mau tidak mau, telunjuk kemudian mengarah pada rumitnya birokrasi
perizinan di Indonesia.
Birokrasi perizinan
dapat dipilah menjadi empat bagian besar. Bagian pertama terkait pendirian
badan usaha, yang menjadi kewenangan Kementerian Hukum dan HAM. Meskipun
sudah banyak perbaikan, biaya pengurusan masih tinggi.
Bagian kedua adalah
persetujuan prinsip untuk investasi berskala besar. Bagian ini ada di tangan
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Bagian ini juga sudah diperbaiki,
terutama melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) tingkat nasional yang
baru dibentuk.
Bagian ketiga adalah
birokrasi perizinan terkait operasional perusahaan, mulai dari pembangunan
sarana dan prasarana, perekrutan tenaga kerja, hingga izin operasional.
Bagian ini hampir seluruhnya berada dalam kewenangan kabupaten/kota. Usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM) praktis berhubungan dengan pemda untuk
sebagian besar urusan usahanya.
Bagian keempat adalah
izin-izin untuk kegiatan yang sifatnya khusus, misalnya mendatangkan barang
impor, perekrutan tenaga kerja asing, dan sebagainya. Urusan ini mayoritas di
instansi pemerintah pusat.
PTSP di daerah
Keempat bagian utama
tersebut sedang diperbaiki dalam program reformasi birokrasi perizinan.
Tujuan reformasi birokrasi perizinan adalah membuat proses perizinan usaha
mudah, murah dan cepat tanpa kehilangan fungsi izin sebagai instrumen
pengendalian.
Selain beberapa
langkah di atas, pemerintah juga mendorong pembentukan PTSP di daerah. PTSP
adalah pengembangan konsep pelayanan terpadu satu atap (PTSA). Dalam PTSA
pemohon izin cukup datang ke satu tempat, sedangkan pemrosesan dokumen masih
dilakukan di setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Pada PTSP, layanan
bersifat paripurna di mana pengajuan, pemrosesan, dan penerbitan izin
dilakukan di satu tempat sehingga efisiensi dan efektivitas lebih nyata.
Data Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) pada 2013 menunjukkan bahwa 91 persen (451 dari 497)
kabupaten/kota dan 85 persen (28 dari 33) provinsi telah membentuk PTSP.
Namun, masih ada
persoalan di sini. Pertama, masih ada daerah yang belum membentuk PTSP.
Kedua, PTSP yang sudah terbentuk pun beragam tingkat perkembangan dan
kualitas pelayanannya. Sebagai ilustrasi, hanya 119 dari 354 PTSP di
kabupaten yang memiliki prosedur operasi standar (SOP) sebagai pedoman kerja.
Jumlah perizinan yang
didelegasikan kepada PTSP (dari SKPD teknis) juga relatif masih sedikit.
Sedikitnya izin yang didelegasikan menyebabkan sebagian PTSP bekerja dengan
sistem ”satu atap” karena pemrosesan sebagian izin masih di SKPD (meskipun
serah terima permohonan dan dokumen izin dilakukan di PTSP). Akibatnya,
meskipun sudah ada PTSP, pemrosesan izin tetap makan waktu.
Masalah mendasar lain
terkait PTSP di daerah adalah tim teknis tidak efektif. Tim teknis sebenarnya
dirancang untuk menjembatani kebutuhan koordinasi antara PTSP dan SKPD
teknis, khususnya pemrosesan izin-izin yang memerlukan pertimbangan teknis
dan/atau kunjungan lapangan. Dengan adanya tim teknis (yang berisi perwakilan
dari berbagai SKPD yang relevan), mestinya rekomendasi teknis untuk izin
tertentu tidak perlu dibuat Kepala SKPD, cukup tim teknis.
Karena tim teknis
tidak efektif, meskipun izin-izin tertentu sudah didelegasikan kepada PTSP,
dalam pemrosesan tetap diperlukan rekomendasi teknis dari Kepala SKPD.
Akibatnya, dalam banyak kasus pemrosesan izin masih dilakukan dengan sistem
”satu atap”.
IUMK
Upaya lain adalah
memangkas birokrasi perizinan bagi usaha mikro dan kecil (UMK). Untuk itu
diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2014 (ditandatangani SBY)
diikuti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83 Tahun 2014 yang mengatur
penyelenggaraannya.
Perpres dan
Permendagri tersebut menyatakan bahwa untuk UMK berlaku izin usaha mikro
kecil (IUMK), berbentuk naskah satu lembar dan dikeluarkan kecamatan.
Harapannya, semakin banyak UMK memiliki izin usaha dan akses yang lebih baik
terhadap lembaga pengembangan usaha, terutama lembaga pembiayaan. Sejak awal
pemerintah menjalin kerja sama dengan BRI dan lembaga penjamin kredit.
Meskipun beberapa
daerah sudah mencoba melaksanakan, masih ada beberapa hal yang menjadi
pertanyaan. Yang utama: ruang lingkup. Apakah semua UMK akan diberi IUMK atau
hanya yang memenuhi syarat?
Hal itu menjadi
dilema. Jika diterapkan menyeluruh, dampaknya terhadap kemudahan izin bagi
UMK tentu sangat besar dan karena pelaku UMK itu mayoritas, dampaknya
terhadap masyarakat juga sangat besar. Masalahnya, sampai saat ini banyak UMK
yang beroperasi di tempat yang terlarang bagi kegiatan usaha. Memberikan izin
bagi semua berarti sama saja dengan memberikan izin untuk melanggar
peraturan. Kalau IMUK diberlakukan secara terbatas, potensi pertentangan
dengan peraturan akan sangat kecil, tetapi pada saat yang sama dampak yang
dirasakan oleh pelaku UMK juga akan kecil.
Pertanyaan berikut
terkait dengan ketentuan bahwa IUMK adalah satu lembar, yang dapat
ditafsirkan bahwa selain itu tidak diperlukan izin lain.
Selama ini izin usaha
juga terkait dengan keabsahan lokasi dan bangunan sebagai tempat usaha dan
juga izin khusus terkait keamanan produk. Kasus sari kelapa yang dicampur
bahan pupuk menunjukkan betapa pentingnya aspek keamanan itu.
Kalau izin-izin itu
dianggap tidak berlaku lagi bagi UMK (karena sudah dicakup oleh IUMK),
bagaimana dengan risiko produk UMK bagi konsumen? Sebaliknya, jika izin-izin
tersebut tetap diberlakukan, IUMK tidak menjadi satu-satunya izin bagi UMK
dan berarti tidak sederhana lagi.
Penutup
Pada dasarnya arah
pemerintah dalam memangkas birokrasi perizinan usaha sudah benar. Masalahnya
ada di tataran operasional. Hal lain yang perlu dicari solusinya adalah
bagaimana caranya mengurangi jumlah izin yang menjadi kewenangan daerah.
Beberapa daerah sangat antusias menyederhanakan, tetapi terkendala peraturan
pusat.
Salah satu yang
dikeluhkan adalah berbagai peraturan Kementerian Kesehatan terkait izin
praktik bagi tenaga kesehatan dan izin pendirian fasilitas kesehatan. Ada
begitu banyak nomenklatur perizinan yang sebenarnya dapat disederhanakan.
Padahal,
penyederhanaan jenis izin merupakan salah satu aspek fundamental dalam
pemangkasan birokrasi perizinan. Tanpa itu, berbagai upaya mereformasi
birokrasi perizinan tidak akan mencapai hasil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar