Presiden
dan Komunikasi Politik
Makmur Keliat ; Pengajar FISIP Universitas Indonesia
KOMPAS, 08 Mei 2015
Makmur Keliat ; Pengajar FISIP Universitas Indonesia
|
Indonesia telah
memberlakukan sistem banyak partai dalam suatu kompetisi politik yang sangat
terbuka. Indonesia berhasil melaksanakan pemilu secara demokratik sebanyak
empat kali dalam 15 tahun terakhir. Kompetisi itu telah menunjukkan tak
adanya satu pun parpol yang berhasil memperoleh kekuasaan mayoritas sederhana
di DPR. Tanpa suara popular vote melebihi 50 persen, tak ada satu pun partai
yang dapat mengklaim telah memiliki basis pemilih yang sangat kuat dan luas
di negeri ini.
Fakta seperti ini
menyampaikan pesan yang tak menyenangkan bagi seorang presiden yang baru
terpilih. Presiden yang baru terpilih tak akan dapat bersandar semata-mata
pada dukunganpartai tunggal tertentu betapapun solidnya partai itu, baik
secara ideologis, organisasional, maupun kepemimpinan.
Untuk membuat
pemerintahannya stabil dan kebijakannya efektif, seorang presiden baru harus
bersedia berbagi kekuasaan dengan membentuk suatu ”koalisi memerintah” (governing coalition) dengan beberapa
partai yang telah memperoleh kursi di DPR. Sesungguhnya imajinasi tentang
”koalisimemerintah” ini bahkan telah dibangun jauh sebelum pilpres
diselenggarakan.
Koalisi memerintah
Prasyarat bagi
pemerintahan efektif seperti ini tentu saja tak sepenuhnya ”salah”. Keragaman
perolehan suara parpol di DPR sedikit banyak merefleksikan keragamankultural,
sosial, dan lapisan ekonomi Indonesia. Tak akan banyak perubahan dalam
spektrum kekuatan politik kepartaian ini dalam tahun-tahunmendatang, kecuali
rangkaian kebijakan drastis diluncurkan. Misalnya, melalui pemberlakuan
pembatasan jumlah partai yang sangat ketat secara sepihak atau dengan
pemberlakuan ketentuanambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang sangat tinggi, misalnya 10 persen.
Namun, rekomendasi
kebijakan seperti ini tampaknya tidak akan dipilih para pembuat aturan hukum.
Sebagian besar dari mereka yang berada di institusi legislatif kemungkinan
akan memersepsikan rekomendasi itu sebagai self-destructive. Lagi pula, bukankah ”koalisi memerintah” itu
bermanfaat sebagai instrumen untuk memperoleh beragam insentif financial dengan
mengubahnya menjadi coalition of the billing? Karena itu, hukum besi tentang
”koalisi memerintah” tampaknya akan terus hadir bersama Indonesia dan harus
diterima sebagai ”fakta politik” dengan seluruh konsekuensinya hingga tahun
2019.
Jika harus diterima
sebagai ”fakta politik”, apakah yang dapat dilakukan untuk meminimalkan
dampak-dampaknya? Bagi penulis, kehadiran ”koalisi memerintah” itu tidak
perlu dilihat menjadi suatu bencana besar seandainya proses pembentukannya
mengalami perubahan.
Ia menjadi masalah
ketika pembentukannya dipahami sebagai hak istimewa dari pimpinan partai. Hal
ini mengakibatkan munculnya persepsi yang sangat kuat di kalangan publik
(walau mungkin tidak sepenuhnya benar) bahwa partai politik adalah properti
para pimpinan partai. Pimpinan partai dipersepsikan pula sebagai ”dewa-dewa”
politik yang telah melakukan pembajakan politik dan melakukan transaksi
politik berupa bagi-bagi kekuasaan dan meninggalkan para pemilihnya segera
setelah pemilu selesai.
Karena itu, di masa
depan terdapat kebutuhan untuk melembagakan prinsip normatif yang lebih ketat
ketika membangun suatu koalisi. Salah satu rekomendasi yang dapat diberikan,
misalnya, dengan melembagakan referendum atau pemilu di tingkat internal
partai sebagai prasyarat untuk membangun koalisi. Keputusan dengan siapa atau
dengan partai apa untuk melakukan koalisi tidak merupakan wewenang para elite
pimpinan partai saja, tetapi merupakan hasil dari suatu keputusan semua
anggota partai yang dibuat melalui proses referendum. Proses
institusionalisasi referendum partai seperti ini memang menjadi panjang dan
tampak tidak efisien. Namun, terdapat sejumlah manfaat yang dapat kita
peroleh.
Pertama, menetralisasi
persepsi terjadinya transaksi politik berupa bagi-bagi kekuasaan dan
sekaligus menjadi instrumen untuk meningkatkan legitimasi pimpinan partai.
Kedua, memperkuat demokratisasi internal setiap partai dan memperkuat rasa
kepemilikan (sense of ownership)
dari anggota partai. Ketiga, mengurangi apatisme warga negara terhadap masa
depan dari peran partai dalam pembuatan keputusan politik di Indonesia.
Keempat,meningkatkan harapan munculnya voter
turn-out yang lebih tinggi dalam pemilu.
Proses penataan
politik kepartaian seperti ini tentu saja tidak mudah dan mungkin menjadi
jalan yang cukup panjang. Namun, proses itu harus ditempuh. Kehadiran
teknologi komunikasi yang canggih, merebaknya berbagai perangkat media
sosial, dan jumlah kelas menengah yang semakin besar telah menciptakan
tuntutan akuntabilitas dan transparansi yang semakin kuat pula terhadap
seluruh institusi politik. Dalam hal ini, penataan apa pun yang ingin kita
lakukan selalu terdapat tantangan bagaimana untuk mengomunikasikan perubahan
itu. Pertanyaannya adalah strategi apakah yang harus kita pilih?
Dua pilihan
Ada dua pilihan yang
tersedia. Pilihan pertama adalah dengan mengonstruksi politik sebagai
”pertarungan terus menerus” dan yang kedua adalah dengan memahami politik
sebagai perubahan secara bertahap. Pilihan pertama cenderung membujuk kita
untuk melakukan tekanan-tekanan dari luar struktur formal.
Pilihan pertama ini
juga cenderung mengajak membuat kita bersikap apatis terhadap
perubahan-perubahan yang dilakukan melalui kerangka kelembagaan. Pilihan ini
juga cenderung untuk melakukan mobilisasi massa dengan tujuan menentang dan
merombak sistem. Pilihan ini juga melontarkan muatan diskursus/wacana yang
unik, yang menarasikan bahwa bekerja di dalam sistem sebagai tindakan
kompromi terhadap pemerintah dan permisif terhadap penyimpangan-penyimpangan
yang telah terjadi.
Pilihan kedua berjalan
dalam arah sebaliknya. Pilihan perubahan bertahap (incremental) pada dasarnya adalah berwatak teknokratik.
Instrumen-instrumen perubahan biasanya dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk,
seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), White Papers, scenario building, struktur
fiskal-APBN, dan penataan aturan internal birokrasi. Dalam perspektif seperti
ini, politik dibangun sebagai proses birokratik yang panjang, mulai dari
perencanaan pengarahan, pelaksanaan, pengawasan, hingga evaluasi.
Filosofis dari
pendekatan ini berasal dariwarisan modernitas bahwa kemajuan dapat dicapai
melalui alat-alat rasional. Pendekatan ini adalah ”anak-anak” dari warisan
pencerahan.
Pertanyaannya kemudian
adalah, apakah harus memilih strategi pertama ataukah strategi kedua.
Persoalan utama dengan strategi pertama adalah apakah strategi ini benar-benar
dapat memenangi diskursus? Apakah strategi ini memiliki sumber daya yang
cukup kuat untuk memobilisasi massa? Penulis memiliki keraguan jika strategi
ini cukup efektif untuk melakukan perubahan.Apakah ini berarti harus
sepenuhnya bersandar pada strategi kedua? Tidak demikian juga halnya.
Kelompok pendukung
strategi bertahap terlalu berlebihan jika mengklaim dapat mengatasi kelompok
status quo dan melakukan perubahan sepenuhnya dari dalam. Sebagai misal,
kekuatan pasar dan modal global telah menunjukkan dengan jelas adanya
keterbatasan-keterbatasan kebijakan teknokratis. Jika semata-mata dipahami
dalam detail argumen teknis-teknokratik, politik tentu saja juga akan
tereduksi maknanya. Jika ini dilakukan, politik menjadi sangat dingin dan
kehilangan daya pikat emosinya. Politik juga membutuhkan suatu narasi besar
untuk dapat memobilisasi dan menggerakkan sumber daya, tidak hanya untuk
memobilisasi dana, tetapi juga manusianya.
Strategi ke depan
adalah bagaimana menggabungkan keduanya. Perubahan yang dicita-citakan
haruslah dilakukan dengan melalui penggabungan strategi teknokrasi dan
strategi narasi itu. Menurut penulis, salah satu tantangan besar dari
pemerintah sekarang ini adalah bagaimana mengoptimalkan sintesis kedua
strategi ini dalam komunikasi politik yang dilakukan. Pemerintah perlu
menyadari bahwa komunikasi politik yang hanya menekankan pada detail teknis,
seperti angka, tren, dan proyeksi, akan membuat politik kehilangan daya tarik
emosinya. Demikian juga halnya, politik yang hanya bersandar pada narasi
semata tanpa muatan detail teknis akan cenderung ditafsirkan sebagai
”pencitraan belaka”.
Adalah suatu
kecelakaan besar pula jika komunikasi politik yang dilakukan tidak memuat
baik aspek teknokratik dan naratifitu. Jika ini terjadi, politik tidak hanya
akan kehilangan daya pikat emosinya, tetapi juga kehilangan landasan
cita-cita moralnya. Karena itu, bagaimana menggabungkan keduanya adalah suatu
keharusan.Politik harus dikonstruksikan sebagai seni dan tidak semata-mata
sebagai mesin kekuasaan. Politik adalah suatu proyek seni untuk menata
harapan dengan muatan nilai-nilai emansipatoris. Untuk tujuan penggabungan
strategi narasi dan teknokrasi itu pula re-interpretasi yang terus-menerus
terhadap berbagai isu, seperti hubungan antara partai dan presiden dalam
relasi koalisi memerintah, diperlukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar