Sabtu, 09 Mei 2015

Presiden dan Komunikasi Politik

Presiden dan Komunikasi Politik

Makmur Keliat  ;  Pengajar FISIP Universitas Indonesia
KOMPAS, 08 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Indonesia telah memberlakukan sistem banyak partai dalam suatu kompetisi politik yang sangat terbuka. Indonesia berhasil melaksanakan pemilu secara demokratik sebanyak empat kali dalam 15 tahun terakhir. Kompetisi itu telah menunjukkan tak adanya satu pun parpol yang berhasil memperoleh kekuasaan mayoritas sederhana di DPR. Tanpa suara popular vote melebihi 50 persen, tak ada satu pun partai yang dapat mengklaim telah memiliki basis pemilih yang sangat kuat dan luas di negeri ini.

Fakta seperti ini menyampaikan pesan yang tak menyenangkan bagi seorang presiden yang baru terpilih. Presiden yang baru terpilih tak akan dapat bersandar semata-mata pada dukunganpartai tunggal tertentu betapapun solidnya partai itu, baik secara ideologis, organisasional, maupun kepemimpinan.

Untuk membuat pemerintahannya stabil dan kebijakannya efektif, seorang presiden baru harus bersedia berbagi kekuasaan dengan membentuk suatu ”koalisi memerintah” (governing coalition) dengan beberapa partai yang telah memperoleh kursi di DPR. Sesungguhnya imajinasi tentang ”koalisimemerintah” ini bahkan telah dibangun jauh sebelum pilpres diselenggarakan.

Koalisi memerintah

Prasyarat bagi pemerintahan efektif seperti ini tentu saja tak sepenuhnya ”salah”. Keragaman perolehan suara parpol di DPR sedikit banyak merefleksikan keragamankultural, sosial, dan lapisan ekonomi Indonesia. Tak akan banyak perubahan dalam spektrum kekuatan politik kepartaian ini dalam tahun-tahunmendatang, kecuali rangkaian kebijakan drastis diluncurkan. Misalnya, melalui pemberlakuan pembatasan jumlah partai yang sangat ketat secara sepihak atau dengan pemberlakuan ketentuanambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang sangat tinggi, misalnya 10 persen.

Namun, rekomendasi kebijakan seperti ini tampaknya tidak akan dipilih para pembuat aturan hukum. Sebagian besar dari mereka yang berada di institusi legislatif kemungkinan akan memersepsikan rekomendasi itu sebagai self-destructive. Lagi pula, bukankah ”koalisi memerintah” itu bermanfaat sebagai instrumen untuk memperoleh beragam insentif financial dengan mengubahnya menjadi coalition of the billing? Karena itu, hukum besi tentang ”koalisi memerintah” tampaknya akan terus hadir bersama Indonesia dan harus diterima sebagai ”fakta politik” dengan seluruh konsekuensinya hingga tahun 2019.

Jika harus diterima sebagai ”fakta politik”, apakah yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak-dampaknya? Bagi penulis, kehadiran ”koalisi memerintah” itu tidak perlu dilihat menjadi suatu bencana besar seandainya proses pembentukannya mengalami perubahan.

Ia menjadi masalah ketika pembentukannya dipahami sebagai hak istimewa dari pimpinan partai. Hal ini mengakibatkan munculnya persepsi yang sangat kuat di kalangan publik (walau mungkin tidak sepenuhnya benar) bahwa partai politik adalah properti para pimpinan partai. Pimpinan partai dipersepsikan pula sebagai ”dewa-dewa” politik yang telah melakukan pembajakan politik dan melakukan transaksi politik berupa bagi-bagi kekuasaan dan meninggalkan para pemilihnya segera setelah pemilu selesai.

Karena itu, di masa depan terdapat kebutuhan untuk melembagakan prinsip normatif yang lebih ketat ketika membangun suatu koalisi. Salah satu rekomendasi yang dapat diberikan, misalnya, dengan melembagakan referendum atau pemilu di tingkat internal partai sebagai prasyarat untuk membangun koalisi. Keputusan dengan siapa atau dengan partai apa untuk melakukan koalisi tidak merupakan wewenang para elite pimpinan partai saja, tetapi merupakan hasil dari suatu keputusan semua anggota partai yang dibuat melalui proses referendum. Proses institusionalisasi referendum partai seperti ini memang menjadi panjang dan tampak tidak efisien. Namun, terdapat sejumlah manfaat yang dapat kita peroleh.

Pertama, menetralisasi persepsi terjadinya transaksi politik berupa bagi-bagi kekuasaan dan sekaligus menjadi instrumen untuk meningkatkan legitimasi pimpinan partai. Kedua, memperkuat demokratisasi internal setiap partai dan memperkuat rasa kepemilikan (sense of ownership) dari anggota partai. Ketiga, mengurangi apatisme warga negara terhadap masa depan dari peran partai dalam pembuatan keputusan politik di Indonesia. Keempat,meningkatkan harapan munculnya voter turn-out yang lebih tinggi dalam pemilu.

Proses penataan politik kepartaian seperti ini tentu saja tidak mudah dan mungkin menjadi jalan yang cukup panjang. Namun, proses itu harus ditempuh. Kehadiran teknologi komunikasi yang canggih, merebaknya berbagai perangkat media sosial, dan jumlah kelas menengah yang semakin besar telah menciptakan tuntutan akuntabilitas dan transparansi yang semakin kuat pula terhadap seluruh institusi politik. Dalam hal ini, penataan apa pun yang ingin kita lakukan selalu terdapat tantangan bagaimana untuk mengomunikasikan perubahan itu. Pertanyaannya adalah strategi apakah yang harus kita pilih?

Dua pilihan

Ada dua pilihan yang tersedia. Pilihan pertama adalah dengan mengonstruksi politik sebagai ”pertarungan terus menerus” dan yang kedua adalah dengan memahami politik sebagai perubahan secara bertahap. Pilihan pertama cenderung membujuk kita untuk melakukan tekanan-tekanan dari luar struktur formal.

Pilihan pertama ini juga cenderung mengajak membuat kita bersikap apatis terhadap perubahan-perubahan yang dilakukan melalui kerangka kelembagaan. Pilihan ini juga cenderung untuk melakukan mobilisasi massa dengan tujuan menentang dan merombak sistem. Pilihan ini juga melontarkan muatan diskursus/wacana yang unik, yang menarasikan bahwa bekerja di dalam sistem sebagai tindakan kompromi terhadap pemerintah dan permisif terhadap penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi.

Pilihan kedua berjalan dalam arah sebaliknya. Pilihan perubahan bertahap (incremental) pada dasarnya adalah berwatak teknokratik. Instrumen-instrumen perubahan biasanya dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), White Papers, scenario building, struktur fiskal-APBN, dan penataan aturan internal birokrasi. Dalam perspektif seperti ini, politik dibangun sebagai proses birokratik yang panjang, mulai dari perencanaan pengarahan, pelaksanaan, pengawasan, hingga evaluasi.

Filosofis dari pendekatan ini berasal dariwarisan modernitas bahwa kemajuan dapat dicapai melalui alat-alat rasional. Pendekatan ini adalah ”anak-anak” dari warisan pencerahan.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah harus memilih strategi pertama ataukah strategi kedua. Persoalan utama dengan strategi pertama adalah apakah strategi ini benar-benar dapat memenangi diskursus? Apakah strategi ini memiliki sumber daya yang cukup kuat untuk memobilisasi massa? Penulis memiliki keraguan jika strategi ini cukup efektif untuk melakukan perubahan.Apakah ini berarti harus sepenuhnya bersandar pada strategi kedua? Tidak demikian juga halnya.

Kelompok pendukung strategi bertahap terlalu berlebihan jika mengklaim dapat mengatasi kelompok status quo dan melakukan perubahan sepenuhnya dari dalam. Sebagai misal, kekuatan pasar dan modal global telah menunjukkan dengan jelas adanya keterbatasan-keterbatasan kebijakan teknokratis. Jika semata-mata dipahami dalam detail argumen teknis-teknokratik, politik tentu saja juga akan tereduksi maknanya. Jika ini dilakukan, politik menjadi sangat dingin dan kehilangan daya pikat emosinya. Politik juga membutuhkan suatu narasi besar untuk dapat memobilisasi dan menggerakkan sumber daya, tidak hanya untuk memobilisasi dana, tetapi juga manusianya.

Strategi ke depan adalah bagaimana menggabungkan keduanya. Perubahan yang dicita-citakan haruslah dilakukan dengan melalui penggabungan strategi teknokrasi dan strategi narasi itu. Menurut penulis, salah satu tantangan besar dari pemerintah sekarang ini adalah bagaimana mengoptimalkan sintesis kedua strategi ini dalam komunikasi politik yang dilakukan. Pemerintah perlu menyadari bahwa komunikasi politik yang hanya menekankan pada detail teknis, seperti angka, tren, dan proyeksi, akan membuat politik kehilangan daya tarik emosinya. Demikian juga halnya, politik yang hanya bersandar pada narasi semata tanpa muatan detail teknis akan cenderung ditafsirkan sebagai ”pencitraan belaka”.

Adalah suatu kecelakaan besar pula jika komunikasi politik yang dilakukan tidak memuat baik aspek teknokratik dan naratifitu. Jika ini terjadi, politik tidak hanya akan kehilangan daya pikat emosinya, tetapi juga kehilangan landasan cita-cita moralnya. Karena itu, bagaimana menggabungkan keduanya adalah suatu keharusan.Politik harus dikonstruksikan sebagai seni dan tidak semata-mata sebagai mesin kekuasaan. Politik adalah suatu proyek seni untuk menata harapan dengan muatan nilai-nilai emansipatoris. Untuk tujuan penggabungan strategi narasi dan teknokrasi itu pula re-interpretasi yang terus-menerus terhadap berbagai isu, seperti hubungan antara partai dan presiden dalam relasi koalisi memerintah, diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar