Kota
Cerdas
Saratri Wilonoyudho ; Guru Besar Ilmu Kependudukan dan Lingkungan
Perkotaan Universitas Negeri Semarang
|
KOMPAS, 11 Mei 2015
Gagasan tentang kota
cerdas pantas diacungi jempol. Sebab, saat ini kota-kota besar di Tanah Air
nyaris tidak nyaman lagi untuk dihuni, baik karena keamanan, kebersihan,
ataupun kemacetan dan pelayanan publik lainnya. Dalam satu dekade terakhir,
beberapa kota besar di Jawa bahkan berubah menjadi megapolitan.
Jakarta, misalnya,
kini telah "menyatu" dengan Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi
("Jabodetabek") dan membentuk sebuah "megapolitan".
Demikian pula Semarang dengan "Kedungsepur" (Kendal, Demak,
Ungaran, Semarang, Purwodadi), atau Surabaya dengan "Gerbang Kertasusila"
(Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan).
Menurut Cohen (2006),
pada awal abad XX hanya ada 16 kota di dunia yang berpenduduk lebih dari satu
juta jiwa, tetapi kini ada sekitar 400 kota
di dunia yang berpenduduk satu juta jiwa atau lebih. Pertumbuhan
kota-kota kecil yang menyatu jadi megaurban ini tampaknya belum mampu diatasi
permasalahannya oleh pemerintah setempat.
Menurut Laquian
(2008), masalah yang menonjol dalam memanajemeni kawasan megaurban, pertama,
tak terselesaikannya masalah-masalah fisik seperti pembangunan jalan,
saluran, perumahan, pembuangan sampah, dan drainase. Kedua, sedikitnya
perencana dan perancang kota yang memiliki visi komprehensif yang dapat
memadukan antara berbagai kepentingan sosial, ekonomi, lingkungan, untuk
diformulasikan menjadi satu kesatuan dalam merancang dan merencana kota.
Ketiga, perencanaan dan perancangan wilayah dan kota dipengaruhi oleh konsep
yang masih mendikotomikan antara daerah perdesaan dan perkotaan. Keempat,
masih belum terkoordinasinya antarhierarki dan tingkatan institusi dan
pemerintahan dalam membangun kota dan daerah, serta fragmentasi sektoral.
Berbagai peraturan perundangan dan produk perencanaan tidak lintas sektoral
dan lintas batas administratif.
Sialnya, permasalahan kota yang demikian kompleks tersebut tidak
diimbangi dengan kualitas wali kota yang cerdas dan jujur.
Keunggulan informasi
Gagasan kota cerdas
diharapkan akan mampu ikut mengatasi gap persoalan tersebut. Konsep
"kota cerdas" yang digagas ITB, PGN, dan Kompas adalah kota yang
menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan pelayanannya, mengurangi
biaya dan pemakaian konsumsi, serta untuk lebih terlibat lebih aktif dan
efektif dengan warganya.
Konsep ini terdiri
atas tiga area. Pertama, cerdas secara ekonomi. Maksudnya, kota ditopang oleh
perekonomian yang baik dengan memaksimalkan sumber daya atau potensi kota, di
antaranya adalah layanan teknologi informasi dan komunikasi, tata kelola, dan
peran sumber daya manusia yang baik.
Kedua, masyarakat
sosial cerdas yang memiliki keamanan, kemudahan, dan kenyamanan dalam
melakukan interaksi sosial dengan sesama masyarakat ataupun dengan
pemerintah.
Ketiga, masyarakat
lingkungan cerdas. Maksudnya adalah masyarakat yang memiliki tempat tinggal
layak huni, sehat, hemat energi, serta pengelolaan energi dengan dukungan
layanan teknologi informasi dan komunikasi, pengelolaan, dan peran sumber
daya manusia yang baik.
Konsep kota cerdas ini
juga diamini oleh keunggulan dari sebuah kota yang tak hanya unggul aspek
ekonomi sumber daya alam, tetapi justru keunggulan informasi yang jadi
basisnya. Peter Hall dan Kathy Pain (2006) mengenalkan istilah
informationalization, yakni sebuah proses pergeseran keunggulan ekonomi
berbasis manufaktur barang dan jasa ke arah jasa yang berbasis informasi.
Demikian pula hasil studi Llewelyn-Davies (1996) terhadap empat "kota
dunia" di Eropa mengatakan hal yang sama tentang keunggulan yang
berbasis layanan (jasa) lanjutan.
Partisipasi dan pemimpin
Kota cerdas tidak akan
banyak berarti jika partisipasi masyarakat dan hadirnya pemimpin (wali kota)
yang menggerakkan tidak ada. Banyak contoh kota gagal dibangun karena tidak
dibarengi gerakan massal dari masyarakatnya. Akibatnya berbagai kekerasan
melanda kota-kota besar di negeri ini. Demikian pula dalam hal menata para
pedagang kaki lima atau berbagai penggusuran di kota-kota besar yang
menyebabkan berbagai konflik
horizontal ataupun vertikal. Kasus seperti ini mestinya
menyadarkan pemerintah kota agar
berendah hati untuk mengubah strategi pembangunan: dari yang sifatnya otoriter-birokratik
menjadi partisipatif-humanis.
Ada beberapa alasan
mengapa pendekatan terakhir ini dipilih. Selain soal hak asasi, juga berbagai
fakta menunjukkan justru dengan perencanaan partisipatif pemerintah kota
diuntungkan karena akan menghemat banyak biaya. Sebagai contoh, Kota Semarang
menyerahkan sebagian urusan penanganan rob dan banjir dengan pompanisasi
kepada warganya. Karena warga berkepentingan terhadap kenyamanan wilayahnya,
mereka berusaha sekuat tenaga memelihara dan menjaga alat tersebut. Berbeda
jika hal ini dilakukan oleh aparat birokrasi, sudah pasti hasilnya tidak
maksimal.
Paul Davidoff juga
mengusulkan perencanaan kota yang bersifat advokatif, bukan hanya serba
mengatur atau menetapkan dari atas (regulatif). Perencanaan advokatif membuka
peluang bagi kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini jarang didengar
aspirasinya untuk menyampaikan pendapat atau usul sesuai dengan
kepentingannya, untuk disenyawakan dengan kepentingan yang lain. Dengan kata
lain, perencana kota bertindak bagaikan seorang "advokat", agar
proses perencanaan kota tidak lagi bersifat otoriter, tetapi egaliter.
Demikian pula di
Inggris sejak 1970-an telah dikembangkan gagasan perencanaan komunitas yang
didukung para perencana kota dari kalangan perguruan tinggi. Tujuannya agar
rencana kota dapat mengakomodasikan keinginan dan aspirasi kaum papa
sekalipun.
Kecaman atas para
perencana kota yang tak aspiratif umumnya karena seringnya penggunaan istilah
yang isoteris alias tidak dipahami oleh masyarakat umum, tetapi hanya
dipahami oleh kelompoknya sendiri. Umumnya istilah itu disertai penghitungan
yang rumit, tetapi tidak berpijak pada realitas keseharian.
Contoh lain
perencanaan kota partisipatif yang fenomenal adalah karya (alm) Mangunwijaya
dalam memberdayakan masyarakat lembah Code di Yogyakarta. Masyarakat yang
tinggal di bantaran kali diajak memperkuat tanggul sekaligus menghijaukannya,
serta membuat bangunan- bangunan rumah sederhana yang indah dan sehat. Karya
ini ternyata sukses, daerah Code menjadi bersih dan indah, sungai terawat
baik, dan kehidupan sosial juga mulai berubah.
Kenyataannya, inovasi
dan kreativitas malahan terbentuk dalam komunitas masyarakat kecil. Demikian
pula dengan karya Hasan Poerbo dengan community
based development, Yayasan Toloka di Ampana Poso dengan paguyuban para
nelayan, memetakan biota laut dengan pemahaman mereka sendiri, sementara
pemerintah malahan mengapling dan mengontrakkan 1.500 hektar laut untuk budi
daya kerang mutiara kepada perusahaan raksasa dan sebagainya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar