Kamis, 14 Mei 2015

Kedaulatan Pangan

Kedaulatan Pangan

Firdaus Cahyadi  ;  Aktivis Lingkungan
KORAN TEMPO, 13 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kedaulatan pangan masuk sembilan agenda prioritas Presiden Joko Widodo (Nawa Cita). Ia berjanji akan membangun kedaulatan pangan Indonesia berbasiskan pertanian rakyat. Tampaknya implementasi kedaulatan pangan Presiden Jokowi masih jauh dari harapan. Bahkan, bisa jadi kedaulatan pangan berubah menjadi kedaulatan industri pangan. Bagaimana tidak, pada April lalu,  badan usaha milik negara (BUMN) PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) menjalin kerja sama dengan Cargill dan Monsanto dalam bidang pertanian Indonesia.

Dalam kerja sama tersebut, Monsanto berkontribusi memasok benih-benih jagung dan teknologinya. Adapun PT Cargill berperan dalam memasarkan hasil panen jagung dari petani, sedangkan BRI memberi kontribusi dalam pembiayaan serta pemberian kredit.

Siapakah Monsanto dan Cargill? Kedua perusahaan itu adalah para "penguasa" dalam industri pangan. Seperti ditulis dalam situs binadesa.org, menurut Komite Ekonomi Nasional (KEN), saat era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, disebutkan di pasar internasional ada empat pedagang besar yang disebut "ABCD", yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus.  Keempat perusahaan multinasional itu disebut telah menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia.

Sementara itu, Monsanto merupakan raksasa di industri pangan. Dalam industri agrokimia global, juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF, yang menguasai 75 persen pangsa pasar global. Sedangkan dalam industri bibit, terdapat empat perusahaan multinasional, yakni Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Limagrain, dengan penguasaan 50 persen perdagangan bibit global. Bukan hanya itu, Monsanto sebagai perusahaan yang memproduksi produk pertanian transgenik  (rekayasa genetik) juga memiliki catatan buruk dalam berbagai hal. Di Indonesia, Monsato pernah berkonflik dengan petani kapas Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 2000-an.

Monsanto pun terlibat dalam kasus penyuapan kepada sejumlah petinggi, termasuk pemerintah Indonesia, sebesar US$ 373.990. Tujuannya, agar Monsanto bisa menjual benih kapas transgeniknya (rekayasa genetik) di Indonesia tanpa melewati serangkaian uji keamanan hayati dan pangan yang memadai. 

Tidak sampai di situ, sebelumnya, Kementerian Pertanian menyatakan pemerintah Jokowi akan segera membangun kawasan food estate pada 2016 di Kalimantan, dengan luas lahan mencapai 500 ribu hektare. Konsekuensinya, karakter pertanian dan pangan Indonesia akan bergeser dari peasant-based agriculture (pertanian berbasis desa) dan family-based agriculture (pertanian berbasis keluarga) menjadi corporate-based food (perusahaan berbasis pangan) dan agriculture production (produksi pertanian).  Siapa yang diuntungkan dari proyek food estate ini? Mereka yang bergerak dalam industri pertanianlah yang akan diuntungkan, sementara para petani gurem akan sekadar menjadi penonton.

Publik perlu kembali mengingatkan Presiden Jokowi ihwal arah kebijakan pertaniannya. Bagaimanapun, kedaulatan pangan tidak bisa dicapai jika kedaulatan kaum petani justru digadaikan demi industri pangan dan pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar