Merawat
Papua dalam NKRI
Frans Maniagasi ; Pengamat Masalah Papua
|
MEDIA INDONESIA, 13 Mei 2015
KUNJUNGAN Presiden Joko Widodo di tanah Papua
pada 8–11 Mei 2015 mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat Papua.
Bagi yang pro menganggap bahwa kunjungan ini positif menunjukkan komitmen dan
perhatian yang serius dari Presiden Jokowi untuk memajukan masyarakat, guna
meraih kehidupan yang lebih layak.
Sebaliknya, bagi kelompok masyarakat yang
kontra beranggapan bahwa kunjungan ini tidak memberikan pengaruh signifi kan
untuk penyelesaian masalah Papua. Seperti janji presiden pada saat kunjungan
pertama Desember 2014, tatkala beliau menghadiri Natal Nasional di Jayapura.
Janji itu sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat, agar dilakukan dialog
Jakarta–Papua sebagai solusi.
Dalam konteks itu, maka tulisan ini tak mau
terjebak dalam dua kelompok opini yang kontradiktif, karena menurut pendapat
saya, kedua – duanya memiliki argumentasi dan pembenaran yang sama
argumentatifnya.
Merawat Papua dalam NKRI akan menemukan makna
substansinya jika masalah mendasar memperoleh perhatian dan penyelesaiannya.
Sentuhan ke arah penyelesaian masalah mendasar Papua itu telah diawali
Presiden Joko Widodo di LP Abepura, Sabtu siang (9 Mei 2015), dengan membebaskan
lima tapol/napol Papua merdeka dan presiden berjanji akan memberikan
pengampunan kepada tapol/napol lainnya.
Pembebasan lima tapol/napol yang dilakukan
oleh presiden, akan memberikan efek menyebar bagi perubahan menuju
penyelesaian soal Papua. Indikasi perubahan awal ini merupakan tuntutan
masyarakat global kepada pemerintah Indonesia, agar lebih serius dalam
menangani dan menyelesaikan soal Papua. Ibarat kita melempar sebongkah batu
tepat di titik tengah sebuah kolam, gelombangnya akan menyebar sampai ke
pinggiran.
Problematik politik, sosial, ekonomi, dan
budaya di tanah Papua nyata terlihat di Ibu Kota negara, Jakarta-penanda
wajah Republik ini. Pada ranah politik, kita menyaksikan kunjungan Presiden
Joko Widodo menjadi indikator politik nasional, sejauh mana pemerintah
berkemauan menyelesaikan masalah Papua. Dalam perspektif seperti itu, proses
demokratisasi nasional yang bergulir sejak reformasi (1998) mensyaratkan
adanya ruang publik tempat bagi setiap orang dan kelompok masyarakat,
termasuk masyarakat Papua
mempertanggungjawabkan pikirannya di ranah
intelektual jika berhadapan dengan aksi kekerasan yang justru bertentangan
dengan keadaban demokrasi.
Pertentangan antara masyarakat yang mesti
mempertanggungjawabkan pikirannya di satu pihak dan di lain pihak berhadapan
dengan aksi kekerasan, inilah yang mengakibatkan tetap langgengnya konflik di
Papua. Peristiwa Paniai Berdarah ( 8 Desember 2014), dan sebelumnya beberapa
kejadian di beberapa kabupaten, tak hanya menunjukkan adanya persoalan
separatisme, tetapi juga relasi yang kurang harmonis antara masyarakat dan
aparat keamanan.
Relasi yang tidak harmonis itu sesungguhnya
berakar dari persoalan ketidaksalingpercayaan antara Jakarta dan Papua, inkonsistensi
pemerintah atas janji-janji yang diungkapkan, termasuk janji untuk melakukan
dialog hingga persoalan masa lalu tentang Integrasi (1963) dan Pepera
(1969).Menurut pendapat saya, sebenarnya bukan masalah `momentum' integrasi
(1/5/1963) dan pelaksanaan Pepera (1969) - melainkan `dampak' yang
ditimbulkan akibat integrasi dan pelaksanaan Pepera 1969 yang hingga hari ini
belum pernah diselesaikan secara baik dan benar sesuai amanat konstitusi.
Dalam bingkai relasi seperti itulah pemerintah
justru berhasil mereduksi masalah Papua menjadi sekadar persoalan pembangunan.
Keyakinan itu yang mendasari kunjungan Presiden Joko Widodo yang dimulai dari
peresmian dan peletakan batu pertama pembangunan Sport Center PON 2020, Pasar
Pharaa di Sentani Kabupaten Jayapura, juga peletakan batu pertama pembangunan
Jembatan Hamadi-Houltekam, penyerahan kartu keluarga sejahtera (KKS), kartu
Indonesia pintar (KIP), dan kartu Indonesia sehat (KIS) di PPI Hamadi Kota
Jayapura, hingga panen raya perdana di Dusun Wapeko, Kampung Ivimahat,
Distrik Kurik, di Merauke.Meskipun Presiden terus memberi perhatian cukup
serius, pergerakan isu itu tak pernah bergeming. Ruang ideal untuk muara
solusi belum diperoleh.
Pertanyaannya dari peresmian berbagai proyek
pembangunan itu, bahwa rakyat Papua, terutama penduduk asli gelisah. Mereka
ingin diwongke, mereka tidak ingin menjadi penonton dalam setiap usaha
pembangunan, termasuk proyek-proyek yang telah diresmikan pendiriannya oleh
Presiden. Mesti diakui bahwa pembangunan proyek apa pun di Papua yang
dilakukan oleh pemerintah, baik pusat hingga pemerintah daerah, tidak
dilakukan berdasarkan `kebutuhan' dan keinginan masyarakat, tapi lebih
cenderung pada kepentingan pemerintah dan birokrasi kekuasaan (berdasarkan
visi, misi bupati/ wali kota, atau gubernur).
Tidak pernah ada ajakan mereka untuk bermusyawarah.
Kalaupun ada Musrenbangda (dari tingkat kampung, distrik, kabupaten/kota, dan
provinsi) tak lebih hanya merupakan dekorasi belaka dan basa¬basi seolah
menangkap serta mengakomodasi aspirasi masyarakat. Padahal, itu hanya
mempertontonkan sebuah episode sinetron pembangunan. Musrengbanda merupakan
momentum penyusunan daftar keperluan dan kebutuhan birokrasi pemerintahan
ketimbang kebutuhan rakyat.
Ironinya jika kita takar, pejabat (notabene
orang asli) di Papua lebih banyak meninggalkan daerahnya berbulan¬bulan
dengan berbagai alasan, mulai dari rapat di Jakarta hingga studi banding
keluar negeri. Contoh saja, dalam tiga bulan pertama setelah dilantik,
seorang pejabat bisa menghabiskan biaya perjalanan dinas hingga mencapai
Rp100 miliar.
Menurut data dan informasi yang kami peroleh
dari Kejaksaan Papua, pejabat yang diperiksa dan diadili akan terus
bertambah.
Hasil pemeriksaan keuangan oleh BPK dan
instansi audit pemerintah lainnya menunjukkan banyak sekali terjadi
penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan daerah.
Di balik kesungguhan Presiden Joko Widodo yang
terus memberikan perhatian dengan melakukan kunjungan ke Papua secara berkala
di satu sisi, tapi di lain sisi, tidak dibarengi dengan keseriusan
oknum-oknum pejabat pemerintahan di Papua sendiri yang bekerja untuk kemajuan
dan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam realitas politik semacam ini, Presiden
seharusnya tidak hanya berkunjung, tapi juga menegur dan bila perlu
memberikan sanksi tegas terhadap pejabat yang tidak becus bekerja. Mereka
seenaknya bepergian keluar Papua, berfoyafoya menggunakan dana pembangunan
untuk keperluan pribadi dan kelompoknya.
Realitas itu saya sebut separatisme gaya baru
di Papua. Perilaku dan sikap koruptif seperti itu pada gilirannya akan
mengganggu stabilitas pembangunan Papua dan berekses terhadap penyelesaian
masalah Papua.
Presiden juga mesti menempati janjinya, agar
dilakukan dialog Jakarta-Papua, sehingga ditemukan solusi terhadap akar
permasalahan. Pemerintah pusat tidak perlu khawatir jika dialog masyarakat
Papua selalu menyampaikan aspirasi merdeka. Itu tidak masalah. Kalau Presiden
telah mengizinkan kunjungan dari wartawan dan media asing ke Papua, kita
sambut dengan baik keputusan tersebut - seyogianya dialog sebagai sarana
demokrasi pun bisa diadakan.
Semua langkah kebijakan yang diambil dan
dilakukan oleh Presiden bertujuan satu ialah merawat Papua dalam NKRI. Jika
salah merawat, seperti kata pepatah bukan salah bunda mengandung tapi sudah
nasib suratan takdir -bila satu saat terjadi perubahan - sesuai dengan sifat
dari perubahan yang dinamis, jangan kita salahkan masyarakat Papua bila
mereka menentukan langkah dan masa depannya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar