Kamis, 14 Mei 2015

Merawat Papua dalam NKRI

Merawat Papua dalam NKRI

Frans Maniagasi  ;  Pengamat Masalah Papua
MEDIA INDONESIA, 13 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KUNJUNGAN Presiden Joko Widodo di tanah Papua pada 8–11 Mei 2015 mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat Papua. Bagi yang pro menganggap bahwa kunjungan ini positif menunjukkan komitmen dan perhatian yang serius dari Presiden Jokowi untuk memajukan masyarakat, guna meraih kehidupan yang lebih layak.

Sebaliknya, bagi kelompok masyarakat yang kontra beranggapan bahwa kunjungan ini tidak memberikan pengaruh signifi kan untuk penyelesaian masalah Papua. Seperti janji presiden pada saat kunjungan pertama Desember 2014, tatkala beliau menghadiri Natal Nasional di Jayapura. Janji itu sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat, agar dilakukan dialog Jakarta–Papua sebagai solusi.

Dalam konteks itu, maka tulisan ini tak mau terjebak dalam dua kelompok opini yang kontradiktif, karena menurut pendapat saya, kedua – duanya memiliki argumentasi dan pembenaran yang sama argumentatifnya.

Merawat Papua dalam NKRI akan menemukan makna substansinya jika masalah mendasar memperoleh perhatian dan penyelesaiannya. Sentuhan ke arah penyelesaian masalah mendasar Papua itu telah diawali Presiden Joko Widodo di LP Abepura, Sabtu siang (9 Mei 2015), dengan membebaskan lima tapol/napol Papua merdeka dan presiden berjanji akan memberikan pengampunan kepada tapol/napol lainnya.

Pembebasan lima tapol/napol yang dilakukan oleh presiden, akan memberikan efek menyebar bagi perubahan menuju penyelesaian soal Papua. Indikasi perubahan awal ini merupakan tuntutan masyarakat global kepada pemerintah Indonesia, agar lebih serius dalam menangani dan menyelesaikan soal Papua. Ibarat kita melempar sebongkah batu tepat di titik tengah sebuah kolam, gelombangnya akan menyebar sampai ke pinggiran.

Problematik politik, sosial, ekonomi, dan budaya di tanah Papua nyata terlihat di Ibu Kota negara, Jakarta-penanda wajah Republik ini. Pada ranah politik, kita menyaksikan kunjungan Presiden Joko Widodo menjadi indikator politik nasional, sejauh mana pemerintah berkemauan menyelesaikan masalah Papua. Dalam perspektif seperti itu, proses demokratisasi nasional yang bergulir sejak reformasi (1998) mensyaratkan adanya ruang publik tempat bagi setiap orang dan kelompok masyarakat, termasuk masyarakat Papua 
mempertanggungjawabkan pikirannya di ranah intelektual jika berhadapan dengan aksi kekerasan yang justru bertentangan dengan keadaban demokrasi.

Pertentangan antara masyarakat yang mesti mempertanggungjawabkan pikirannya di satu pihak dan di lain pihak berhadapan dengan aksi kekerasan, inilah yang mengakibatkan tetap langgengnya konflik di Papua. Peristiwa Paniai Berdarah ( 8 Desember 2014), dan sebelumnya beberapa kejadian di beberapa kabupaten, tak hanya menunjukkan adanya persoalan separatisme, tetapi juga relasi yang kurang harmonis antara masyarakat dan aparat keamanan.

Relasi yang tidak harmonis itu sesungguhnya berakar dari persoalan ketidaksalingpercayaan antara Jakarta dan Papua, inkonsistensi pemerintah atas janji-janji yang diungkapkan, termasuk janji untuk melakukan dialog hingga persoalan masa lalu tentang Integrasi (1963) dan Pepera (1969).Menurut pendapat saya, sebenarnya bukan masalah `momentum' integrasi (1/5/1963) dan pelaksanaan Pepera (1969) - melainkan `dampak' yang ditimbulkan akibat integrasi dan pelaksanaan Pepera 1969 yang hingga hari ini belum pernah diselesaikan secara baik dan benar sesuai amanat konstitusi.

Dalam bingkai relasi seperti itulah pemerintah justru berhasil mereduksi masalah Papua menjadi sekadar persoalan pembangunan. Keyakinan itu yang mendasari kunjungan Presiden Joko Widodo yang dimulai dari peresmian dan peletakan batu pertama pembangunan Sport Center PON 2020, Pasar Pharaa di Sentani Kabupaten Jayapura, juga peletakan batu pertama pembangunan Jembatan Hamadi-Houltekam, penyerahan kartu keluarga sejahtera (KKS), kartu Indonesia pintar (KIP), dan kartu Indonesia sehat (KIS) di PPI Hamadi Kota Jayapura, hingga panen raya perdana di Dusun Wapeko, Kampung Ivimahat, Distrik Kurik, di Merauke.Meskipun Presiden terus memberi perhatian cukup serius, pergerakan isu itu tak pernah bergeming. Ruang ideal untuk muara solusi belum diperoleh.

Pertanyaannya dari peresmian berbagai proyek pembangunan itu, bahwa rakyat Papua, terutama penduduk asli gelisah. Mereka ingin diwongke, mereka tidak ingin menjadi penonton dalam setiap usaha pembangunan, termasuk proyek-proyek yang telah diresmikan pendiriannya oleh Presiden. Mesti diakui bahwa pembangunan proyek apa pun di Papua yang dilakukan oleh pemerintah, baik pusat hingga pemerintah daerah, tidak dilakukan berdasarkan `kebutuhan' dan keinginan masyarakat, tapi lebih cenderung pada kepentingan pemerintah dan birokrasi kekuasaan (berdasarkan visi, misi bupati/ wali kota, atau gubernur).

Tidak pernah ada ajakan mereka untuk bermusyawarah. Kalaupun ada Musrenbangda (dari tingkat kampung, distrik, kabupaten/kota, dan provinsi) tak lebih hanya merupakan dekorasi belaka dan basa¬basi seolah menangkap serta mengakomodasi aspirasi masyarakat. Padahal, itu hanya mempertontonkan sebuah episode sinetron pembangunan. Musrengbanda merupakan momentum penyusunan daftar keperluan dan kebutuhan birokrasi pemerintahan ketimbang kebutuhan rakyat.

Ironinya jika kita takar, pejabat (notabene orang asli) di Papua lebih banyak meninggalkan daerahnya berbulan¬bulan dengan berbagai alasan, mulai dari rapat di Jakarta hingga studi banding keluar negeri. Contoh saja, dalam tiga bulan pertama setelah dilantik, seorang pejabat bisa menghabiskan biaya perjalanan dinas hingga mencapai Rp100 miliar.

Menurut data dan informasi yang kami peroleh dari Kejaksaan Papua, pejabat yang diperiksa dan diadili akan terus bertambah.

Hasil pemeriksaan keuangan oleh BPK dan instansi audit pemerintah lainnya menunjukkan banyak sekali terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan daerah.

Di balik kesungguhan Presiden Joko Widodo yang terus memberikan perhatian dengan melakukan kunjungan ke Papua secara berkala di satu sisi, tapi di lain sisi, tidak dibarengi dengan keseriusan oknum-oknum pejabat pemerintahan di Papua sendiri yang bekerja untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam realitas politik semacam ini, Presiden seharusnya tidak hanya berkunjung, tapi juga menegur dan bila perlu memberikan sanksi tegas terhadap pejabat yang tidak becus bekerja. Mereka seenaknya bepergian keluar Papua, berfoyafoya menggunakan dana pembangunan untuk keperluan pribadi dan kelompoknya.

Realitas itu saya sebut separatisme gaya baru di Papua. Perilaku dan sikap koruptif seperti itu pada gilirannya akan mengganggu stabilitas pembangunan Papua dan berekses terhadap penyelesaian masalah Papua.

Presiden juga mesti menempati janjinya, agar dilakukan dialog Jakarta-Papua, sehingga ditemukan solusi terhadap akar permasalahan. Pemerintah pusat tidak perlu khawatir jika dialog masyarakat Papua selalu menyampaikan aspirasi merdeka. Itu tidak masalah. Kalau Presiden telah mengizinkan kunjungan dari wartawan dan media asing ke Papua, kita sambut dengan baik keputusan tersebut - seyogianya dialog sebagai sarana demokrasi pun bisa diadakan.

Semua langkah kebijakan yang diambil dan dilakukan oleh Presiden bertujuan satu ialah merawat Papua dalam NKRI. Jika salah merawat, seperti kata pepatah bukan salah bunda mengandung tapi sudah nasib suratan takdir -bila satu saat terjadi perubahan - sesuai dengan sifat dari perubahan yang dinamis, jangan kita salahkan masyarakat Papua bila mereka menentukan langkah dan masa depannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar